MtW 16 - Haunt 2
Votes dulu yang belum 🌟
Enjoy
.
.
.
♏️♏️♏️
Kejadian selepas pulang kerja kemarin sore cukup memberi efek pada pagi ini. Beberapa pasang mata memandangiku dengan tatapan yang tidak biasa, seperti pada divisiku kali ini.
"kemarin sore Lo ada apa sama Pak Dito?" tanya mbak Laras begitu aku sampai di meja kubikelku.
"kenapa mbak?" tanyaku pura pura tidak mengerti.
"divisi sebelah pada rame tanya ke Gue pas tadi papasan di Lift. Katanya lo ditarik Pak Dito keluar kantor, ada apaan sih?" mbak Laras masih penasaran.
"mbak jawab gimana?" tanyaku berbalik tanpa menjawab pertanyaannya.
"ya mana Gue bisa jawab, orang kemarin Gue izin pulang cepet" jawabnya.
Aku tersenyum,
"malah senyum aja, dijawab woi" ujarnya dengan nada kesal.
"seperti biasa mbak, cuma sekarang lebih nekat nungguin aku di Lobi" jelasku singkat.
"heh? Gak takut jadi konsumsi publik?" tanya mbak Laras dengan ekpresi kaget.
Aku mengendikkan bahu,
Sedikit banyak aku menceritakan tentang Dito pada mbak Laras. Tidak mungkin aku katakan tidak ada apa apa dengannya setelah mbak Laras memergoki Dito beberapa kali datang ke devisi kami dan dengan sengaja meminta waktuku untuk mengobrol.
Walaupun tidak semuanya kujelaskan permasalahannya secara rinci namun pada intinya kami pernah berpacaran semasa kuliah, itu saja.
"untung ada Pak Tama, bisa bantuin aku kabur dari Dito" kataku jujur.
"Lo gak bisa maafin Pak Dito ya Nad?" tanya mbak Laras menghangat.
Aku terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan mbak Laras.
"misal dia gak minta maaf juga udah aku maafin mbak" jawabku.
"terus?"
"kalau untuk kembali seperti dulu dan berpura pura baik baik saja rasanya aku gak bisa" kataku jujur dan mengakhiri dengan tersenyum untuk mencoba berdamai dengan masa lalu.
"lukanya segitu membekas sampai trauma gitu ya?" jenis pertanyaan dari mbak Laras yang tidak akan kujawab sampai kapanpun.
Aku mengangguk sambil tersenyum membenarkan.
***
Setelah istirahat makan siang akan diadakan rapat internal untuk membahas analisis proyek yang akan kukerjakan. Sepertinya menyibukkan diri menjadi opsi yang terbaik saat ini.
Sebelum meninggalkan kantin terlebih dahulu membeli beberapa minuman dingin untuk kubawa keatas menuju tempatku bekerja. Cuaca yang cukup panas membuatku ingin meneguk minuman dingin dengan berbagai rasa untuk menghilangkan dahaga.
Setelah membayar dengan beberapa lembar rupiah kemudian berjalan menuju lift. Langkahku terhenti ketika sebuah tangan memegang lenganku hingga menarik mundur beberapa langkah kebelakang.
"ya ampun" pekikku kaget ketika mencoba menahan tubuh agar tidak terjatuh.
"kita butuh bicara Nad" katanya ketika ia berhasil membalikkan tubuhku hingga kami berhadapan beradu pandang.
Mataku membulat ketika menemukan Dito yang telah menarikku.
"kamu sadar gak kalau ini di tempatku bekerja dan masih dalam jam kantor?" kataku dengan nada cukup kesal.
Dito melihat sekilas jam yang melingkar dipergelangan tangannya.
"masih ada lima belas menit lagi" jawab Dito seenaknya.
"aku kerja bukan dibawah tangan kamu ya Dit, ada batasan yang harus kamu hargai" ingatku padanya yang datang seenaknya di kantor tempatku bekerja.
