27. Janji
Aurel sudah membantunya, kini biarkan Felis yang ganti melakukannya.
.
.
.
Aurel tidak pernah menyangka waktu akan secepat ini berlalu. Terlalu sering menghabiskan waktu bersama Felis membuatnya tidak sadar bahwa bumi akan terus berputar dan tidak akan pernah berhenti sebelum masanya. Padahal sebelum mengenal Felis Leo, waktu serasa berjalan lambat untuk Aurel. Ah, jadi ini yang dinamakan nyaman.
Ketika seseorang merasa nyaman dengan sesamanya, tempat, ataupun suasana, maka waktu akan terasa begitu cepat berlalu. Sebaliknya, apabila seseorang tidak menyukai sesamanya, membenci tempat tertentu, atau sedang dalam suasana hati yang tidak bagus, maka waktu akan seperti berjalan sangat lambat.
Seingat Aurel, ia masih asik tertawa di saat liburan akhir semester, bagaimana bisa sekarang ia sudah berdiri di depan majalah dinding dengan bahu merosot. Kertas yang ditempelkan di hadapannya seperti racun yang membuat tubuhnya melemas. Judul JADWAL UJIAN tercetak besar-besar—sepertinya disengaja supaya siapa saja tak bisa beralasan semacam tidak membacanya.
Helaan napas kencang membuatnya seketika menoleh. Felis berdiri di sebelahnya dengan tangan masuk ke dalam saku celana. Laki-laki itu memicingkan matanya membaca jadwal ujian, sebelum menoleh dengan senyum lebar. Seketika Aurel merasa sebal. Bagaimana bisa Felis tersenyum lebar usai membaca deretan kata pada kertas itu?
"Mentang-mentang sudah punya kampus tujuan," sindirnya tidak kedengaran oleh Felis. Aurel pergi meninggalkan laki-laki itu begitu saja.
"Kamu sakit?" rupanya Felis menyusulnya. Aurel melirik tanpa minat. Kakinya berusaha cepat melangkah supaya Felis tertinggal, tapi ia lupa kalau kaki Felis nyaris dua kali lebih panjang dibandingkan kakinya. "Mau ke UKS? Aku anterin."
Langkah kaki gadis itu terhenti. Ia menatap Felis serius. "Nanti malam mau belajar?"
"Siapa? Aku?" Felis menunjuk dirinya sendiri.
Aurel mengangguk.
Lagi, Felis tersenyum, membuat Aurel gatal untuk menendang tulang keringnya. "Iya, dong. Bentar lagi bakal banyak ujian, jadi harus cepet-cepet kebut materi. Mau belajar bareng?"
"Mau lihat kunang-kunang lagi, nggak?" karena Aurel tidak ingin membahas tentang jadwal, ujian, ataupun belajar—padahal ia sendiri yang tadinya mengajukan pertanyaan itu—maka Aurel berusaha sebisa mungkin mengalihkan pembicaraan. "Nanti aku bawa kue ke bukit. Nenek baru bikin. Rasanya nanas. Dibuat dari sari-sari nanas asli."
Memang entah Felis yang tidak peka atau terlampau polos. Cengiran lebarnya membuat Aurel seketika mendengkus dan melangkahkan kaki lebar-lebar meninggalkannya.
"Boleh. Nanti aku sekalian ajarin kamu materi—Rel, mau ke mana?!"
Aurel menulikan telinganya. Gadis itu berjalan cepat menuju kelas, membiarkan Felis berdiri kebingungan di tengah-tengah koridor seolah yang ramai.
***
Sesuai dengan janji, dini hari itu mereka ada di atas bukit, duduk saling berhadapan di atas batu. Bila sebelum-sebelumnya mereka selalu duduk bersisihan sembari menikmati pemandangan dengan netra masing-masing, kini mereka duduk berhadapan dibatasi dengan deretan rapi barang-barang yang telah mereka bawa. Aurel yang menatanya.
Di paling kiri ada toples berisi tiga ekor kunang-kunang yang Aurel tangkap tanpa minat—karena Felis meneriakinya terus, mengatakan ia harus segera belajar sebelum subuh, di sebelahnya ada toples berisi kue nanas bikinan Nenek Aurel, kemudian di sebelahnya lagi—Aurel menghela napas setiap kali melihatnya—ada tumpukan buku paket dan catatan sekolah. Sementara tongkat dan jaringnya ia letakkan di atas tanah.
