MtW 44 - Sherin, lagi?

Tap votesnya dulu boleh??? 🌟

Enjoy

.
.
.

♏♏♏

Satu minggu berlalu tanpa ada kejelasan informasi apapun tentang Nadia. Pun hari ini masih belum ada kabar dari Satya, satu satunya informan yang kuandalkan. Hingga saat ini juga Satya belum memberitahu tentang keadaan Nadia kepada Wilda yang merupakan sahabat dekat Nadia karena tidak menginginkan istrinya kefikiran menjelang proses kelahiran anak pertama mereka. Aku cukup tau diri, jadi sebisa mungkin untuk memakluminya.

Suara panggilan interkom yang tersambung dengan sekretarisku didepan  ruanganku memberitahukan tentang kehadiran seorang tamu. Setelah menyebutkan nama seorang wanita kemudian kuperbolehkan untuk memasuki ruangan kerjaku.

"Duduk dulu Stef, aku beresin berkas sebentar" ujarku begitu melihat Stefy sudah memasuki ruanganku.

"Okey Mas" jawabnya sambil duduk disalah satu sofa yang berada tidak jauh dari pintu masuk.

"Ada yang mau dibicarakan?" Tanyaku saat duduk disalah satu sofa yang berbeda.

Kali ini sebisa mungkin aku benar benar menjaga jarak dengannya.

"Kamu gitu ya mas, mentang mentang acara launching udah selesai terus chat aku diabaikan" katanya to the point.

"Aku bukan tipe orang yang harus lapor 24 jam tentang keberadaanku" jawabku padanya dengan tegas.

"Okey, sorry kalau itu ganggu kamu. Habisnya sebelumnya kamu cukup aktif kalau aku ajak ngobrol secara langsung atau lewat chat. Sekarang susah banget sekedar tanya kabar kamu. Mana pesanku diabaikan lagi" jelasnya dengan nada sebal yang dibuat buat.

"Iya kan aku udah jelasin tadi, kalau cuma tanya lagi dimana terus ngapain, tanpa dibalaspun kamu juga tau kalau lingkupku kalau gak seputar kerjaan ya di rumah" kataku kembali menjelaskan.

"Mas Tama gak peka banget, padahal sebelumnya kamu kooperatif lho mas" kali ini Stefy benar benar menunjukkan rasa kesalnya.

Jangankan pesan monoton dari Stefy yang kuabaikan, bahkan pekerjaan pun menjadi keteteran karena waktuku hampir tersita untuk mencari informasi tentang Nadia.

"Kooperatif karena menyangkut soal kerjaan. Kalau hal yang terlalu pribadi ya maaf aku gak bisa berbagi sama sembarang orang" kataku kembali dengan tegas.

"Jadi, maksud kamu aku bukan orang yang spesial gitu?" Tanya Stefy yang membuatku sedikit tersentak.

Okey, sepertinya ada salah faham disini.

"Stef, please... kalau kamu ngajak ngobrol muter muter seputar itu mending kamu balik, ini jam kantor dan pekerjaanku masih banyak" ujarku padanya yang masih saja berputar pada topik yang sama.

"Sorry... aku cuma ngerasa kehilangan kamu aja" katanya pelan sambil berpindah tempat duduk tepat di sebelahku.

"Okey, aku juga mau memperjelas sebelum kamu salah faham lebih jauh. Sejauh ini kita ini hanya rekan profesional kerja, gak lebih. Kalau yang kamu bilang kemarin aku bisa kooperatif, itu semua masih dalam lingkup pekerjaan" jelasku kepadanya berharap mengakhiri kesalahpahaman.

"Kata Sherin kamu tertarik sama aku mas" katanya dengan tegas menatap kearahku.

"Astaga, Sherin lagi" pekikku dengan meraup wajahku dengan kasar.

"Kenapa mas?" Tanya Stefy meminta penjelasan.

"Semua yang dikatakan Sherin jangan langsung kamu percaya sepenuhnya" ujarku sebal.

"Satu lagi, sekarang ini aku sedang menjalin hubungan dengan seorang wanita. Jadi gak mungkin aku tertarik dengan wanita lain karena hubungan kami sedang menuju jenjang yang lebih serius" tambahku menjelaskan.

"What? Oh my God, aku disini seperti pengganggu hubungan orang?" Tanya Stefy kesal.

"Belum sepenuhnya karena kamu memang belum tau kebenarannya" jawabku.

"Apa ini sebuah trik pemasaran diperusahaan ini? Dengan mempermainkan perasaanku hingga terbawa keadaan hingga benar benar berharap lebih sama kamu?" Tanya Stefy semakin kesal.

"Tidak ada trik seperti itu Stef, aku yakin hanya salah faham saja dengan yang dikatakan Sherin sama kamu" kataku menjelaskan dengan mencoba menenangkannya.

