25. Tetap Seorang Teman
Aurel hanya ingin Felis menjadi temannya, tidak lebih.
.
.
.
I found a love for me
Darling, just dive right in
And follow my lead
Well, I found a girl, beautiful and sweet
Felis menghentikan nyanyian saat sudut matanya menangkap bayangan seseorang. Bayangan itu berdiri persis di sebelahnya. Hanya diam menatap Felis dengan tatapan yang sulit diartikan, atau lebih tepatnya tatapan mengintimidasi meski maksud sang pemberi tatapan tidaklah demikian. Tangan kiri Felis meremat kuat leher gitar.
"Kenapa, Ma?"
Bukannya ingin bersikap kurang ajar, tetapi Felis hanya merasa tidak nyaman ketika Mama menatapnya seperti itu. Suasana hatinya sedang buruk. Jangan sampai ia berteriak pada Mama. Badmood biasa membuat setiap orang kalap tanpa berpikir lebih jauh.
Telinga Felis mendengar helaan napas panjang, sebelum sosok Mama berpindah tempat untuk duduk di sebelahnya. Ia refleks menyingkirkan gitarnya supaya Mama bisa lebih leluasa duduk. Laki-laki itu menyandarkan gitarnya pada tembok dan mulai menunggu apa yang ingin Mama bicarakan dengannya.
"Mama nggak mau nyebut kamu anak kecil lagi. Sebentar lagi kamu kuliah, lalu kerja, lalu jadi dewasa."
Felis mengerutkan dahinya dalam. Apa maksudnya?
"Mama merasa nggak berhak ikut campur ke dalam masalah pribadi kamu. Tapi Mama ini orang yang ngandung dan ngelahirin kamu. Mama tahu yang terbaik buat kamu."
Tentu saja Mama tahu yang terbaik untuk Felis. Itu sudah rumus pasti. Lagipula apa sih maksudnya Mama tiba-tiba datang dan berkata seperti itu?
"Maksud Mama apa?"
Mama menatap jauh ke depan, ke arah pelataran rumah dengan tatapan sendu. "Mama mungkin sudah berbuat jahat pada Manisa. Mama juga mungkin sudah berbuat jahat pada Aurel. Tapi kamu tetap anak Mama. Apapun yang terjadi, bagaimanapun keadaannya, Mama tahu hanya sekali lihat raut wajah kamu—"
"Ma, tunggu-tunggu," sela Felis menghentikan kata-kata Mama. Laki-laki itu menelengkan kepalanya ke kanan. Ia menatap Mama dengan pandangan bertanya-tanya. "Kok jadi Manisa sama Aurel? Emangnya ada apa? Felis nggak ngerti. Serius. Mama kenapa, sih?"
Mama tidak memberikan penjelasan yang pasti, tetapi Felis bisa melihat dengan jelas senyumannya. Ada sesuatu yang ingin Mama sampaikan. Ada maksud tertentu di balik senyumnya. "Ingat Mama pernah bilang kalau kamu harus membuktikan pada Aurel bahwa kamu ini jauh lebih dewasa dari dia?"
Kepala Felis ganti meneleng ke arah kiri. "Maksudnya?"
Entah Mama ini terlalu ngelantur sehingga berbicara dengan bahasa yang tinggi atau Felis yang memang tidak kunjung mengerti gara-gara suasana hatinya tidak cukup bagus. Niatan awal ingin bermain gitar supaya merasa jauh lebih baik, kini malah semakin dibuat pusing dengan kata-kata Mama.
"Manisa saja sudah berbaik hati melepaskan, masa kamu diam aja di sini, Fel?"
Wah, hari ini Mama memang memilih berkomunikasi dengan bahasa yang terlalu tinggi. Keterlaluan tingginya. Felis pilih membenturkan kepalanya ke tembok saja. Sepertinya itu lebih baik daripada harus mengerutkan dahu terlampau dalam. Dunia di sekelilingnya seolah berputar karena otaknya tidak sampai mencerna maksud inti kata demi kata yang terucap dari belah bibir Mama.
"Minta maaf sana sama Aurel," kata Mama tiba-tiba.
Perputaran dunia Felis seketika berhenti dan ada tangan tak kasat mata yang menembakkan peluru transparan ke otaknya. "Hah?"
"Mama tahu kamu kangen sama dia. Udah sana, pergi ke rumahnya terus minta maaf."
