29. Saling Merindu

Mereka sama-sama saling merindu. Dan mereka sama-sama bahagia.

.

.

.

Dua tahun kemudian...

"Nek, Aurel pulang!"

Pintu rumah menjeblak terbuka. Aurel meletakkan sepatu dan kaos kakinya ke rak tepat ketika Nenek keluar dari arah dapur. Aroma sesuatu yang digoreng menguar memenuhi seisi rumah, membuat perut Aurel seketika berbunyi nyaring. Gadis itu nyengir lebar sembari mengelus-elus perutnya dengan gerakan memutar.

"Ayo makan dulu. Nenek masak sayur lodeh lauk tempe goreng. Ada sambal juga."

Suasana kala makan malam itu hening. Kalau dulu semasa sekolah Aurel terkadang bercerita di sela-sela makan, sekarang gadis itu terlihat tidak ingin mengeluarkan satu abjad apapun dari belah bibirnya. Nenek memaklumi bahwa cucu sematawayangnya itu kelelahan berjam-jam duduk di dalam bus yang pengap. Sampai Aurel selesai makan, Nenek juga akan ikut membisu.

"Ahhh," desah Aurel usai meminum satu gelas besar air putih. Gadis itu menyandarkan punggungnya ke kursi sembari mengelus perut seperti tadi. Bedanya sekarang ia merasa kekenyangan bukannya kelaparan. "Aurel kangen banget makan masakan Nenek. Di sekitar kampus nggak ada makanan yang seenak masakan Nenek."

Nenek tersenyum mendengarnya. Wania tua itu meneruskan makannya dengan anggun. Aurel makan dua kali lebih cepat dibandingkan dirinya. "Masa sih, Nduk? Di kota kan banyak makanan enak. Sekali-kali pergi ke mana gitu jangan makan di dekat kos aja."

"Nggak ada waktu, Nek. Aurel sibuk banget sama tugas." Aurel memasang mimik sebal saat mengatakannya. Tiba-tiba ia teringat dengan pembatalan tugas yang dilakukan oleh dosennya kemarin, padahal ia sudah rela tidak tidur demi menyelesaikannya. Mau protes pun, hanya ia satu-satunya yang sudah menyelesaikan tugasnya dibandingkan teman-teman lainnya yang sedikit lebih bandel.

Nenek meraih cangkir gelasnya. Sebelum minum, ia melirik Aurel sejenak. "Kamu ada temen, to?"

Aurel hampir tertawa mendengarnya. "Nek, sekarang mau nggak mau itu harus punya temen. Di kampus kebanyakan tugasnya berkelompok, beda sama di sekolah yang lebih individu. Emang cara bicara Aurel masih sama, ya? Terakhir kali video call sama Felis katanya Aurel—"

"Lebih cerewet," sambung Nenek. Nenek berjak bangkit berdiri sembari menumpuk piring dan gelas kotor untuk dicuci. "Sampaikan salam Nenek buat Felis, ya? Bilangin, Nenek setuju sama thole Felis. Aurel sekarang banyak ngomong. Nggak malu-malu lagi."

"Nek, Aurel aja yang nyuci!" Aurel berdiri, lalu berjalan ke arah cucian sebelum Nenek yang jalannya lebih lambat sampai duluan. Tangannya menengadah meminta tumpukan piring dan gelas tapi Nenek mengabaikannya begitu saja. "Nenek pasti capek masak."

"Kamu nantinya bakal jadi guru to, Ndhuk. Jadi kamu harus lebih terbuka lagi sekarang," kata Nenek mengabaikan Aurel.

Aurel menyerah. Gadis itu menyeret kakinya kembali ke kursi dan duduk di sana. Bekas yang tadi didudukinya terasa hangat. Jarak antara tempat Nenek mencuci piring dan ruang makan sangat dekat sehingga Aurel dan Nenek masih bisa berkomunikasi dengan jelas. "Lumayan kok, Nek. Nenek sama Felis aja bilang Aurel lebih banyak ngomong. Aurel juga belajar buat lebih terbuka lagi."