Jangan sampai hal ini menjadi masalah besar melihat Stefy merupakan ambasador dari perusahaan ini dan juga memiliki efek penuh dalam dunia entertain.

"Enaugh, i'm done" katanya melemah sambil berdiri.

"Sorry..." cicitku memelas.

"Aku pergi" ujarnya kesal sambil berlalu meninggalkanku.

Menghembuskan nafas kasar sambil memejamkan mata setelah mengetahui hal yang sebenarnya tentang Stefy. Kembali lagi Sherin membuat masalah dihidupku, kenapa dia selalu berbuat seenak yang dia inginkan.

***

"Mas, kamu udah siap belum? Kita ini undangan keluarga besar jangan sampai telat. Malu sama om kamu" kata Mama yang tiba tiba muncul dari balik pintu kamarku.

Malam ini merupakan acara lamaran Sherin dan Dito.

"Iya ma, sebentar" jawabku dari walk in closed saat memilih dasi yang pas untuk setelanku malam ini.

"Sini Mama rapihin letak dasi kamu deh. Udah besar gini masih aja dasinya gak simetris" pinta Mama saat melihatku keluar dari kamar ganti.

"Kayak gini yang aku gak bisa jauh dari Mama" ujarku sambil memperhtikan Mama merapikan dasiku.

"Harus mau, suatu saat ada istri kamu yang akan melakukan kegiatan seperti ini" jawab Mama sambil fokus dengan simpulnya.

Kami terdiam beberapa saat hingga Mama selesai merapikan simpul dasi yang kupakai.

"Nanti, jika terjadi sesuatu hingga membuat Gilang pindah ke suatu tempat, Gilang harap ada Mama yang akan mengikuti, kemanapun itu" kataku tiba tiba.

"Kamu mau kemana sih mas? Pekerjaan kamu disini, cinta kamu juga disini, kalaupun ada suatu hal harus pindah bersama keluarga kamu nantinya Mama gak bisa selalu ikut dong" kata Mama menjeda,

"Mama akan semakin berumur, Mama disini saja gak usah kemana mana. Asalkan kita tetap menjaga komunikasi dan setiap lebaran kamu beserta keluarga kamu nantinya pulang untuk mengunjungi Mama, itu saja cukup" jelas Mama yang membuatku semakin tidak ingin berjauhan dengannya.

Reflek aku memperpendek jarak dengan memeluk Mama erat.

"Nanti Mama kesepian" ujarku masih dalam pelukan Mama.

"Kamu ini kayak gak mengenal teknologi aja sih ya... tiap hari bisa tatap muka sambil ngobrol, gak perlu khawatir" ujar Mama sambil mengusap pundakku.

Aku terkekeh menanggapinya hingga kami melepaskan pelukan.

"Ini kok malah ngobrol padahal jamnya udah mepet gini. Udah yuk berangkat" ajak Mama sambil berlalu meninggalkan kamarku.

Menuju acara yang berada disalah satu hotel berbintang di Surabaya yang kami lalui hampir dua puluh menit dalam perjalanan. Setibanya di depan lobi kemudian kuberikan kunci mobil kepada petugas valey kemudian kami berjalan memasuki area hotel untuk menuju ballroom temoat acara digelar.

"Kalau saja bukan Mama yang meminta, rasanya malas banget untuk hadir diacara seperti ini" ujarku sambil berjalan pelan beriringan dengan Mama yang mengamit lenganku.

"Jangan gitu, ini acara keluarga besar almarhum Papa kamu lho Mas, Sherin sepupu kamu juga anak dari Om sekaligus atasan kamu di perusahaan masa iya gak datang?" Kata Mama kembali menjelaskan.

Sepanjang perjalanan menuju ballroom hanya mendengar penuturan dari Mama karena sejak awal aku memang cukup berat untuk mengadiri acara pertunangan Sherin dengan Dito. Bahkan menyebut tunangannya Sherin saja rasanya membuatku kesal, apalagi nanti ketika bertemu berhadapan dengannya.

Benar saja, di dalam ballroom utama sudah mirip acara resepsi pernikahan daripada disebut cara pertunangan. Tentu saja semua ini atas permintaan Sherin yang selalu dituruti oleh Papanya. Acara yang terlalu mewah untuk dikatakan sebagai acara pertunangan.

"Selamat malam mbak Gina" sapa tante Shinta, Mama dari Sherin.

"Selamat Malam dek, selamat atas pertunangannya Sherin yaa..." Mama membalas dengan memberikan pelukan.

"Iya, terimakasih juga mbak Gina sudah datang, ini Gilang?" Tanya tante Shinta ketika melihatku.

Kami memang jarang bertemu dan tidak dekat satu sama lain.

