30. Lebih dari Sekadar Sinyal
"Kamu, lebih dari sekadar sinyal untukku, Aurelia Aurita."—Felis Leo.
.
.
.
Kebanyakan tujuan hidup manusia mungkin mentok hingga ke jenjang pernikahan. Semua yang telah dipersiapkan secara matang-matang baik pendidikan, finansial, dan kedewasaan akan bersatu-padu membentuk tim yang baik dalam kehidupan pernikahan bersama orang yang dicintai—atau tidak dicintai tetapi memang sudah jodoh. Jika tidak, ya silakan atur sesuai dengan kondisi masing-masing.
Ketika masih kecil, Aurel sangat mengidolakan ibunya. Bunda adalah seseorang yang cantik parasnya dan sabar perangainya. Kalau Aurel tidak melakukan kesalahan yang sangat fatal, Bunda tidak akan membentaknya. Pernah sekali Bunda berteriak padanya kala Aurel kecil bermain gunting hingga tangannya luka. Dulu Aurel sempat kesal diteriaki seperti itu. Kini ia sadar bahwa Bunda melakukannya karena terlampau takut dan khawatir.
Aurel juga hampir mengidolakan ayahnya yang tampan dan berperawakan besar, tetapi ia mengurungkan niatnya—bahkan berbalik untuk membencinya—setelah peristiwa mengerikan itu terjadi. Dan itu juga yang menyebabkan Aurel benci dengan kata-kata sayang dan cinta. Gadis itu pun pernah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia mampu hidup sampai mati bersama Nenek tanpa harus menikah.
Kejadian mengerikan itu membuat Aurel memandang keji kasih sayang antara dua pasangan. Kematian tragis ibunya saja sudah cukup, jangan ada korban cinta lain lagi.
Sampai gadis itu mengenal Felis Leo, pertahanannya mulai goyah. Sekarang, jika Felis berdiri di hadapannya dan menyatakan perasaannya lagi—walau Aurel sendiri tidak yakin Felis tidak akan kapok setelah dua kali penolakan—bisa saja Aurel tetap akan menolaknya. Kelihatannya sama, penolakan, tetapi Felis tidak tahu, penolakan itu kini didasari oleh perasaan Aurel yang bergetar.
"Mau ke mana, Ndhuk? Cari kerja lagi?" tanya Nenek yang sejak tadi sibuk mengupas bawang di teras rumah begitu melihat Aurel keluar menggunakan jaket.
Gadis itu menghampiri Nenek untuk mencium tangannya. Baiklah wajah Aurel kini beraroma bawang. "Mau ke bukit, Nek. Masa mau cari kerja di desa. Nanti kalau pas balik ke kota lagi."
Aurel tidak biasa mencium tangan Nenek. Semenjak kuliah, ia jadi terbiasa melakukannya. Omong-omong gadis 22 tahun itu belum juga dapat panggilan kerja tetap, sesering apapun ia ke bukit mencari sinyal. Pekerjaannya sekarang masih guru les-lesan kecil. Murid-muridnya adalah beberapa anak tetangga di sekitar rumah.
"Mau ngecek panggilan kerja lagi?"
Bibir Aurel otomatis mengerucut mendengar pertanyaan itu. Gadis itu menggaruk lehernya yang tidak gatal sebelum melambaikan tangan. "Bisa jadi. Aurel duluan ya, Nek!"
"Felis katanya pulang Ndhuk hari ini?"
"Iya, Aurel nunggu sekalian di bukit! Dadah Nenek!"
***
Padahal Felis juga tidak merantau selamanya. Laki-laki itu selalu pulang setiap liburan akhir semester. Ia juga tidak secepat itu melupakan wajah keluarganya. Dan sekarang mereka memeluk Felis erat seolah-olah Felis ini anak hilang yang baru ditemukan.
"Cucu Nenek sudah besar!" Nenek mengusap pipi Felis yang berminyak dengan gestur gemas. Jarak kepulangan yang terlalu jauh membuat kulit-kulitnya mengeluarkan kelenjar minyak berlebihan. Felis sampai kesusahan tersenyum. Terlalu licin. "Ayo makan. Hari ini dimasakin rendang!"
"Wah." Felis seketika tertawa bahagia. "Auto laper nih, Nek!"
"Eh, Mama belum peluk!" Mama menarik lengan Felis sebelum putranya itu memasuki rumah bersama Nenek. Papa yang berdiri di sebelah Mama ikut nimbrung. Mereka berdua saling memeluk dengan erat. "Anak Mama Papa sudah besar!"
"Papa bangga sama kamu, Nak," ujar Papa terharu menepuk pundak Felis. "Orang-orang di desa aja ikut bangga lihat kamu di televisi. Anak Papa Mama artis sekarang."
