26. Masa Depan
Jangan karena ingin menjaga seseorang, maka kamu mengorbankan masa depan. Ingat, orang yang kamu jaga bisa menjadi merasa bersalah karenamu.
.
.
.
Felis mengambil sejenak waktunya, duduk merenung di meja belajar yang lampunya sengaja ia matikan. Bahkan lampu kamar saja tidak ia nyalakan. Laki-laki itu sudah menghabiskan satu jamnya di dalam kamar yang mirip seperti sarang hantu. Ia terlihat hanya duduk diam melamun, tetapi sebenarnya ia tengah sibuk berpikir.
Memikirkan sesuatu yang membuat hatinya berdebar-debar karena bimbang.
"Fel, bisa nggak kita tetap berteman aja?"
Felis pikir, kata maaf yang dulu pernah terucap dalam belah bibirnya akan membantu hati Aurel luluh. Felis memang tidak berharap Aurel secepat itu membuka hati, tetapi setidaknya ia ingin gadis itu pelan-pelan menerimanya.
Felis masih ingat beberapa menit yang lalu tentang wajah gadis yang bersemu merah saat malu-malu keluar rumah demi menemuinya. Ke mana Aurel yang itu? Kenapa cepat sekali ekspresinya berubah?
Ia memang kecewa. Felis sama kecewanya dengan Aurel yang kecewa terhadap hubungannya dan Manisa. Namun ini berbeda. Felis tidak pernah mendengar ada keajaiban pada kesempatan ketiga. Kesempatan keduanya pun penuh dengan penolakan.
"Aku mau jaga kamu, Rel," kata Felis dengan nada berat. Tanpa sadar kedua tangannya terkepal erat. Ia ingin berbalik untuk berteriak, tapi ia memilih menahannya kuat-kuat. "Nggak bisakah aku jaga kamu?"
"Memang teman tidak cukup untuk saling menjaga?"
Seharusnya Felis tahu, dari nada bicara Aurel yang mulai ketus, gadis itu tidak ingin membicarakan hal ini lagi. Dan ya, Felis tahu. Ia sangat tahu. Sorot mata Aurel terbaca.
Namun ia ingin menjadi egois. Felis ingin egois. Tidak bisakah ia egois?
"Nggak cukup," tegas Felis. "Mau taruhan berapa seorang teman akan selalu ada setiap saat?"
Aurel mengalihkan pandangan. Ia tak lagi menatap mata Felis. "Asal selalu ada di sisinya, maka akan selalu ada setiap saat."
Klik!
Seketika ruangan di sekitarnya terang benderang. Felis menarik laci kecil di bawah meja. Dikeluarkannya satu map cokelat besar tebal. Laki-laki itu menumpahkan semua isinya ke atas meja.
Isinya adalah tumpukan kertas, kebanyakan adalah brosur. Semua kertas dan brosur itu ia kumpulkan setelah lulus SMP. Semua berisi tentang informasi kampus di Jakarta, di mana ia ingin menaruh cita-cita dan masa depannya.
Jemarinya meraih satu brosur yang paling besar. Ini keluaran terbaru yang didapatkannya dari kakak kelas sebelum pindah ke desa. Brosur yang dikeluarkan oleh kampus nomor satu yang ingin ia tuju.
Perlahan diremasnya brosur itu hingga lusuh menjadi gumpalan bola. Ia menghela napas berat sebelum bangkit berdiri.
***
Papa baru saja selesai mandi saat Felis memintanya untuk mengobrol di ruang tamu. Laki-laki itu juga memanggil Mama yang ada di dapur. Mama tengah meracik bumbu-bumbu untuk dimasak besok pagi saat Felis menemuinya untuk meminta mengobrol di ruang tamu. Ketika sampai di ruang tamu, Mama dibuat heran melihat Felis dan Papa yang sudah duduk rapi seperti menunggu antrean periksa di rumah sakit.
"Serius banget. Ada apa?" Mama duduk di sebelah Felis, membuat posisi putranya ada di tengah-tengah, di antara Mama dan Papa. Mama melirik Papa untuk meminta clue. Sebagai jawaban, Papa hanya mengendikkan bahu.
"Ma, Pa," Felis angkat suara. "ada yang mau Felis bicarakan. Ini penting."
"Tumben." Mama mencebik. "Kenapa? Kamu mau ikut ekstrakurikuler di sekolah?"
"Bukan." Felis menggeleng. Laki-laki itu menelan ludah. Tiba-tiba ia merasa gugup. "Ini soal kuliah Felis."
"Kenapa dengan kuliahmu?" tanya Papa langsung. Gendang telinganya lebih peka dua kali lipat usai mendengar kata kuliah. Felis memejamkan mata. "Ingat, apapun yang terjadi, kamu harus tetap kuliah. Papa sama Mama udah sepakat kamu nggak boleh cuma tamat sampai SMA."
