28. Lagu Untukmu

Felis hanya butuh satu alasan untuk menulis sebuah lagu, yaitu mencintainya.

.

.

.

Lebih daripada teman, Felis lebih suka menyebut hubungan mereka ini tidak jelas, yah semacam hubungan tanpa status. Ia tidak mau memberitahukan pemikirannya pada Aurel. Bisa saja gadis itu akan murka padanya. Tahu sendiri, Aurel alergi sekali dengan hal-hal berbau cinta, kekasih, dan sebagainya.

Bagi Aurel, kedekatan mereka ini sudah melampaui batas kedekatan teman biasa. Atau mungkin tanpa ia sadari hanya ia sendiri yang menganggapnya seperti itu. Felis adalah teman pertama yang ia punya dalam hidupnya. Dan sebelum-sebelum ini Aurel tidak pernah memiliki seseorang—selain Nenek—yang seedekat ini dengannya. Terlalu berlebihankah kalau Aurel menganggap hubungan mereka ini hubungan sahabat?

Entahlah. Yang pasti, baik Aurel maupun Felis, keduanya menikmati setiap waktu yang mereka habiskan bersama-sama. Terlebih, karena Felis sebentar lagi akan menghadapi ujian, pola kehidupan Aurel juga ikut berubah. Mereka tak sesering seperti biasanya ke atas bukit. Sekarang mereka lebih sering menghabiskan waktu di teras rumah Felis maupun di teras rumah Aurel. Belajar, membicarakan rencana masa depan, bahkan sesekali mengomentari gaya rambut Pak Suto, guru olahraga sekolah mereka yang perutnya bagaikan ibu-ibu hamil sembilan bulan.

Felis melirik di balik buku yang ia baca. Aurel terlihat serius sekali mengerjakan soal fisika. Berulang kali Felis melihat dahinya berkerut dan bibirnya mengerucut lucu kala kebingungan berpikir. Gadis itu juga sering mendesis kesal.

Kekehan Felis membuat Aurel mendongak. "Kenapa ketawa?"

"Ketus banget," komentar Felis, sembari membalik halaman buku sejarah di tangannya. "Mau bantuin, tapi nggak pernah kenal sama yang namanya rumus fisika."

"Udah fokus aja belajarnya," balas Aurel. "Aku santai kok, kan nggak lagi mau ujian."

"Jadi fungsinya ikut belajar cuma mau nemenin, nih?" tanya Felis membuat Aurel mendelik sebal. "Hahaha, kamu kok akhir-akhir ini sering cemberut. Lagi PMS apa gimana?"

"Udah belajar aja, jangan ngelantur!"

"Weits, jadi makin galak." Felis buru-buru hormat dengan tangan kanan sebelum Aurel memukulnya dengan buku. Aurel memang tidak pernah memukulnya selain kasus jaring yang membuat mereka berdua berteman hingga detik ini. Hanya saja Felis tidak yakin gadis itu tetap akan menahan diri dilihat dari wajahnya yang siap menerkam sekarang. "Ampun, Bos."

Aurel kembali menunduk untuk lanjut menulis rumus dan jawaban. Rambutnya yang panjang jatuh menyapu meja. Felis diam-diam memerhatikannya. Saat ini laki-laki itu tidak bisa untuk tidak tersenyum. Aurel memang terlihat cantik. Begitu cantiknya sampai Felis bosan terpesona berulang kali. Mungkin lebih tepatnya lelah daripada bosan.

Gadis itu kembali mendongak saat tangan Felis bergerak mengambil kotak pensilnya. "Mau apa?"

"Pinjam pulpen. Punyakku habis," dusta Felis. Padahal ia punya dua pak pulpen yang isinya masih belum terjamah di dalam laci meja belajar. Ia hanya malas kembali ke kamar, ingin ada di sini setiap detiknya. Laki-laki itu membuka halaman buku paket paling akhir, tempat di mana hanya terdapat garis-garis catatan yang belum terisi.

Aurel mengerutkan dahi melihatnya. "Nggak sayang nulis di situ? Mau pake kertasku aja?"

Aurel sudah siap menyobek kertas saat Felis menghentikannya, "Nggak usah, lah. Apa gunanya halaman ini kalau nggak dibuat nyatet?"

Benar juga. Selama ini Aurel selalu berpikir halaman belakang buku paket adalah halaman paling bagus. Di bawah tulisan catatan selalu terdapat garis-garis berwarna. Ia jadi sayang untuk mencoret-coretkan pena ke atasnya. Lebih baik ia menulis di telapak tangannya saja, hemat juga bisa hilang saat cuci tangan.

Gadis itu kembali menunduk, melanjutkan tulisannya. Felis sempat melempar senyum, sebelum ikut menundukkan kepala untuk mencatat.