"aku janji gak akan lama, atau nanti pulang kerja aku tunggu kamu di Lobi seperti kemarin" opsinya yang tentu akan kutolak.
"astaga, masih belum jelas juga buat kamu?" jedaku,
"kita sudah selesai Dito. Biarkan aku menjalani hidupku dengan tenang" tambahku sambil menahan emosi.
Tidak lucu jika marah marah disini hingga mengundang perhatian karyawan yang lain.
"kembali sama aku" katanya penuh harap.
Aku menggeleng,
"gak, dan gak akan pernah bisa, capek tau ngurusin kayak gini" kataku yang tidak dapat menahan kekesalan.
"ada apa lagi ini?"
Pak Tama datang ketika aku hampir saja akan meluapkan rasa emosiku.
"bisa gak sih Mas Tama gak ikut campur urusanku dengan Nadia" ucap Dito kesal saat menyadari kedatangan Pak Tama.
"kenapa memang? Nadia gak nyaman dengan kehadiran kamu" ujar Pak Tama sambil melihatku sekilas untuk membenarkan ucapannya.
"urusannya Mas Tama apa sama Nadia? Mas Tama ini siapanya Nadia mau ikut campur?" tanya Dito yang terlanjur kelewatan.
"saya?" Pak Tama menjeda,
"saya dan Nadia sedang dalam satu hubungan yang serius" jawab Pak Tama yang membuatku kaget.
Tidak selang berapa lama Pak Tama menautkan jarinya dengan jemariku dan menaikkannya sebatas dada sambil tersenyum manis kepadaku.
"gak mungkin" ujar Dito yang tidak kalah kaget denganku.
"terserah kamu, saya gak memaksa untuk kamu percayai. Tapi saya akan memberikan peringatan tegas jika kamu masih saja mengganggu Nadia" kata Pak Tama dengan nada tegas.
Aduh, apa lagi ini?
"sejak kapan?" tanya Dito menyelidik.
"tidak semuanya harus dijelaskan kepada anda Bapak Anandito. Lebih baik anda kembali ke kantor dan mengurusi urusan anda dan acara pertunangan anda bulan depan" jawab Pak Tama yang sukses membuatku membulatkan mata.
"tunangan?" tanyaku.
"kamu belum tau? Bapak Anandito Darmawan bulan depan akan bertunangan dengan Sherin sepupu saya Nad" jelasnya.
Aku melirik Dito sekilas, kulihat wajahnya merah padam mendengar penuturan Pak Tama.
Jelas ada yang salah disini.
"jangan khawatir. Saya akan datang di acara pertunangan anda nanti dengan Nadia" ujar Pak Tama sambil menepuk sekilas pada pundak Dito dengan tangannya kirinya yang bebas.
"kita keatas sekarang" ajak Pak Tama kepadaku,
"Jam istirahat selesai dan ada rapat untuk membahas proyek terbaru" lanjutnya
Aku menuruti ajakannya dengan tangan kami yang masih bertautan meninggalkan Dito yang masih mematung melihat kami berdua berjalan memasuki lift yang lengang.
***
"kok tadi bisa barengan gitu sama Pak Tama?" tanya mbak Laras ketika aku baru saja kembali dari rapat.
Semoga saja saat memasuki lift tadi tidak ada yang melihat ketika tangan kami bertautan.
"gak sengaja dalam satu lift mbak" bohongku untuk menghindari jenis pertanyaan yang menyelidik dari mbak Laras jika kukatakan yang sebenarnya.
"oh gitu... Ohya, udah fix masuk jadi tim analisis?"
Aku mengangguk sembari menegak botol minuman rasa jeruk yang sempat kubeli ketika istirahat makan siang.
"bulan depan mbak" jawabku kemudian.
"makin sibuk nantinya" ujarnya.
"lagi nyari kesibukan sih" kataku menjeda,
"biar cuannya makin tebel terus bisa dipakai buat jalan jalan ke maldives" lanjutku dengan jumawa.
