7: Bad Reputation
Blake mematung di tempatnya, tangan kanannya masih di gagang pintu dan tangan kirinya di dalam sakunya. Ia terkejut, saat menyadari Reina juga ada disana.
Reina mengira, Blake akan pergi saat melihatnya, namun nyatanya tidak. Blake menutup pintunya dan mulai berjalan menghampiri Reina.
"E-eh, lo ngapain d-disini?" tanya Reina seraya bangkit dari duduknya dan berbalik menghadap Blake.
Blake menaikkan alisnya, "Mo boker,"
"Tawain ga nie?" balas Reina seraya memutar kedua bola matanya malas.
belom aja ni orang gua sleding, untung sayang hehe, batin Reina.
Blake melihat ke arah Reina yang terlihat kesal. Ia tertawa lalu berkata, "Gue nggak tau lo bakal disini juga,"
"Ya... gue emang sering kesini," kata Reina canggung seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Sesering apa?" tanya Blake seraya duduk di bangku yang sebelumnya diduduki Reina.
Reina mengangkat bahunya, "Setiap gue ngerasa butuh kesini, mungkin?
Blake tertawa kecil, "Lo aneh, tau nggak,"
Pandangan mereka terkunci, ibaratnya mata mereka sedang memeluk satu sama lain. Reina agak tak menyangka, bahwa ia baru saja membuat seorang Blake tertawa.
Reina memalingkan pandangannya dan mengusap lengannya gugup. Ini seperti akan membunuhnya secara perlahan.
dasar lebay.
"Gue cabut duluan ya," ujar Blake seraya mengetik sesuatu diponselnya.
"Oke..." balas Reina kembali canggung.
"It was nice seeing you again here," tambah Blake seraya memberi tatapan terakhirnya pada Reina disana sebelum akhirnya ia berjalan menuju pintu dan pergi.
Reina mematung, otaknya berusaha mencerna apa yang terjadi. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Karena alarm di ponselnya berbunyi, menandakan bahwa ia ada kelas dalam 30 menit lagi.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera pergi dari sana dan menuju kelasnya.
***
Setelah kelasnya selesai, Reina berpikir bahwa ia ingin ke perpustakaan. Ia sudah membuat list tentang beberapa buku yang ingin dipinjam.
Ketika berjalan keluar kelas, Reina melihat Sarah berjalan ke arahnya. Ia berusaha mengindar, namun Sarah terlihat mempercepat langkahnya.
"Reina, tunggu!" kata Sarah, terengah-engah.
Reina menoleh dan menatap lawan bicaranya itu waspada. "Kenapa?"
"Gue mau ngasih tau lo sesuatu," balas Sarah seraya melihat ke sekitar. "Bisa ngomong di kelas aja nggak?"
Reina menyilangkan tangannya di depan dada, "Harus banget gitu?"
"Gue tau, emang nggak ada alesan buat lo percaya sama gue. Tapi gue cuma mau ngasih tau lo sesuatu," jelas Sarah.
"Apa-"
Belum sempat Reina menyelesaikan kalimatnya, Sarah sudah menarik lawan bicaranya itu ke dalam kelas. Sarah menutup pintu dan menahannya dengan bahunya. Kelas sudah selesai, jelas tidak ada siapapun lagi di kelas itu.
"Lo ngapain anjir?!" teriak Reina.
Sarah terlihat takut, namun juga terlihat ada keinginan disana. Reina yang bingung dan waspada pun tidak tahu apa yang membuat Sarah ingin berbicara padanya sendiri, tidak bersama teman-temannya.
Seperti yang kalian tahu, Sarah sangat dekat dengan Zenya yang notabene-nya sangat membenci Reina. Bahkan, mereka melabrak Reina beberapa hari yang lalu.
Sarah menarik napasnya panjang, "Gue minta maaf tentang semua yang udah gue lakuin sama lo,"
Jelas saja kata-kata Sarah membuat Reina terkejut. Bagaimana tidak, setahunya, Sarah juga membencinya, sama seperti Zenya membencinya.
"Kenapa minta maaf?" tanya Reina. "Lo juga benci gue kan, sama kaya Zenya benci gue,"
"Nggak! Gue nggak bener-bener benci sama lo," bantah Sarah. "Zenya memperlakukan gue dan Lena kayak pelayan dia, atau semacamnya seperti yang lo liat biasanya. Dia selalu nyuruh kita buat ngelakuin apapun yang dia mau, sedangkan dia cuma duduk santai. Dan gue mutusin, buat ninggalin dia. Mulai sekarang,"
Reina mengernyitkan dahinya, "gue masih nggak ngerti,"
"Gue jadi temen Zenya cuma karena gue mikir kalo gue bakal famous. Tapi itu nggak berarti lagi buat gue sejak dia kayak berusaha buat ngancurin hidup gue," jelas Sarah.
"Terus kenapa lo dateng ke gue?" tanya Reina. "Lo kira gue bakal temenan sama lo setelah dengerin semua yang lo bilang? Sorry, tapi lo juga ngikutin kemauannya buat ngancurin hidup gue. Bahkan, sebesar apapun lo ngerasa hidup lo dihancurkan, sebenernya hidup gue lebih,"
"Nggak kayak gitu, Rei-"
"Gue nggak mau tau alesan apapun,"
Tanpa menunggu jawaban, Reina membuka paksa pintu kelasnya dan keluar dari sana. Ia tak habis pikir dengan apa yang terjadi dengannya dan sekelilingnya belakangan ini. Semuanya terasa penuh drama.
Sekarang, mood-nya sudah hancur. Tak ada lagi keinginan untuk ke perpustakaan, apalagi membaca buku.
Reina memutuskan untuk berjalan menuju kantin. Ia mengedarkan pandangannya, mencari tempat duduk yang kosong. Namun, ia malah melihat Zenya bersama Blake dan segerombolan teman-temannya, namun tidak terlihat George atau Reece disana.
Mereka duduk di salah satu meja kantin, terlihat lengan Zenya di pundak Blake, memainkan rambutnya seraya mengobrol. Ia berbisik pada Blake yang membalasnya dengan menaikkan kedua alisnya. Yang lainnya pun mendekat untuk mendengar apa yang gadis itu katakan.
Reina menggerutu dan berjalan pergi, berpura-pura tidak terpengaruh. Tapi, ia berhenti saat mendengar namanya disebut. Ia pun berbalik badan ke asal suara.
"Kayanya Reina sirik gitu ye kan sama gue," kata Zenya tertawa keras dan diikuti tawa oleh yang lainnya, kecuali Blake.
Reina melihat laki-laki idamannya itu melihat ke arahnya, matanya melebar.
*****
aloooo eheheheh
ok so, as we know, reece has appendicitis and he already did an operation to remove his appendix. appendicitis itu radang usus buntu, dan dia operasi buat ngambil usus buntunya yang bermasalah.
i'm glad his operation has gone well. wishing him a speedy recovery 💗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top