Mendengar reaksi Papa yang sudah berlebihan begitu, rasa percaya Felis menguap entah kemana. Bagaimana jika ia mematahkan harapan orang tuanya? Ia bahkan belum mengatakan inti permasalahannya.
"Felis tetap kuliah, kok," ucap Felis lirih yang membuat Papa dan Mama seketika menghela napas lega, tetapi tak berselang lama begitu mendengar kalimat selanjutnya, "tapi nggak akan masuk ke musik."
"Kenapa?" tanya Mama. Tanpa sadar tangan Mama meremat pergelangan Felis kuat. "Kamu sejak kecil suka main musik, selalu bilang ingin jadi musisi hebat. Kenapa tiba-tiba...?"
"Kamu mau ganti jurusan?" Papa mengerutkan dahi. "Benar kata Mamamu. Kok tiba-tiba, padahal kamu sebentar lagi kuliah? Kamu mau ambil jurusan apa? Jangan main-main, Felis. Jurusan itu nggak bisa sembarangan kamu asal masuk. Itu menentukan masa depanmu!"
"Bukan cuma jurusan, tapi," Felis menahan napas. "juga kampus."
"Apa?!" Papa bangkit berdiri. "Kamu jangan main-main, Felis! Papa sekarang lagi kerja keras banting tulang ngumpulin uang biar kamu bisa kuliah di—"
"Felis mau ke kampus dekat sini aja, Pa!" Felis memberanikan diri mendongakkan kepala menatap Papa. "Felis nggak mau jauh-jauh dari Papa dan Mama!"
"Felis, kamu kenapa tiba-tiba gini? Kamu bukan anak manja yang nempel terus sama Mama Papa. Kamu biasa keluyuran sampai subuh juga berani. Ada apa, Nak?"
"Felis mau lanjut di daerah sini aja, Ma." Felis ganti menatap Mama. "Felis mau jaga Mama dan Papa."
"Bohong!" hardik Papa. Pria paruh baya itu menyisir rambutnya ke belakang dengan gestur frustrasi. Ia mendengkus kasar. "Jujur sama Papa, kenapa tiba-tiba seperti ini?!"
"Felis mau jaga Mama dan Papa!" Felis bangkit berdiri sembari mengulangi perkataannya dengan nada tinggi. Ia dan Papa berdiri berhadapan. Tinggi keduanya sama. "Felis mau tetap di sini! Apa Felis salah kalau Felis mau jaga kalian, huh?!"
Atmosfer di sekeliling mereka tiba-tiba memanas. Deru napas Papa dan Felis saling sahut menyahut, berlomba-lomba siapa yang paling terlihat emosi. Felis mengepalkan tangannya kuat-kuat, sementara Papa menatap nyalang matanya.
"Felis!" Mama menarik tangannya kuat, menyuruhnya untuk kembali duduk. "Pa, udah. Jangan emosi kalian berdua! Ini bisa dibicarakan baik-baik!"
Felis enggan menuruti Mama. Ia tetap bersikukuh untuk berdiri menatap Papanya tajam.
"Felis Leo!" panggil Mama lagi. Suaranya jauh lebih lantang daripada sebelumnya. "Kamu ini kenapa?!"
Telunjuk Papa terangkat pelan, mengarah ke mata Felis. "Jangan main-main sama masa depanmu."
Felis menahan diri untuk tidak berkedip.
"Felis!" Mama kembali menarik tangannya, lebih kuat, tetapi Felis seperti patung berdiri. Jangankan duduk, oleng saja tidak.
Napas Felis terengah-engah tidak beraturan. Dadanya kembang kempis dengan tempo cepat. Ia menepis tangan Mama kasar, sebelum berlari keluar rumah.
"Felis! Felis! Felis mau kemana kamu?! FELIS!"
Semua orang punya kisahnya sendiri dalam perdebatan tema kuliah dan jurusan bersama kedua orang tuanya. Felis sering mendengar keluh kesah teman-temannya. Kebanyakan orang tua mereka menyuruh anaknya untuk masuk ke jurusan yang sama sekali berbeda dengan cita-cita sang anak. Selama di mata orang tua mereka cita-cita itu bagus dan berpeluang besar dalam dunia kerja, maka anak mereka harus masuk ke jurusan itu.
Felis punya orang tua yang hebat. Papa dan Mama mungkin sibuk bekerja hingga tidak punya waktu untuk mengawasi kehidupan Felis sehari-hari, tetapi mereka mendukung apapun yang Felis lakukan tanpa adanya paksaan. Papa dan Mama percaya Felis punya bakat dan cita-cita yang tinggi. Mereka berdua juga tahu seberapa hebatnya Felis dalam dunia musik. Mereka yakin Felis punya masa depan yang cerah. Mereka menaruh harapan tinggi pada Felis.
Dan Felis baru saja menghancurkan harapan itu.
Ia mematahkan hati Papa dan Mama yang bertahun-tahun mendukung keputusannya, di saat tidak semua orang tua bisa berlaku demikian terhadap anak mereka.