"ya ampun, traveller goals banget. Tapi yang bener itu cari pendamping yang bisa ngajakin kesono, bukan pakai uang pribadi" kata mbak Laras sambil berangan.
"bener juga ya, yaudah nanti aku cari anak konglomerat yang cuannya gak habis tujuh turunan" candaku menimpali mbak Laras hingga tergelak.
Mengingat kejadian tadi siang, ketika Pak Tama datang dengan mengakui bahwa kami sedang dalam hubungan serius mungkin saja skenarionya, agar Dito tidak lagi berada di kantor secara bebas menggangguku. Tidak perlu besar kepala karena Dito adalah calon tunangan sepupunya.
Lucu sekali rasanya ketika mendapat kenyataan yang tidak pernah terduga sebelumnya. Dito mendekatiku sedangkan bulan depan ia akan melaksanakan pertunangan dengan anak dari pemilik perusahaan tempatku bekerja.
Seperti yang diketahui CEO di kantorku adalah kerabat dari Pak Tama yang tidak lain adalah orang tua Sherin. Mungkin saja kali ini Dito kembali memainkan perasaanku untuk kedua kalinya. Tck, lucu sekali takdir akan mempermainkan hidupku kembali.
***
Pulang kantor lebih leluasa dari biasanya, tidak ada lagi Dito yang menggangguku di Lobi. Gosip miring yang beredar ketika Dito menungguku kemarin di Lobi pun mulai hilang, jujur aku tidak nyaman ketika banyak cibiran setelah kejadian kemarin sore.
Ketika dalam perjalanan pulang menyempatkan untuk singgah disalah satu pusat perbelanjaan. Kali ini berada disebuah supermarket di daerah Wonokromo untuk berbelanja beberapa kebutuhan yang sudah habis.
Troli berukuran sedang sudah terisi separuh barang belanjaan dan masih beberapa item lagi yang harus dicari.
Ketika sedang mengambil beberapa barang di rak kebutuhan dapur tiba tiba troli yang kubawa ditarik oleh seseorang kemudian berganti dengan ia memegang pergelangan tanganku.
"ya ampun" pekikku kaget,
"kamu lagi?"
Dito berada didepanku,
"kamu bohong kan atas hubungan kamu sama Mas Tama?" tanya Dito.
Secepat itu ia mengatahui kebenarannya.
"lepasin gak?" kataku.
"aku gak akan lepasin kamu gitu aja" ujarnya.
"kamu masih bisa bilang kayak gitu sedangkan bulan depan kamu akan bertunangan dan masih menggangguku?" tanyaku kesal.
"semua ini rencana dari orang tua kami, dan itu cuma tunangan. Aku bisa menggagalkannya atau melepaskan Sherin setelah acara" jelasnya dengan santai.
"kamu benar benar gila Dit, kamu butuh pendampingan psikiater" kataku padanya.
"aku cintanya cuma sama kamu Nad. Sherin tidak ada apa apanya" Dito masih kekeh dengan ucapannya.
"aku gak perduli" jawabku.
Sayup sayup terdengar nama Dito dipanggil oleh seseorang seperti sedang mencari keberadaannya.
"aku pergi dulu. Sekali lagi, kita belum selesai" pungkasnya kemudian meninggalkanku.
Saat aku melihat dari balik rak yang menutupi keberadaan kami, disana sudah ada Sherin sedang menunggu Dito kembali. Aku tersenyum sambul menggelengkan kepala, baru saja Dito mengatakan ingin kembali denganku sedangkan kini di depanku jelas jelas ia sedang bersama calon tunangannya.
Permainan macam apa ini?
Sepertinya tempat tinggalku pun menjadi tidak nyaman karena sewaktu waktu Dito akan kembali untuk menemuiku. Dan aku harus mencari cara lain untuk menghindarinya.
.
.
.
To be continued
♏️♏️♏️
Ayaya 💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top