"Bukan artis ah," kilah Felis. "Ya artis sih, tapi nggak terlalu terkenal."
"Omong opo!" Nenek memukul lengan Felis pelan. "Terkenal gitu! Mamamu sampai nangis kejer lihat anaknya di televisi."
"Iya, iya, Felis artis deh." Felis mengalah. Ia terkekeh pelan, gemas dengan tiga manusia kesayangan di hadapannya itu. Tangannya cepat merangkul pundak Papa dan Mama. Felis melirik Nenek dengan tatapan jahil. "Katanya tadi masak rendang? Ayo makan, Felis laper!"
***
Felis menghabiskan porsi kedua makannya. Buru-buru ia membalik sendok dan garpu sebelum Mama menaruh satu entong nasi lagi ke piringnya. Gerakan tangan Nenek juga terlampau cepat saat menaruh dua daging sapi ke atas nasinya, membuat Felis tidak dapat berkutik apalagi menolak. Padahal ia sudah kenyang. Perutnya hampir meletus, tapi berhubung masakannya enak, jadi apa boleh buat. Hehe.
"Ah, mantap!" seru Felis sembari mengelus perut. Laki-laki itu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Kalau capek istirahat aja, nanti Mama bangunin." Mama menumpuk semua piring kotor lantas bangkit berdiri. "Kalau nggak ngantuk ya ngapain gitu jangan ikut bantu-bantu dulu."
"Yeee siapa juga yang mau bantuin. Mama pede kali!"
Mama hampir melemparkan gelas kepada Felis kalau tak ingat itu putranya. Semakin dewasa Felis semakin santai saja pada keluarga ini, bahkan tak segan-segan melontarkan lelucon seperti kepada teman sebaya. Dulu anak itu lebih pendiam dan penurut. Walau begitu, Mama tetap senang karena hal itu membuat keluarga mereka justru terasa semakin dekat dan santai.
"Jadi kamu sudah pasti gabung sama band yang sering tampil di televisi itu, Fel?" Papa menaruh cangkir kopinya ke atas meja. Laki-laki yang rambutnya sudah mulai berwarna abu-abu itu menumpukan tangan di meja, sembari menatap Felis lekat-lekat. "Kamu rencananya cuma bakal jadi gitaris sama penulis lagunya aja gitu?"
"Fee paling gede sih di bagian cipta lagunya, Pa. Kalau buat masuk band, Felis cuma freelance, ikut manggung kalau diajak buat ngegantiin anggota yang berhalangan aja." Felis tertawa. "Lagian kalau gajinya lebih gede nyiptain lagu, kenapa repot-repot gabung band?"
Dahi Papa berkerut, terlihat serius berpikir. "Tapi kalau bandnya terkenal banget ya pasti gajinya gede, terus kamu bisa terkenal juga, Fel. Itu Papa lihat kamu sering kok manggung sama bandmu itu di televisi. Apa nama bandnya?"
"Namanya aneh. The Escape."
"Kabur?" Papa tertawa mendengarnya. "Gimana bisa bikin nama kayak itu?"
Felis mengendikkan bahu. "Mungkin karena banyak anggotanya yang kabur? Felis sering gantiin mereka karena anggotanya nggak jelas. Gitaris tetapnya namanya Faisal, yang sering Felis gantiin mainnya. Dia pernah alesan dinner bareng pacarnya terus minta Felis buat ngegantiin dia manggung, padahal acaranya gede."
Papa menaikkan dua alisnya kagum. "Sampai begitu?"
Lagi, Felis mengendikkan bahu. "Tapi tetep aja terkenal itu band. Yah wajar Pa anggotanya anak petinggi semua."
"Hus!" Papa mengayunan tangannya ke depan. "Yang penting kamu juga kebagian, 'kan?"
"Iya," jawab Felis diselingi tawa.
Nenek yang sedari tadi hanya diam menyimak ikut berbicara, "Sekarang di desa kita sudah banyak perkembangan, Felis. Udah banyak yang punya televisi padahal ndak banyak yang bisa ditonton. Burek gitu warnanya."
"Wah bagus dong, Nek. Kalau hape gimana?"
"Ya ada tapi nggak banyak." Papa yang menjawab. "Yang punya kebanyakan mahasiswa yang merantau jauh, kayak Budi sama Aurel gitu."
Deg.
Darah Felis mengalir deras mendengar nama itu disebut. Padahal kemarin ia baru saja menghubungi gadis itu. Sekarang jarak mereka hanya beberapa meter. Bukankah seharusnya Felis berlari menemui gadis itu dan tersenyum padanya?
"Kenapa?" Mama yang baru kembali dari dapur tersenyum jenaka kepadanya. "Mama tahu maksudnya."
