MtW 33 - Jogja
Tap votesnya dulu boleh??? 🌟
Enjoy
.
.
.
♏️♏️♏️
Matahari semakin meninggi ketika sampai di kota kelahiranku setelah menempuh perjalanan selama empat puluh lima menit dengan menggunakan pesawat. Waktu tempuh penerbangan ke Jogja sebenarnya tidak terlalu lama, namun karena sering delay beberapa kali hingga tiba di kota yang mendapat sebutan Daerah Istimewa ini menjadi sedikit lebih lama.
Tiba di depan rumah dengan menggunakan mobil grab ketika hari mulai beranjak siang. Kepulanganku kali ini akan menjadi kejutan untuk orang rumah karena tidak memberitahu tentang kadatanganku sebelumnya.
Aroma kue menguar dari oven yang berada didapur belakang ketika baru memasuki rumah. Kupastikan jika Ibu sedang membuat pesanan dari salah satu kolega terdekat karena tidak biasanya weekend seperti sekarang ini beliau menerima pesanan.
"Ayah, Ibu, Nabila..." panggilku bersemangat begitu memasuki rumah yang teramat kurindukan.
Tidak lama seorang perempuan yang paling aku cintai yang masih sangat energik meskipun usianya semakin lanjut datang sedikit tergopoh karena terkejut dengan kehadiranku yang sudah berada di ruang tengah.
"Nadia? Kamu pulang mbak?" Ibu menghampiri dan segera kupeluk erat.
"Dia kangen bu..." kataku kemudian kami saling melepas pelukan.
"Iya Ibu juga sama. Kok gak kasih kabar mau pulang mbak?" Tanya Ibu yang masih menampilkan rasa terkejut karena anak perempuan pertamanya tiba tiba muncul tanpa pemberitahuan akan pulang sebelumnya.
"Kan ceritanya surprise" jawabku sambil terkekeh.
"Dasar kamu. Udah makan?" Tanya Ibuperhatian.
"Tadi pagi cuma nyemil pastry di Bandara" jawabku.
"Naik pesawat kamu?" Tanya Ibu.
Aku mengangguk.
"Biar cepet sampai rumah. Ayah sama Nabila dimana?" Tanyaku kembali karena tidak menemukan cinta pertamaku dan adik perempuan satu satunya yang pasti akan heboh jika melihat kedatanganku secara tiba tiba.
"Ayah ada kumpulan di rumah Pak RT, adikmu ada acara di kampus." Jelas Ibu yang kurespon dengan anggukan mengerti.
"Di dapur ada sayur pecel sarapan tadi, atau kamu mau dibikinin sesuatu buat makan?" Tanya Ibu kembali menawariku sarapan.
"Makan itu aja cukup kok. Ibu lagi ada pesanan?" Tanyaku.
"Iya, kue buat acara lamaran anaknya budhemu nanti malam" jawab Ibu.
Benar dugaanku kan.
Kami berjalan beriringan menuju ruang makan dimana mejanya sudah disulap menjadi tempat eksekusi pembuatan adonan kue.
"Buat kue sendirian gini bu, gak ada yang bantuin?" Tanyaku kemudian duduk disalah satu kursi.
"Iya gak apa apa. Cuma buat dua macam kue aja kok, kamu gak istirahat dulu ke kamar" ujar Ibu sambil merapikan loyang untuk diisi dengan adonan.
"Enggak capek banget kok buk, Dia keatas dulu ganti baju terus bantuin Ibu ya..." ujarku.
"Yaudah, kamu bersih bersih sama ganti baju dulu keatas" Ibu menyetujui permintaanku.
Kamarku dan Nabila berada di lantai dua, rumah kami tidak terlalu luas tapi lebih dari cukup unuk ditinggali berempat. Rasanya teramat rindu dengan segala yang ada di rumah ini, rindu masakan Ibu, cerita dan nasehat dari Ayah, berdebat dengan adik perempuanku, semuanya.
Meletakkan koper disudut ruangan kemudian mengambil baju ganti dan segera ke kamar mandi untuk mencuci muka. Kurang dari lima belas menit sudah kembali dengan baju kebesaranku saat di rumah, memakai setelan lengan pendek dan celana 2/3 berbahan kain rayon yang sangat nyaman.
Melihat ponselku masih belum ada balasan dari Mas Tama. Baru bertanda centang dua dengan status online jam lima pagi, sepertinya ia belum membuka ponselnya sejak terakhir mengabariku saat menjemput di lobi apartemen.
***
Ketika menuruni tangga suara Ayah menginterupsi saat sedang berbicara sambil menemani Ibu di dapur, sepertinya sedang mengatakan hal yang baru saja dibahas saat pertemuan warga di rumah Pak RT tadi.
"Ayah..." panggilku sambil memeluknya dari belakang.
"Eh..." kata Ayah kaget sambil menoleh kebelakang, "Kamu kapan datang mbak?" Tanya Ayah.
"Belum lama kok yah. Nadia keatas tadi gak lama terus Ayah pulang" jelas sambil mulai mencampur adonan menggunakan mixer.