Tangan Aurel meraih toples kue. Bersamaan dengan itu, tangan Felis meraih satu buku yang ada di paling atas. Mood Aurel langsung turun drastis melihatnya. Gadis itu menarik tangannya kembali.
"Nggak mau makan kue dulu?"
Felis sibuk membuka halaman buku. Tanpa perlu melihat gadis itu, Felis menjawab, "Tadi udah sibuk nangkep kunang-kunang, sekarang mau makan kue, terus kapan belajarnya?"
"Nggak usah belajar," lirih Aurel. Dan kali ini Felis dapat mendengarnya karena suasana di sekitar mereka sepi. Selain suara serangga malam, tidak ada lagi suara lain yang ikut bergabung dengan percakapan mereka.
"Rel," Felis menutup bukunya. "kamu kenapa? Salah kalau aku belajar? Aku mau mempersiapkan ujian dengan matang."
Gadis itu menunduk, tak berani menatap mata Felis. Haruskah ia jujur, mengatakan bahwa sebenarnya ada yang salah dalam diri Aurel? Aurel sendiri tidak tahu kenapa ia begitu kesal dengan ujian Felis yang sudah dekat, padahal ketika liburan kemarin, saat Felis menangis keras, ia sendiri jelas-jelas berkata bahwa laki-laki itu tetap harus memprioritaskan cita-citanya.
"Buat kemarin. Kalau kamu berubah pikiran karena kata-kataku yang kemarin, lebih baik jangan korbanin masa depan kamu. Kamu harus tetap perjuangin apa yang kamu inginkan."
Aurel malu kepada dirinya sendiri. Perasaannya campur aduk. Mulai dari menyesal telah mengatakannya pada Felis, sampai menyesal terlambat lahir. Kalau sekarang ia berada di jenjang yang sama dengan Felis, mungkin rasanya akan berbeda.
Ia hanya tidak bisa membayangkan sendiri lagi setelah kepergian laki-laki itu.
Felis mengamati gadis itu dalam-dalam. Aurel memainkan jemarinya gelisah, kepalanya menunduk dalam, auranya terlihat sedih. Senyuman Felis perlahan terukir. Laki-laki itu tahu alasannya.
"Kamu sendiri yang bilang kemarin kalau—"
"Felis!" Aurel mendongak. "Iya, aku tahu. Jangan diperjelas."
Felis terkekeh pelan. "Tiap liburan semester aku bakal pulang, kok. Kenapa takut begitu?"
Gadis itu terdiam selama beberapa saat. Suara lirihnya terdengar lembut memasuki gendang telinga Felis, "Nggak tahu. Tiba-tiba aja."
Demi menyenangkan gadis itu, Felis mengambil satu potong kue nanasnya. Aurel meliriknya singkat, sedikit menyunggingkan senyum. Sembari makan kue pelan-pelan, Felis bertanya, "Kalau kamu sendiri? Mau kuliah di mana?"
Bukannya menjawab, Aurel malah balik bertanya, "Apa semua orang yang mau kuliah selalu punya tujuan? Selalu tahu mau ambil apa, mau ke mana."
Felis menelengkan kepala. "Nggak semuanya, tapi kebanyakan iya, termasuk aku."
"Oh." Aurel menganguk-angguk paham—atau sok paham, entahlah.
"Kenapa?" tanya Felis.
"Aku...," Aurel menjilat bibir. "Nggak akan kuliah. Nggak pengin. Mau sama Nenek aja."
"Aku yakin Nenek bakal kecewa tahu kamu bilang gitu."
Sama seperti nada suara Felis yang kecewa atas pernyataannya, Aurel pun bisa membayangkan wajah kecewa Nenek. Benar, ia membuat keduanya kecewa. Bahkan dirinya sendiri, Aurel merasa kecewa.
Ia kecewa memutuskan mengatakan itu. Ia kecewa punya pemikiran seperti itu. Ia kecewa mengapa ia tidak seperti kebanyakan orang yang punya tujuan dan cita-cita tinggi untuk dicapai. Aurel merasa seperti alien yang tidak tahu apa-apa tentang masa depan di bumi.
"Rel," panggil Felis lembut. Hati Aurel berdesir mendengarnya. Mereka berdua saling menatap satu sama lain. "Kuliah. Aku tahu kamu pasti pengin juga, cuma masih bingung mau ke mana dan mau ambil apa. Tolong, jangan bilang begitu. Kamu bikin aku sedih, tahu?"
Benar. Felis benar. Laki-laki itu memang selalu benar menebak ekspresinya, seperti sekarang ini.