"Apa sih Ma, enggak," kilah Felis. Laki-laki itu melirik Nenek dan Papa. Keduanya menunjukkan ekspresi jahil yang sama. "Apaan sih."
"Nenek siap punya menantu Aurel," kata Nenek membuat Felis tersedak.
"Papa juga." Papa menimpali.
"Apa-apaan ini?"
"Udah sana!" Mama mendorong bahu Felis hingga laki-laki itu berdiri dari duduknya, lalu melambaikan tangan. "Dadah anak ganteng Mama! Semoga sukses!"
***
"Aurel pergi ke bukit, Felis. Mau lihat lamaran pekerjaan katanya."
Felis menaiki bukit dengan jantung berdegup cepat. Bukan kelelahan, tetapi gugup. Keringatnya jatuh menetes dari pelipis mengaliri pipi, leher, dan berakhir di bahu, membuatnya bajunya basah.
Sekarang bukan malam hari maupun dini hari. Sore hari ini matahari tidak bersinar terik, hingga bukan panas melainkan kehangatan yang menyapu wajahnya. Felis sempat mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah. Ternyata tempat ini sangat indah dilihat saat terang hari. Felis agak menyesal selalu ke sini di pagi hari yang dingin.
Langkah kaki Felis terhenti. Ia sudah sampai di atas. Matanya memandang ke depan, ke atas batu, tempat di mana ada seseorang yang tengah berbaring sembari memandangi ponsel dengan pipi mengembung kesal. Jantung Felis seperti ingin meledak melihatnya.
Padahal juga pas liburan tetep ketemu, batin Felis merasa aneh pada dirinya sendiri, telepon juga sering. Kok gugup banget?
"Woy!" Felis terkejut mendengar pekikan itu. Aurel duduk dan menghempaskan ponselnya ke samping sampai terdengar bunyi memprihatinkan. Gadis itu terlihat kesal. "Kapan dipanggil?! KESEL BANGET!"
Sungguh bukan Aurel di masa SMA. Felis terkekeh.
"Sabar kali, Non. Nanti kalau udah rezeki juga nggak bakal kemana."
Aurel menolehkan kepalanya terkejut. Gadis itu melotot menggemaskan. Seketika ia memekik, "Felis! Lama banget sampainya?! Katanya tadi jam empat tet bakal ke sini! Ini udah hampir jam lima!"
Felis tersenyum lebar sembari berjalan menghampirinya. Ia mendudukkan dirinya di samping Aurel. Bukannya 'Apa kabar?' atau 'Aku kangen banget!' yang keluar dari belah bibir gadis itu, melainkan protes. Untung saja menggemaskan. Kalau tidak sudah Felis buang. Bercanda.
Tahu-tahu gadis itu menengadahkan tangan. Felis mengerutkan dahi melihatnya. "Apa?"
"Oleh-oleh!"
Felis mendelik. "Kok tiba-tiba oleh-oleh?"
"Ya kamu telat, jadi kumintai oleh-oleh. Tadi katanya mau jam empat ke sini, malah telat banget. Udah gitu nggak berdosa sama sekali malah senyam-senyum. Masih baik ya aku nggak nyuruh kamu sujud nyembah jempol kaki aku. Kamu tuh—"
"Aduh, cerewetnya mulai nambah, ya, Bu Guru?"
Aurel mengerucutkan bibir lucu. "Belum jadi guru."
"Guru les?"
"Bukan guru di sekolah."
"Ya tetep aja Bu Guru."
"Bukan!"
"Kan sama aja."
"Beda!"
"Iya, iya, ampun, Bu Guru."
"Felis Leo!"
Felis tertawa keras. Menyenangkan sekali menggoda Aurel. Kalau sekarang Aurel yang duduk di sebelahnya adalah Aurel semasa SMA, pasti sudah garing setengah mati.
Di mata Aurel, tawa Felis terlihat begitu menyebalkan. Namun gadis itu tidak ingin memalak oleh-oleh lagi. Sebenarnya menunggu Felis sampai malam pun tidak apa-apa. Ia hanya kesal saat melihat ponsel dan tak mendapatkan email satu pun yang menyatakan ia diterima mengajar.
"Sekarang desa udah semakin maju, ya," kata Felis. Tawanya sudah mereda. Suaranya terdengar lembut di pendengaran Aurel, membuat gadis itu menghela napas panjang. "Di rumahku udah ada televisi. Beberapa orang juga udah punya hape walau masih susah sinyal. Di atas sini juga jadi 4G, 'kan? Dulu masih 3G."