"Iya Tante, tante apa kabar?" tanyaku berbasa basi.

"Baik, masih sendiri aja Lang? Jadinya didahuluin Sherin nih" ujar tante Shinta yang kujawab dengan senyuman tanpa menanggapi lebih lanjut.

Beruntung tidak lama MC acara menginstruksikan kepada keluarga inti dari pemilik acara agar segera menuju panggung utama karena acara pertunangan akan segera dimulai sehingga tante Shinta pamit undur diri.

"Ma, gak usah sampai selesai acara yaaa" pintaku kepada Mama ketika acara sudah dimulai.

"kamu ini kenapa Mas? Gak setiap hari juga acara keluarga kayak gini. Gak enak sama Om kamu lho" tolak Mama.

Aku diam tanpa menanggapi perkataan Mama jika sudah mengatakan perintah dengan nada tegas. Seperti melihat raut wajahku yang tidak nyaman sepanjang acara akhirnya Mama menyerah.

"yaudah, lima belas menit lagi kita pamit sama Om dan tante kamu sekalian mengucapkan selamat sama Sherin dan tunangannya, setelah itu kita pulang" ujar Mama kemudian.

Aku mengangguk sambil tersenyum menyetujui.

"Mas Tama, Tante Gina?" sapa seseorang dari arah belakangku.

Setelah berbalik untuk melihat sumber suara segera dahiku mengernyit melihat sosok wanita yang sedang tersenyum ramah kepada Mama.

"hai Stefy? Sendirian?" sapa Mama kepadanya.

"iya tan, pengen balik ini tapi sebelumnya mau pamit sama Sherin sekalian ngucapin selamat" katanya.

Kenapa kebetulan begini?

"lho kok sama, barengan aja gimana?" Ajak Mama.

"boleh, kalau Mas Tama tidak keberatan" ujarnya sambil melirik kearahku.

Yang benar saja,

"kenapa harus keberatan? Yuk" ini merupakan jawaban Mama yang membuatku tidak memiliki jawaban lain selain mengikuti kemauannya.

Selanjutnya aku mengikuti dua wanita sedang berjalan didepanku menuju panggung utama.

"Sherin, selamat ya Nak... semoga dilancarkan sampai hari H" ucap Mama memberikan selamat kepada Sherin sambil mengurai pelukan.

"terimakasih tante, semoga habis ini Mas Gilang ya" ujar Sherin sambil tersenyum melirikku.

"aamiiiin" Mama mengamini.

"congratulation Babe, one step closer" kali ini Stefy yang memberikan ucapan kepada Sherin.

"thank you Stef, surprise banget bisa datang bertiga begini" ujar Stefy dengan senyum sambil bergantian melirikku.

"selamat Sher" ucapku kepadanya.

"makasih Mas, eh kita ambil foto dulu. Standby kamera ya" ajak Sherin dengan mengajak kami foto bersama.

Meskipun mendapat penolakan dariku namun akhirnya tetap menuruti permintaan Sherin karena mendapat lirikan tajam dari Mama agar aku mengikuti ajakan Sherin.

Sebentar, kenapa Stefy berada tepat disebelahku?

***

"Pagi Mas" sapa Sherin ketika jam kantor baru saja dimulai.

"Pagi sekali kamu ke kantor? Tumben," ujarku sambil memilah berkas yang akan kupelajari.

"Ketus banget padahal masih pagi. But its okay, karena hari ini moodku lagi baik banget jadi gak masalah" katanya sambil mendekat ke meja kerjaku.

"I know, acara impianmu terlaksana juga" tebakku.

"Kok gitu sih jawabannya?" Tanya Sherin tidak menyukai perkataanku.

"To the point aja kamu mau ngapain kesini. Kalau tidak ada yang penting kamu bisa keluar, pekerjaanku masih banyak" ujarku sambil mulai membuka lembar pertama senail yang berisi laporan mingguan.

"Astaga, galak amat kamu Mas" cibirnya.

"Cepat katakan" kataku memaksa.

"Aku cuma mau bilang aja, gak nyangka kalau wanita itu cepat peka dengan ucapanku. Dan akhirnya aku bisa menyelamatkan kamu dari parasit dihidup kamu Mas" katanya dengan senyum yang tidak lepas dari bibirnya.

"Sebentar, maksud kamu apa?" Tanyaku tidak memahami perkataan Sherin.

"Siapa lagi kalau bukan wanita yang udah ganggu kamu. Lagian ya Mas, kenapa bisa bisanya kamu terjebak sama rayuannya. Lebih baik Stefy kemana mana lah daripada karyawan kelas bawahan seperti dia" jelas Sherin yang membuatku urung untuj melanjutkan pekerjaanku.

"Kamu lagi membicarakan Nadia?" Tanyaku menebak.