Mungkin semua orang telah mempersiapkan cita-cita mereka selama bertahun-tahun. Felis juga. Meski sempat bimbang dan hampir oleng, tetapi laki-laki itu berhasil meneguhkan hatinya kembali mengejar cita-citanya semula. Dan kini, waktu Aurel hanya sekitar kurang lebih satu tahun, sebelum ia akan menjadi senior seperti Felis sekarang dan melaksanakan rentetan ujian yang membuat kepala berasap.
"A-aku nggak tahu harus ke mana. Kalau bisa, ke yang deket-deket aja."
Felis seketika lega mendengarnya. Laki-laki itu tersenyum lebar. "Waktu review, aku kemarin baca ada kampus bagus di kota dekat sini. Kamu mau jadi guru, nggak?"
"Hah?" Aurel membayangkan ia tengah berdiri di depan ruang kelas sambil menunduk dalam. Murid-muridnya tengah menertawakannya yang terlihat cupu. "Kenapa kamu punya pikiran gitu?"
Felis mengendikkan bahu. "Muka kamu cocok jadi guru. Orangnya juga sabar. Boleh dicoba."
"T-tapi aku nggak pinter ngomong."
"Semuanya bisa dipelajari. Lagian, masa baru rencana udah mikir yang enggak-enggak? Coba dulu dong." Felis menyodorkan jari telunjuk dan jempolnya, membentuk saranghae. "Cobain, kuy!"
***
"Nek."
Nenek yang tengah sibuk menata sarapan di atas meja makan mendongak, menatap Aurel yang sudah berseragam rapi. Gadis itu berdiri di seberangnya. Mereka berdua dibatasi oleh meja makan. Senyuman Nenek luntur saat melihat ekspresi wajah Aurel. Nenek menghentikan kegiatannya dan berjalan mendekati Aurel, berdiri tepat di depannya.
Belum sempat bertanya apa yang terjadi, justru Aurel yang tahu-tahu bertanya, "Nenek mau Aurel kuliah?"
Tembakan itu telak mengenai perasaan Nenek, membuat Nenek mengerjap tak percaya. "Iya, pasti, Ndhuk! Kamu kok tanya gitu? Bikin Nenek jantungan aja."
Aurel menggigit bibir bawahnya pelan. "Felis bilang Aurel harus kuliah. Padahal Aurel mau temenin Nenek aja."
Nenek mendelikkan mata, membuat Aurel nyengir kecil. "Harus dibilangin Felis dulu baru nurut? Kamu ini, mbok jangan bikin Nenek kepikiran. Nenek udah seneng kamu selama ini ndak mbahas itu. Tahu-tahu bilang gitu. Haduh hampir jantungan Nenek."
"Jadi..., Nenek nggak pa-pa semisal nanti Aurel pergi buat kuliah? Aurel nggak mau ninggalin Nenek sendirian—eh! Aurel mau ambil kuliah di kota deket sini aja, Nek. Felis bilang ada kampus yang bagus."
Beban dalam batin Aurel seolah terangkat seketika. Ia salah yang selama ini hanya memendam semuanya, mengira bahwa Nenek pasti akan berat jika Aurel harus pergi meninggalkannya untuk kulia. Felis benar. Laki-laki itu benar. Nenek tidak pernah terlihat sebahagia itu mendengar keputusan Aurel. Aurel masih ingat senyuman lebar Nenek, serta pelukan eratnya yang membuat Aurel nyaris menangis pagi itu.
Sepanjang perjalanan, Aurel tak henti-hentinya tersenyum. Ia tidak lelah sama sekali. Justru ia sangat bahagia, juga lega.
"Aku sudah bilang sama Nenek. Dia kelihatan senang."
Felis tersenyum lebar. "Bener, 'kan?"
Aurel mengangguk. Gadis itu menendangi kerikil-kerikil kecil di tanah menggunakan ujung sepatunya. "Makasih Felis."
"Kalau mau makasih," Felis menolehkan kepalanya. "kamu harus janji sama aku."
"Janji apa?" Aurel ikut menoleh.
Tatapan Felis turun ke arah jemari Aurel, tepat menatap kelingking mungilnya, sebelum ganti menatap miliknya sendiri. Ia tersenyum kecil, kembali mendongak menatap Aurel. "Janji kita harus sukses bareng-bareng, harus saling menopang. Mau?"
Aurel mengangguk sumringah. "Mm. Janji!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top