14: You Ruin Me

"Lo—barusan ngomong apa?"

"Gue kedengeran aneh gitu ya, ngomongnya?" tanya Blake lalu menertawakan dirinya sendiri.

Reina tersenyum kaku. Dapat dirasakan, darahnya mengalir cepat sampai ke pipi. Pipinya memerah dan terasa panas, padahal hari baru saja dituruni hujan.

"Hm, nggak sih. Kedengeran...sempurna? Handal gitu," balas Reina tertawa kecil.

"Well, thanks then," ujar Blake seraya terkekeh. "But that doesn't mean I want to be with you though,"

Reina menaikkan kedua alisnya, "Oh,"

"Gue cuma, ya gue yakin aja kalo perasaan gue sama lo bakalan perlahan menghilang nantinya. Ngerti kan maksudnya?" jelas Blake.

ini manusia maksudnya apa sih bangsat?!?!?!?, batin Reina.

"Oh, iya gue ngerti," dusta Reina seraya memainkan jari-jarinya untuk menutupi kekecewaannya.

Blake tersenyum, "Gue harap nggak ada yang berubah setelah kejadian ini,"

Reina mengangguk kaku, ia tak tahu harus bagaimana menanggapinya. Baru saja ia diantarkan laki-laki di hadapannya ini menuju langit, namun ia kembali dijatuhkan ke dasar jurang. Bahkan, dalam waktu tidak lebih dari 10 menit.

Blake memang memiliki perasaan pada gadis itu, tapi ia takut dan juga percaya kalau perasaannya hanya sesaat. Di sisi lain, ia senang karena setidaknya gadis itu sudah mengetahui tentang perasaannya.

Blake membawa tangannya menyentuh dan mengelus lembut pipi gadis di hadapannya. Saat pandangan mereka bertemu, Blake kembali menarik Reina ke pelukannya.

Dengan cepat, Reina menarik paksa tubuhnya dari pelukan Blake. "Tadi lo bilang nggak mau sama gue, terus maksudnya lo meluk gue lagi apa?!"

Inilah pertama kalinya Reina mendapat perlakukan spesial dan pelukan dari laki-laki, selain ayahnya. Untuknya, pelukan adalah hal yang spesial dalam suatu hubungan. Jika tak ada hubungan apapun, rasanya tak pantas.

Blake mengernyitkan dahinya dan mendegus. "Ya, nggak bermaksud apapun. That was means nothing, Rei. Gue harap lo juga ngerti itu,"

"Oh," desis Reina. "I completely understand," sambungnya lalu bangkit dari duduknya.

"Rei, mau ngapain?" tanya Blake.

"Ini alesannya kenapa gue benci sama orang-orang kayak lo," ucap Reina. "Seenaknya lo mainin perasaan orang lain dan setelahnya lo buang gitu aja,"

Blake meletakkan lengannya ke punggung bangku. "Secara nggak langsung, maksudnya lo bilang lo suka sama gue?"

"Bukan itu intinya. Intinya, lo emang nggak pernah berubah, kan? The bad boy of the school, Blake Richardson," ujar Reina sarkas. "Selalu membully dan mengintimidasi orang-orang yang menurut lo menghalangi jalan lo, padahal nggak sama sekali,"

Baru saja Blake ingin membalas semua perkataan Reina, gadis itu kembali berucap. "And also, seems like to picking on nerds,"

"Shut the hell up," kata Blake akhirnya. Ia mengepalkan kedua tangannya, menahan emosinya. Kata-kata yang dilontarkan Reina tentu saja membuat amarahnya muncul.

Reina tahu, Blake marah dan sejujurnya ia pun takut. Namun, ia tetap teguh pada pendiriannya. Ia menarik napasnya dalam-dalam, "Ya, nggak heran sih pacar lo milih buat ninggalin lo,"

Blake menatap tajam Reina, hening. Keheningan itu berlangsung selama 2 menit penuh. Ia mengatupkan rahangnya dan mengernyitkan dahinya pada Reina.

Dengan begitu cepat, Blake bangkit dari duduknya dan bergerak mendekat ke arah Reina. Ia meraih pergelangan tangan gadis itu dan kuku-kukunya menusuk kulit gadis itu. Reina meringis.

"Lo bakal nyesel udah ngomong kayak gitu ke gue," peringat Blake. Ia membawa tangannya yang lain dan menampar wajah Reina.

Reina terengah-engah, berusaha kembali menghirup udara di sekitarnya. Blake menarik lengan Reina pergi dari sana. Reina berusaha melepaskan tangannya, namun Blake terlalu kuat sehingga membuatnya terjatuh di genangan air.

"Akh, tai," umpat Reina saat menyadari dirinya terduduk di genangan air hujan yang kotor. Blake menoleh ke arahnya, namun tak merespon apapun dan memilih kembali melangkahkan kakinya.

"Lo mau kemana woi, sinting!" seru Reina.

Blake menghentikan langkahnya dan berbalik. "Ke tempat lain. Lo keliatan jorok dan bau, sementara mobil gue mahal, jadi lo bisa kan pulang sendiri?"

Reina bangkit dan menepuk-nepuk tangannya ke seluruh tubuhnya, berniat untuk membersihkan kotoran yang bertengger disana. "Oh, silahkan. Gue nggak butuh,"

Mendengar balasan Reina, Blake tersenyum dan langsung berbalik meninggalkan Reina di taman itu sendirian.

Reina meludah, "Bajingan, a hundred percent."

*****

alooo! rindu w gakkk? iya dong harus.

anyway, gue udah mendapat beberapa hujatan dari beberapa manusia karena cerita ini tidak berlanjut, sampe di messages jugaaa:( WKWKWK tp aku sukakk, it means you're excited for this story so far❤

sebelumnya, gue mau membela diri dulu ya kenapa gue lama bgt lanjutinnya dan harap dibaca soalnya gue maksa:(

alesannya karena gue pulang kampunggg! itu di klaten dan bisa diitung berapa lama gue dapet sinyal dalam sehari:') sampe telkomsel aja (provider mahal wkwk) jg tetep ga dapet sinyal jd aku pasrah deh

dan kemaren akhirnya gue mendarat mulus di planet tercinta q, bekasiii!!! yeay

dah gitu aja,

eheheheh makasih udah baca alesan acuuu!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top