Felis berlari kencang. Sembari terisak keras, ia membiarkan tungkainya bebas menebas angin.
***
Aurel terkejut saat mendengar pintu rumahnya digedor membabi buta. Dan ia lebih terkejut lagi saat mendapati Felis berlinangan air mata berdiri di hadapannya. Laki-laki itu berulang kali menghapusi jejak-jejak air mata di wajahnya dengan lengan, tetapi air matanya tak kunjung berhenti mengalir. Isakannya terdengar memilukan di telinga Aurel.
Terlebih ini kali pertama ia melihat laki-laki setegar Felis menangis.
"Temenin ke atas bukit."
Kira-kira begitu kata-kata tidak jelas yang Felis ungkapkan di tengah-tengah isakannya. Aurel mengangguk dan mereka berdua berjalan beriringan ke atas bukit. Gadis itu tetap diam, hingga keduanya duduk di atas batu.
Dan Aurel tetap diam. Ia membiarkan Felis terus menangis. Laki-laki itu hanya butuh ditemani, bukan dicecoki dengan kata-kata motivasi.
Beberapa menit kemudian, tangisan Felis usai, walau masih tersisa isakan-isakan kecilnya. Aurel melirik untuk memastikan apa yang tengah dilakukan oleh laki-laki itu. Felis tengah menunduk, menatap kuku-kuku tangan yang ia mainkan.
"Baru pertama kali ini," Felis membuka percakapan. Suaranya terdengar serak. "aku berantem sama Papa Mama."
"Hm?" Aurel menaikkan alis. "Berantem karena apa?"
Felis memilih tidak langsung menjawab pertanyaan itu, "Selama hidup aku nggak pernah ngelunjak sampai segininya. Marah sih tentu pernah, tapi biasanya kupendem. Jujur, hari ini aku sakit hati sama diriku sendiri, Rel. Nyesel aku udah bentak-bentak mereka."
"Sudah minta maaf?"
Felis menggeleng lemah. "Aku kabur tadi. Pengecut, 'kan?"
Aurel tersenyum. Ia menggelengkan kepala. "Nggak pengecut. Kamu butuh waktu sendiri. Nanti jangan lupa minta maaf kalau sudah pulang."
"Mm." Felis mengangguk. "Aku berubah pikiran, tiba-tiba pengin lanjut kuliah di dekat-dekat daerah sini aja, nggak jauh ke kota besar."
"Kenapa?"
Pertanyaan itu membuat Felis menoleh. Begitu mata mereka bertemu, laki-laki itu bergegas mengalihkan pandangan. "Pengen jaga Mama Papa." Pengen jaga kamu. Ia menjilat bibir."Tiba-tiba nggak pengen jauh-jauh dari sini." Karena ada kamu.
"Niat kamu baik, tapi mereka marah." Aurel mendongak, menatap kerlap-kerlip bintang di atas langit. Gadis itu lalu kembali menjatuhkan padangannya pada Felis. "Menurut kamu kenapa?"
"Kenapa?"
Aurel tersenyum lebar saat menjawab, "Karena mereka kecewa."
"Kecewa?"
"Kampus di sekitar sini juga bagus, kok. Nggak sebagus banget kayak di kota. Tapi kampus di sekitar sini kayaknya nggak nerima jurusan musik. Kamu kenapa tiba-tiba mau ganti jurusan?"
Mendengar itu kepala Felis sampai berkemelutuk karena terlalu cepat menoleh ke arah Aurel. "Kamu tahu?"
Gadis itu mengendik. "Kelihatan. Kamu pintar main gitar."
Felis tidak berharap jawaban itu, tetapi jawaban itu memang tepat. Laki-laki itu terkekeh pelan. "Kelihatan banget, ya?"
"Felis," panggil Aurel tiba-tiba.
"Hm?"
Tidak kunjung mendengar suaranya lagi, Felis menoleh. Ternyata Aurel sedang menatapnya. Untuk sepersekian detik laki-laki itu menjadi salah tingkah. Dan satu kata yang keluar dari bibir gadis itu berikutnya adalah, "Maaf."
"Maaf buat apa?"
"Buat kemarin. Kalau kamu berubah pikiran karena kata-kataku yang kemarin, lebih baik jangan korbanin masa depan kamu. Kamu harus tetap perjuangin apa yang kamu inginkan."
Felis menegang mendengarnya. Dia tahu?
"Papa Mama kamu kecewa," lanjut Aurel. "padahal kamu mau jaga mereka. Kalau kamu bilang kamu mau jaga aku, mungkin aku juga bakal marah."
"Rel, aku—"
"Tetap kejar cita-cita kamu, ya?" Gadis itu tersenyum tipis, membuat hati Felis terasa tercabik-cabik. "Jangan buat orang yang kamu ingin jaga kecewa dan merasa bersalah pada dirinya sendiri."
"Aku—"
"Aku masih akan tetap di sini, kok. Karena aku percaya sama kamu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top