"Ibu juga gak bilang bilang kalau Nadia pulang" protes ayah.
"Kan kejutan ceritanya" jawabku kemudian melepas pelukan kemudian berdiri disamping Ibu.
"Dia bantuin Ibu ngapain nih?" Tanyaku sambil melihat lihat bahan dan perlengkapan membuat adonan kue yang berada diatas meja.
"Kamu gak istirahat aja mbak? Baru juga sampai langsung bantuin di dapur begini" tanya Ibu kembali.
"Iya gak apa apa Buk" jawabku.
"Gini aja, kamu makan dulu setelah itu bantuin masukin adonan kedua ke loyang sambil ngecek kematangan loyang pertama di oven" jelas Ibu dan segera kusanggupi.
"Okey siap... kangen banget sama kuenya Ibu, ada lebihan kan nanti" kataku dengan harap ada lebihan adonan agar dapat mencicipinya.
"Adonannya Ibu lebihin tadi, buat kamu bisa makan sepuasnya" kata Ibu yang membuatku melengkungkan senyum.
Ibu memang selalu yang terbaik.
Sore harinya, Aku, Ayah dan Ibu sedang duduk santai di area teras rumah ditemani dengan teh hangat dan kue yang Ibu buat. Seperti biasa akan ada pertanyaan tentang pekerjaan dan kehidupanku selama di Surabaya, karena ini merupakan kepulangan pertamaku sejak pertama kali kerja di Surabaya.
"Kamu kayaknya betah banget ya mbak? Sampai baru sempat pulang" kata Ayah yang lebih kearah sindiran.
"Kerjaan sama gajinya oke yah, jadinya aku betah. Hehe" jawabku tenang.
"Temen kamu disana gimana? Masih ketemu Wilda gak?" Tanya Ayah kembali.
"Temenku disana udah pada senior semua Yah, senengnya mereka asyik asyik banget. Kalau Wilda baru aja kemarin sore kita ketemuan" jelasku sambil membayangkan suasana kantor yang selalu menyenangkan.
"Ohya? Apa kabarnya Wilda mbak? Kata kamu ditelepon Wilda lagi hamil?" Kali ini pertanyaan datang dari Ibu.
"Iya buk, dua minggu lagi Dia diundang Wilda buat acara tujuh bulanan" jawabku.
"Dua bulan lagi lahiran itu" ujar Ibu kembali.
Aku mengangguk,
"Mbak Dia kapan datang?" Suara seseorang menginterupsi ketika aku masih mengobrol dengan Ayah dan Ibu.
"Tadi pagi Bil... ohya, bukannya tadi kamu bilang acaranya sampai jam tujuh malam?" Tanya Ibu kepada Nabila yang baru datang dengan masih mengenakan jas almamater kampusnya.
"Iya kalau tau mbak Nadia ada di rumah gak balik cepet Bu..." ujar Nabila dengan mengambil duduk disampingku.
"Terus emangnya kamu mau ngapain lama lama di kampus?" Tanya sambil melihat kearah adik perempuanku satu satunya.
"Aku masuk kepanitiaan mbak, acaranya selesai jam lima. Aku izin balik duluan soalnya Ibu ada pesanan kue yang harus diantar sore ini kan..." Jelas Nabila.
"Enggak perlu, nanti mau diambil sendiri sama orang suruhan budhe kok" jawab Ibu.
"Lho kok Ibu gak bilang" Nabila menginterupsi.
"Kamu masih mau lama lama di kampus? Yaudah balik lagi sana, aku yang akan nemenin Ibu sama Ayah di rumah" kataku dengan nada ketus.
"Ih, mbak Dia kok gitu sih... makin galak aja pulang dari Surabaya" ujarnya sambil mencolek lenganku.
Dasar!
"Saturday night nih... mumpung mbak di rumah gak mau ngajakin keluar kemana gitu?" Tanyaku pada Nabila yang segera disambut dengan anggukan antusiasnya.
"Mau bangetlah... sekalian nanti beliin sesuatu ya mbak..." ujarnya bersemangat.
"Nabila, mbakmu ini baru sampai lho... kenapa gak besok aja" kata Ibu kurang setuju.
Sejak kedatanganku tadi siang memang belum sempat untuk merebahkan tubuh karena begitu tiba langsung bersemangat membantu Ibu untuk membuat kue. Jenis kegiatan seperti ini tidak akan kulakukan ketika di Surabaya, juga karena sudah kangen juga untuk ikut mengadon kue bersama Ibu. Kalau sudah di rumah dan berkumpul dengan keluarga begini sifat manjaku suka keluar.
"Iya kan mbak Dia yang menawarkan Bu... dimanfaatin sekalian dong, ya nggak mbak?" Kata Nabila bersemangat sementara Ibu hanya dapat menggelengkan kepala.
"Yaudah, kamu mandi ganti baju. Jangan lama lama" titahku pada adik perempuanku satu satunya yang segera bergerak cepat menuju ke kamarnya.