Hati Nenek menghangat mendengarnya. Setiap kali Aurel pulang, Nenek tak lupa selalu bertanya tentang perkembangan kuliah dan pertemanannya. Awalnya masih Aurel yang sama. Namun perlahan-lahan, cucunya itu mulai berubah. Semua memang butuh proses. Dan Nenek begitu bersyukur Aurel bisa melewatinya tahap per tahap.

Berbeda dengan Felis yang pulang ke desa setiap liburan akhir semester, Aurel biasanya dalam satu bulan bisa 2 hingga 3 kali pulang kampung. Jarak tempuh yang hanya sekitar 3 sampai 4 jam membuat Aurel merasa tidak keberatan pulang-pergi dari kampus ke desa maupun sebaliknya sesering mungkin. Kalau Felis, laki-laki itu baru terhitung 2 kali pulang ke desa semenjak memasuki awal semester pekuliahan. Aurel sih sudah tidak dapat dihitung dengan sepuluh jari lagi. Sudah terlalu sering.

"Kamu nggak mau telepon Felis, Ndhuk?"

Kedua bola mata Aurel hampir copot dari tempatnya. Mampus, ia lupa kalau tadi janji akan menelepon Felis ketika sudah sampai. Gadis itu menyambar tas selempangnya dan berlari keluar rumah begitu saja.

"Nek, Aurel ke bukit dulu, ya!"

***

"Tante, ini dimasukin ke sini?"

Mama Felis melirik ke arah Aurel. Gadis itu tengah mengangkat mangkok besar berisi tahu mentah yang sudah dipotong dadu sembari menunjuk ke air mendidih di atas kompor. Begitu Mama Felis menganggukkan kepala, Aurel segera menumpahkan semua tahunya ke dalam air mendidih. Gadis itu tersenyum bangga melihat karyanya—karya menumpahkan tahu. Luar biasa.

"Udah, Rel. Sisanya nggak perlu dibantu. Kamu ada ngajar les kan sehabis ini?"

"Oh iya!" Aurel menepuk jidat. Gadis itu bergegas meraih tas selempangnya dan hendak mencium punggung tangan Mama Felis saat wanita yang kantong-kantong matanya terlihat jelas itu mengangkat jemarinya yang sibuk mengupas bawang. Aurel akhirnya melambai kecil. "Maaf ya, Tante, Aurel pamit dulu. Lain kali Aurel lama mainnya."

"Hati-hati, Rel!"

Nenek Felis masuk ke dapur bersamaan dengan Aurel yang hendak keluar. Aurel membungkuk kecil kala tersenyum, sekalian pamit pada Nenek Felis, mengatakan bahwa ia harus cepat-cepat pulang. Mungkin murid-murid lesnya sudah menunggu bosan di rumahnya.

"Aurel semakin cantik," puji Nenek Felis saat mendudukkan pantatnya di kursi. "Dia sering main ke sini, Ndhuk?"

"Hooh, Bu," jawab Mama Felis tak dapat menyembunyikan senyumnya. "Jadi makin ceria juga sekarang. Dia udah sering bantu-bantu masak juga. Kadang pamit ke sawah nyusul Papanya Felis. Bantu-bantu sebisanya."

"Wehalah, pinter, ya? Ibu kok jadi pengin jadiin mantu."

Mama Felis tertawa mendengarnya. "Hahaha, amin, Bu, amin!"

***

"Fel."

Felis yang tengah menulis lirik lagu mendongakkan kepala. Yanuar, laki-laki dengan gaya rambut punk itu berdiri di hadapannya dengan senyuman lebar. Felis jelas tahu ia tengah tersenyum, tapi laki-laki itu jauh lebih tahu kalau senyum Yanuar adalah senyuman penahan rasa malu.

"Kenapa?"

Felis juga tahu Yanuar akan berkata apa. Laki-laki itu sempat melirik ke belakang punggung Yanuar. Kumpulan kakak tingkat kurang kerjaan yang hobinya diam-diam menguntit Felis benar-benar membuatnya naik pitam. Apa mereka ini sesantai itu? Tidak memikirkan skripsi? Tidak ingin lulus apa bagaimana?