Ujung penanya menyentuh kertas, menciptakan titik hitam. Felis terdiam sejenak, berpikir. Selama berpikir, titik hitamnya mulai membesar perlahan-lahan. Sekali lagi, ia melirik Aurel. Dan seketika itu juga ia mendapatkan ide. Melihat Aurel membuat pikirannya menjadi cerah. Jika ia hidup dalam dunia kartun, mungkin di atas kepalanya akan muncul bola lampu kuning terang dengan bunyi, ting!

Pertama bertemu

Kamu begitu

Felis terdiam. Ah, pikirannya buntu lagi. Ia melirik Aurel, lalu lanjut menulis kembali. Buntu, melirik. Buntu, melirik. Buntu, meliik. Rumus yang sangat membantu.

Setiap pikirannya buntu, ia selalu melirik gadis itu. Dengan begitu, idenya akan mengalir lancar.

Pertama bertemu

Pertama melihatmu

Diriku mulai mengenal apa yang dinamakan candu

Lalu aku melihat ke dalam bola matamu

Seketika aku tidak mampu

Ujung penanya berpindah tempat ke pojok paling atas.

"Judulnya...," gumaman Felis membuat Aurel mendongak. Felis pun ikut mendongak. Tatapan mereka bertemu. "More Than Signal."

***

Besok pagi ujian akan dilaksanakan. Di saat semua teman-temannya merasakan gugup, berdebar-debar tak karuan, bahkan hingga menangis ketakutan, maka Felis adalah satu-satunya yang lebih memilih meraih gitar dan duduk di teras rumah dibandingkan membaca ulang latihan-latihan soal.

Laki-laki itu duduk bersila. Di hadapannya terbuka lebar halaman paling belakang buku paket sejarah. Felis telah menyelesaikan lirik lagunya. Laki-laki itu sudah siap untuk menyanyikannya. Petikan pertama adalah hal yang membuat jantungnya berdebar kencang, bukan ujian di esok hari. Felis menelan ludah.

Pertama bertemu
Pertama melihatmu
Diriku mulai mengenal apa yang dinamakan candu
Lalu aku melihat ke dalam bola matamu
Seketika aku tidak mampu

Hai, bolehkah aku tahu namamu?
Hai, bolehkah aku menjadi bagian penting dalam hidumu?
Dalam hidupmu

Aku benci ketika semua tidak berjalan sesuai dengan keinginanku
Aku kehilangan harapan, juga kebahagiaan
Namun ada satu yang membuatku bertahan
Melihatmu, yang bersinar bagaikan kunang-kunang
Kamu, lebih dari sekadar sinyal untukku

Felis mengakhiri nyanyiannya dengan melodi indah. Saat tangannya berhenti memetik, tatapannya secara otomatis terpaku pada kalimat terakhir.

"Kamu, lebih dari sekadar sinyal untukku."

***

Satu minggu kemudian...

Aurel membenci keramaian. Entah itu pasar, sekumpulan manusia-manusia gemar bergosip, maupun jam istirahat di kantin. Ralat, jam istirahat di kantin mulai menyenangkan semenjak ada Felis di sisinya. Sekarang, Aurel kembali membenci keramaian karena Felis tidak ada untuk menemaninya. Gadis itu sudah celingukan mencari keberadaan Felis, tapi laki-laki itu tidak kunjung muncul. Jangan bilang Felis sengaja membohonginya?

Ini kali pertama Aurel menghadiri pensi sekolah. Sekolahnya memang tidak heboh-heboh amat saat menyelenggarakan acara pensi yang merangkup acara perpisahan. Kalau saja Felis tidak memaksanya datang—dengan alasan ia harus melihat Felis pada hari perpisahan—mungkin Aurel lebih memilih untuk merayakan solo pensinya di atas bukit.

Hanya ada beberapa kursi saja di tempat ini—mengingat manusia penghuni sekolah tidak banyak. Panggung yang didirikan juga hanya panggung bulat kecil. Tidak ada banyak alat musik kecuali gitar dan keyboard yang sebenarnya tak layak tampil itu. Mungkin pidato ketua OSIS adalah satu-satunya hal yang paling menghibur dibandingkan penampilan lain yang terkesan berantakan. Dan sekali lagi, Aurel membenci keramaian ini.

Pembawa acara naik ke atas panggung usai ketua OSIS mengakhiri pidato. Budi, teman Felis yang bertugas memandu acara itu mulai meraih mikrofon di penyangga. Seketika bunyi dengungan membuat semua orang menutup telinga. Laki-laki yang berdiri di atas panggung itu cengengesan sembari meminta maaf berulang kali. Aurel dibuat mendesah panjang. Kenapa payah sekali sih acara ini?