***
Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam, berada di kamar serang bersiap siap untuk pergi bersama Nabila ke salah satu mall yang tidak jauh dari rumah. Ponselku berdering menunjukkan sesbuah panggilan dari Mas Tama, tanpa berlama lama segera menggeser ikon berwarna hijau dan kami tersambung dalam panggilan telepon.
"Malam Mas" sapaku padanya.
"Udah malam ya..." katanya sambil terkekeh.
"Aku tuh khawatir sama kamu, dari pamitan berangkat tadi kamu susah dihubungin" ujarku seduktif.
"Aku tidur sampai siang. Pas bangun ponselku mati karena lowbat gak sempat charge" jelasnya.
Aku menanggapi dengan ber -oh ria.
"Pas turun ada sepupuku pada datang, main PS sampai sore terus mgobrol ngobrol sama Mama" lanjutnya.
"Ini kamu kok jadi laporan terperinci gini ya" ujarku sedikit tidak enak.
"Iya gak apa apa dong. Kali aja ada yang khawatir, dan kejadian kan?" katanya sambil terkekeh.
"Udah makan kamu?" tanyaku kepadanya.
"Udah... kamu gimana? udah melepas kangen di Jogja?" tanya Mas Tama berbalik kepadaku.
"Secara ini kepulangan pertama setelah bekerja di Surabaya jadinya ditanyain macam macam sama Ayah dan Ibu" kataku menjelaskan garis besar obrolanku dengan Ayah dan Ibu tadi sore.
"Salam ya buat beliau..." cicitnya.
"Besok aku sampaikan" ujarku pelan.
Kami diam beberapa saat sebelum Mas Tama memberikan sebuah instruksi.
"Gimana kalau senin sore aja kamu baliknya, biar agak lama family time nya. Walaupun jika besok kamu kembali aku juga bakal seneng banget sih" ujarnya tiba tiba.
"Yang bener aja kamu minta aku balik besok Mas" kataku tidak setuju.
"Bercanda sayang..."
Eh...?
Dua kata yang membuatku terdiam sambil mencerna kata terakhir yang diucapkan Mas Tama dengan aksen sedikit manja.
Tumben?
"Kok kamu diam? Gak apa apa kan aku panggil pacarku dengan sebutan begitu?" tanya Mas Tama yang menyadarkanku karena tidak menanggapinya.
Aku menggumam saja, karena jujur mau menjawab gimana?
Aku hanya dapat mengulum senyum dibalik ponsel yang menghubungkan kami dalam sambungan telepon. Untung saja kami tidak bertatapan langsung, karena sudah pasti wajahku akan memerah pada situasi seperti saat ini.
"habis ini ada acara kemana?" tanya Mas Tama.
"Mau jalan jalan sama Nabila Mas" jawabku.
"Satnightnya sama Nabila aja" katanya sedikit menyindir.
"Iya, kalau di Surabaya jelas dijemput sama kamu dong" ujarku sarkastik dan dibalas tawa olehnya. Sebal!
"Iya nih... kenapa kok udah kangen aja" ujarnya.
"Hmmm, dasar kamu..."
Tidak lama panggilan dari Nabila untuk mengajakku segera berangkat.
"Mas, aku berangkat dulu ya... biar pulangnya nanti gak kemalaman" kataku setelah Nabila berlalu.
"Iya, kamu hati hati di jalan... salam untuk Nabila juga" katanya.
"Nanti aku sampaikan" kataku.
"Salam juga buat mbaknya Nabila, bilangin kangen gitu" imbuhnya yang kembali membuatku bersemu.
Ini kenapa aku jadi blush begini sih?
"Ihh, kamu ya Mas"
"Kalau kenyataannya gitu mau gimana?" Ujar Mas Tama dengan santainya.
"Iya, sudah disampaikan salamnya" jawabku ketus.
"Jawabannya gimana dari mbaknya Nabila?" Tanya Mas Tama menggoda.
"Aduh Mas, harus banget ya dijawab?" Tanyaku balik dengan sedikit kesal.
"Harus dong, dapat salam ya harus dijawab balik" jawab Mas Tama kekeh.
Aku menghembuskan nafas berat sebelum menjawabnya.
"Kata mbaknya Nabila salam kangen juga. Udah ya, ku tutup dulu..." pungkasku kemudian memutus sambungan telepon dan segera mengambil sling bag dan turun menuju lantai satu dimana Nabila sudah menunggu.
"Tumben mbak Nadia pakai make up? Padahal satnightnya sama aku aja" ujar Nabila sambil melihat penuh kearahku.
"Make up? Mana ada?" Tanyaku sedikit bingung, karena jujur tadi sebelum berangkat hanya memoles bibir dengan lip tint warna natural.
"Itu pipinya memerah gitu" jawab Nabila yang otomatis membuatku memegang kedua pipiku.
Duh, Mas Tama nih...
.
.
.
To be continued
♏♏♏
Jangan lupa follow aku diakun sosmed yang lain yaaa...
WP, Ig, Dreame : Ayaya2211
Terimakasih.
Ayaya 💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top