"Iya siapa lagi? Kamu punya hutang budi sama aku karena udah menyelamatkan kamu Mas. Tapi gak masalah aku gak akan menagihnya" ujarny jumawa.

Aku diam beberapa saat mencoba mencerna kata demi kata yang dijelaskan oleh Sherin. Seakan satu persatu potongan jawaban yang kuinginkan berkumpul menjadi satu hingga tersadar akan satu hal.

"Kamu bilang apa sama Nadia?" Tanyaku menyelidik sambil berdiri dari tempat dudukku.

"Dia gak bilang apa apa sama kamu?" Tanya Sherin kemudian.

Terlihat ia tidak percaya saat aku tidak mengetahui apapun.

"Kamu sudah bilang apa sama Nadia?!" Tanyaku dengan nada tegas.

"Aku bilang yang seharusnya dia lakukan sejak lama. Enak saja dia gangguin hidup kamu, apa gak dilihat kalau status sosialnya beda sama kita. And see? Paham juga dia bisa segera pergi dari hidup kamu" jelasnya menggebusan semakin menyulut emosiku.

"Sher, kamu tau apa yang sudah kamu lakukan itu keterlaluan dan sudah melebihi batas?" Kataku mencoba menahan emosi yang seakan siap meladak kapanpun juga.

"Mas, kamu itu harusnya berterimakasih sama aku" katanya kekeh.

"Selama ini aku gak pernah ikut campur dalam urusan kamu, dan sekarang dengan beraninya kamu ikut campur dalam hal pribadi seperti ini? Kamu sadar itu?" Kataku sambil mendekati Sherin berdiri dengan nada mulai naik satu oktaf.

"Gak Mas! yang aku lakuin semuanya memang sudah seharusnya. Kamu yang berusaha dibutakan sama wanita itu, dia itu terlalu banyak mempengaruhi dan juga memanfaatkan kamu, disini kamu yang harusnya disadarkan" ujarnya sambil menunjuk kearahku.

"Sudah cukup batas kesabaranku untuk semua kelakuan kamu yang selalu ikut campur hal pribadiku seperti ini!" kataku membentak sambil meraih pergelangan tangannya dengan kasar.

"Mas, kok kamu kasar gini sih? Lepasin, tangan aku sakit" ujarnya sambil meringis kesakitan.

"Gak! kamu sudah keterlaluan sampai membuat Nadia pergi seperti ini. Kamu tau, aku hampir gila mencari tau alasan kenapa dia tiba tiba menghilang, dan aku makin gila ternyata akar dari semua permasalahan ini ada sama kamu, Sherina Pramesti Tanuwijaya" kataku dengan menekan nama Sherin diakhir ucapanku.

"Mas, lenganku sakit. Lepasin" Sherin mencoba melepaskan cengkeraman tanganku.

"Ini jauh lebih sakit dari semua yang sudah kamu lakukan" kataku dengan sarkas.

"Kamu sadar gak kalau sekarang berada di area kantor, dan aku akan lebih mudah ngelaporin kamu sama Papa" ancamnya dengan masih mencoba melepaskan pergelangan tangannya yang kuyakin semakin memerah.

Menghempaskan pergelangan tangan Sherin dengan kasar hingga ia hampir terjatuh karena hilang keseimbangan.

"Okey, aku turuti kemauan kamu. Lapor sama Papa kamu sekarang juga, bahkan hari ini-detik ini pun dengan senang hati aku akan keluar dari perusahaan ini" kataku menantangnya.

"Kamu sudah gila Mas" ujarnya sambil meringis memegang pergegelangan tangannya yang memerah.

"Benar, aku sudah gila. Pergi kamu sekarang juga! bilang sama Papamu tunggu hingga aku semakin menggila dengan menjatuhkan perusahaan ini sekalian juga" kataku dengan membentaknya.

"Mas, kamu bener bener buat aku takut" ujar Sherin sambil berjalan mundur.

"Itu seharusnya kamu fikirkan sebelum bertindak bodoh hingga membuat Nadia lebih memilih untuk meninggalkanku" kataku menunjuk kepadanya sebelum ia menghilang dibalik pintu.

Fikiranku kembali kacau setelah mengetahui fakta yang sebenarnya. Dari semua dugaan yang ada ternyata ada Sherin yang menjadi penyebab semua kekacauan ini terjadi.

"Kenapa kamu tidak terbuka dengan menjelaskan yang sebenarnya Nad?" lirihku.

Kenapa kamu lebih memilih meninggalkanku dengan membawa luka itu sendiri?

.
.
.

To be continued

♏️♏️♏️

Drop kommen yaaa...

Jangan lupa follow aku diakun sosmed yang lain yaaa...

WP, Ig, Dreame : Ayaya2211

Terimakasih.

Ayaya 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top