Budi mulai berdeham. Mungkin sebagai pembukaan. "Kita sudah melihat semua penampilan menakjubkan di pembukaan tadi, beserta dengan pidato-pidato dari kepala sekolah, perwakilan guru, serta perwakilan dari siswa. Sekarang, kita akan menyaksikan penampilan berikutnya. Wah, saya terharu sekali saat ia memutuskan untuk mendaftar tampil." Budi menjeda hanya untuk tertawa sebagai pemanis tampilannya di atas panggung. Aurel sebenarnya agak takjub melihatnya. Laki-laki medhok itu tiba-tiba berlogat seperti Felis di atas panggung. Entah seberapa lama dan seberapa keras ia belajar. "Ini teman saya, teman seperjalanan saya, sekaligus tetangga saya. Teman saya ini memang banyak sekali kejutannya, luar biasa. Tidak perlu menunggu waktu lebih lama lagi, mari kita sambut manusia ganteng kelas 12 IPS 1, FELIS LEO!"

Felis Leo? Tubuh Aurel menegang. Gadis itu melotot saat orang yang sedari tadi dicarinya naik ke atas panggung membawa gitar. Itu Felis. Mau apa laki-laki itu?

Aurel menganga. "Dia...?"

Felis berdiri tepat di tengah-tengah panggung. Ia maju selangkah, mendekatkan bibirnya pada mikrofon yang telah dikembalikan oleh Budi ke penyangga. Aurel tambah menegang dalam duduknya saat melihat mata Felis jelalatan. Kepalanya memutar ke seluruh lapangan, seperti mencari-cari seseorang. Jangan bilang laki-laki itu...

Tatapan mereka bertemu. Felis seketika tersenyum. Tangan kanannya melambai heboh di udara. "Aurel!"

Deg.

Semua orang menatapnya ingin tahu. Aurel seketika menjadi pusat perhatian. Jantungnya berdegup dengan irama tak menentu. Dan ia tak dapat melihat kemanapun selain satu manusia itu. Ia terlalu malu, dan pikirannya blank tiba-tiba. Aurel meremas roknya kuat-kuat. Mau apa dia?

"Sebelum aku nyanyi, aku mau bilang—ah, maksudnya ngulang kata-kata ini. Aku pikir, semua orang harus tahu, bukan hanya kita berdua. Janji jangan marah, ya?" Felis tersenyum lebar, sampai-sampai Aurel khawatir bibirnya akan robek. Semangat sekali laki-laki itu. "AKU SAYANG SAMA KAMU, AURELIA AURITA!"

Seluruh penjuru lapangan bersiul-siul heboh. Felis tidak keberatan mendengar siulan itu. Ia justru terlihat makin bersemangat lagi. Sedangkan Aurel, ia berharap bumi menelannya dalam-dalam detik ini juga.

Jreeenggg...

Suasana di sekitar seketika menjadi hening. Jemari Felis mulai memetik senar gitar. Felis memainkan melodi sebagai intro lagu. Laki-laki itu mencondongkan bibirnya ke arah mikrofon. Suaranya menyapu lembut gendang telinga Aurel, membuat hati gadis itu berdesir.

Pertama bertemu
Pertama melihatmu
Diriku mulai mengenal apa yang dinamakan candu
Lalu aku melihat ke dalam bola matamu
Seketika aku tidak mampu

Hai, bolehkah aku tahu namamu?
Hai, bolehkah aku menjadi bagian penting dalam hidumu?
Dalam hidupmu

Aku benci ketika semua tidak berjalan sesuai dengan keinginanku
Aku kehilangan harapan, juga kebahagiaan
Namun ada satu yang membuatku bertahan
Melihatmu, yang bersinar bagaikan kunang-kunang
Kamu, lebih dari sekadar sinyal untukku

Felis mengulangi lagu itu dua kali. Selama bernyanyi, laki-laki itu tetap mempertahankan senyuman dan tatapannya untuk Aurel. Felis terlihat begitu bahagia. Sementara Aurel terlihat berkaca-kaca. Pandangan gadis itu memburam.

Tepuk tangan nyaring membanjiri lapangan, beberapa orang sampai berdiri dari duduknya. Felis melambaikan tangannya tinggi-tinggi, masih dengan senyum lebar.

"Rel!" panggil Felis lagi. Laki-laki itu mengubah simbol lambaian tangannya menjadi simbol metal. "Aku sayang kamu! Tetap setia jadi temanku untuk selamanya, ya?"

Satu tetes air mata Aurel jatuh menghantam rok. Perlahan, ia bangkit berdiri dari duduknya. Sebisa mungkin gadis itu bangkit, walau kakinya bergetar.

Tangan Aurel terangkat ke udara, ikut membentuk simbol metal seperti milik Felis yang belum juga turun.

Gadis itu mengangguk kuat-kuat, membuat senyuman Felis bertambah lebar sampai matanya nyaris menghilang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top