Sebuah amplop berwarna ungu muda beraroma lavender diletakkan di atas kertas catatannya. Felis mendesah ketika meraih amplop itu dan membuka isinya. Surat cinta bodoh lagi. Dan lagi-lagi, melodi musik berkedok surat cinta. Felis memasukkan surat itu kembali ke dalam amplop. Baru membaca judulnya saja sudah muak.

Lagipula, apa mereka ini tidak bisa memanfaatkan teknologi dengan baik dan benar? Mereka hidup di zaman apa? Bukankah mengirim pesan lewat sosial media akan lebih..., yah tidak kampungan?

Felis tidak mengatakan tentang kenorakan surat cinta dan lagu yang ada di dalamnya. Felis hanya tidak habis pikir. Kakak kelasnya itu hobi sekali dandan dengan tema gelap, sudah seperti pasukan vampir yang menguasai Fakultas Seni dan Budaya. Bagaimana bisa mereka menulis lagu untuk mengungkapkan perasaan dengan judul "Kamu Semanis Gulali"? Mana warna kertasnya cerah dan bergambar-gambar seperti punya anak TK.

Ini bukan Drama Korea, tolong!

"Biar aesthetic, Fel," kata Yanuar. Ia disuruh menyampaikan kata-kata itu oleh kakak tingkat kalau-kalau melihat Felis mendengkus geli. Dan serius, Felis memang mendengkus geli.

"Buat lo aja." Felis menekankan amplop itu ke perut Yanuar. Yanuar dengan sigap menangkapnya sebelum terjatuh ke lantai. "Gue udah punya pacar."

"Serius?"

Felis terkekeh pelan. "Lo nggak percaya?" laki-laki itu mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Jemarinya aktif menari-nari di atas layar ponsel. Sesaat ia tersenyum lebar—senyum khas orang kasmaran—sebelum memberi lihat Yanuar screenshot video call bersama Aurel yang jumlahnya tembus ribuan.

"Jadi gue bilang apa dong ke mereka?" keluh Yanuar usai mengembalikan ponsel ke pemiliknya. "Nanti kalo darah gue diisep, lo mau tanggung jawab?"

"Gue ikut ngelayat ntar. Tenang."

"Heh! Ngadi-ngadi, lu!"

Felis tertawa sembari mendorong Yanuar menjauh. "Pergi lo sana! Ganggu orang lagi nulis lagu aja!"

Laki-laki berambut punk itu mendumel sebelum membalikkan badan untuk pergi. Felis menggelengkan kepalanya berulang kali. Ada-ada saja. Felis tidak pernah menyangka beberapa konser kecil yang ia adakan bersama band baru di kampus justru membuat hidupnya tidak tenang. Sudah ditolak berkali-kali, muncul lagi yang lain. Felis 'kan bukan artis, kenapa sampai segitunya? Ia juga tidak merasa punya wajah setampan V BTS. Berlebihan memang gadis-gadis itu.

Tangannya meraih ponsel di atas meja. Tiba-tiba hasrat untuk kembali melanjutkan tulisan menghilang. Ia berterima kasih pada Yanuar dan surat cinta norak yang berhasil membuat mood-nya anjlog. Laki-laki itu membuka kamera dan menempatkannya ke depan wajah. Felis mulai merekam.

"Rel, kangen. Nanti telepon lagi, ya?"

Rekaman itu dikirim siang hari, tetapi sampai pada malam hari, saat Aurel sedang duduk seorang diri di atas batu. Gadis itu tersenyum lebar melihat penampakan wajah Felis dengan filter kelinci. Felis terlihat imut dengan kumis dan telinga panjang.

"Aku juga kangen, kok," lirihnya, sebelum memutuskan untuk menelepon Felis.

.

.

.

Pemberitahuan: besok adalah chapter terakhir.

Sekian.

Terima Kim Yohan.

:*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top