"Semua juga bakal berubah ke arah yang lebih baik," balas Aurel. Gadis itu menoleh ke arah Felis. Ia jadi nostalgia melakukan hal ini, memandang Felis dari arah samping. Masih sama. Masih pahatan sempurna. "Kamu bakal kembali ke Jakarta lagi?"
Anggukan kepala Felis membuat Aurel meremas permukaan batu yang notabene tidak bisa diremas. Ia menjadi begitu sedih membayangkan Felis akan pergi lagi, dan entah kapan kembali. Kalau misalkan tidak kembali?
"Kenapa?" Aurel mengedip terkejut saat tiba-tiba Felis menoleh. Jarak wajah mereka sangat dekat omong-omong, tapi keduanya tidak sanggup untuk mundur. "Takut kangen, ya?"
"Iya."
Ganti Felis yang terkejut mendengarnya. Laki-laki itu menegang selama beberapa detik sebelum mengalihkan pandangan untuk terkekeh. "Ya mau gimana lagi, Rel. Di sini juga nggak ada fasilitas yang ngedukung bikin lagu."
"Aku juga bakal pergi setelah dapet panggilan kerja," Aurel ikut memandang ke depan. "tapi nggak sejauh Jakarta."
Felis tersenyum memandang gumpalan awan di angkasa. "Kamu tahu nggak, Rel? Dulu aku sempet kecewa banget waktu Papa sama Mama bangkrut. Pas pindah ke desa, rasanya kayak pengin cepet-cepet kuliah biar bisa balik lagi ke Jakarta. Tapi...."
Aurel terkekeh. "Tapi?"
"Kamu inget lagu yang kuciptain pas pensi sekolah?"
Aurel mengangguk.
"Isi lagunya berdasarkan pengalamanku. Aku tipe orang yang susah lepas dari gadget. Pas tahu nggak ada sinyal di rumah—udah ah mampus pokoknya. Sampai aku ketemu kamu dan tahu di tempat ini banyak sinyal. Tapi ternyata tujuanku ke tempat ini bukan semata-mata nyari sinyal—ya awalnya sih begitu, tapi ternyata ada yang lebih menarik dari sinyal." Felis menjilat bibirnya yang tiba-tiba mengering. "Itu kamu. Aku cuma pengen lihat kamu. Pengen deket sama kamu. And yeah, you made it."
Aurel menggigit bibir bawahnya pelan. Ia tak berani menoleh sekarang.
"Masih nggak mau nikah?" tanya Felis tiba-tiba, membuat jantung Aurel seakan lepas landas dan terbang ke angkasa. "Masih dengan pemikiran Aurel semasa SMA?"
Gadis itu menelan ludahnya dalam-dalam. "I-iya."
Felis menyodorkan telapak tangannya ke hadapan gadis itu. "Denger. Aku ke sini cuma mau bilang, aku nggak akan menyerah. Aku juga masih sama dengan Felis semasa SMA. Felis yang keras kepala. Felis yang pantang menyerah. Felis yang cinta sama kamu."
"Fel, aku—"
"Take my hand."
Aurel terdiam. Ia melirik tangannya yang menumpu di atas batu, lalu ganti menatap telapak tangan Felis yang terlihat besar dan hangat.
"Aku tahu kamu mungkin masih punya kenangan menyakitkan itu. Aku nggak bisa jamin kamu nggak akan pingsan setelah meraih tanganku. Tapi aku janji, kamu bakal merasa aman."
Aurel masih tak bergeming.
"Aku nggak maksa. Dan aku nggak akan menyerah. Terserah mau gandeng atau enggak."
Pandangan gadis itu memburam. Detik berikutnya air matanya jatuh menghantam telapak tangan Felis.
"Kamu," ucap Felis dengan suara yang mampu meluluhkan hati. "lebih dari sekadar sinyal untukku, Aurelia Aurita."
Tangan bergetar Aurel mulai terangkat untuk menggapai tangan Felis. Begitu permukaan telapak tangan mereka bergesekan, Felis tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk cepat menggenggamnya, dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Mendekapnya erat.
"Aku cinta kamu."
Aurel terisak dalam dekapan hangat Felis. Laki-laki itu tersenyum lebar, meski air matanya juga ikut keluar. Tangannya yang bebas menepuk-nepuk punggung Aurel pelan, memberikan gadis itu ketenangan.
Dan seolah momen itu merupakan momen bersejarah penting, tepat ketika langit mulai menggelap, Felis dan Aurel mendongakkan kepala ke atas. Ada hewan kecil bercahaya yang jumlahnya ribuan beterbangan mengelilingi atas kepala mereka. Kunang-kunang.
Apakah ini yang dinamakan jodoh, saat alam pun tahu kalian harus bersama?
.
.
.
END
.
.
.
Eits masih ada epilog, silakan diskrol~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top