Felis terdiam selama beberapa saat. "Felis aja nggak pernah ketemu Aurel lagi, gimana bisa—"
"Ingat cerita kamu saat dia menghindar dari kamu? Mau digituin dia lagi?"
Kenapa Mama harus mengingatkannya lagi? Saat-saat setelah Felis mengungkapkan perasaannya. Saat Aurel mendiamkannya. Sangat mengerikan. Hanya dengan mengingatnya lagi saja kepala Felis langsung pening. Ia tidak ingin mengingat hal itu. Cukup pagi ini saja suasana hatinya tidak terlalu bagus.
Namun karena sudah terlanjur mengingatnya dan kata-kata Mama sudah terlanjur didengarkannya, Felis merasa tidak punya pilihan selain bangkit berdiri dan pamit untuk pergi ke rumah Aurel. Kalau tidak seperti itu mungkin kepalanya bisa meledak kapan aja.
Diam-diam Mama tersenyum memerhatikan punggung Felis yang menjauh.
***
Pagi hari itu cuacanya cukup cerah meski matahari terasa menyengat kulit agak berlebihan. Berada di dalam rumah sudah sebelas dua belas seperti berada di dalam mesin pemanggang raksasa. Bagi rumah yang tidak memiliki AC maupun kipas angin, rasa-rasanya duduk di depan teras merupakan pilihan yang tepat. Seperti yang Felis lakukan tadi di teras rumahnya dan seperti yang tengah Nenek lakukan di teras rumahnya.
Nenek sedang berada di teras, duduk di atas kursi kecil sembari mengupas bawang saat Felis datang dan mengejutkannya. Kulit-kulit sekitar matanya yang keriput terlihat begitu menegang, membuat bola matanya nyaris keluar tempat.
"Felis!" seru Nenek. Nenek mencoba bangkit berdiri dengan cepat, tetapi karena telah lanjut usia ia jadi kewalahan. Felis yang peka segera membantunya untuk berdiri. "Alah ndak apa-apa, Nenek bisa sendiri," kekeh Nenek. Meski begitu tangannya tetap merangkul Felis erat-erat karena takut terjatuh. "Omong-omong, le, lama ndak lihat kamu! Wehalah baru beberapa hari Nenek ini lho udah kangen!"
Nenek terlihat begitu girang, membuat Felis heran. Ia kan bukan artis atau anak presiden. Kenapa Nenek begitu berlebihan padanya? Felis sih berharap Aurel yang seperi itu terhadapnya.
Tapi demi kesopansantunan, laki-laki itu menyunggingkan senyum. Senyuman termanis yang pernah dimilikinya. "Aurel ada, Nek?"
"Ada," jawab Nenek. Matanya mengerling nakal. "Nenek panggilkan dulu. Kamu mau nunggu di dalam apa mau di sini aja sambil cari angin?"
"Di sini aja, Nek." Felis mengipas-ipaskan telapak tangannya ke area leher. "Gerah banget."
"Tunggu sebentar, le."
***
Siapa bilang Aurel tidak tahu tentang kedatangan Felis?
Rungu Aurel mendengar dengan sangat jelas. Bahkan saat samar-samar mendengar suara langkah kaki mendekati rumahnya, perasaan Aurel mengatakan bahwa itu adalah langkah kaki Felis. Dan benar saja, Felis datang ke rumahnya. Felis ada di depan rumahnya sekarang. Laki-laki itu mencarinya. Aurel tidak bisa menyembunyikan senyuman. Spontan sudut-sudut bibirnya tertarik dengan begitu lebar.
Nenek yang baru masuk ke kamar sampai dibuat heran melihat Aurel senyam-senyum sendirian sembari memeluk guling erat-erat di atas kasur. "Kamu ngelindur, Ndhuk?" Nenek menempelkan punggung tangannya ke dahi Aurel. "Ndak panas, kok. Eh, itu ada Felis nyari kamu. Dah sana anaknya lagi nunggu di luar."
Aurel mengangguk dan bergegas keluar menemui Felis.
Akhirnya setelah sekian lama, Aurel bisa memandang wajah itu lagi. Akhirnya setelah sekian lama, Aurel bisa melihat senyuman itu lagi. Akhirnya setelah sekian lama, Aurel bisa berdiri di hadapannya dan menghirup aroma parfumnya yang begitu khas lagi.
Tatapan keduanya bertemu. Felis menyunggingkan senyuman, terlihat begitu tampan. Seketika Aurel ingin menyentuh pipinya, sama seperti ia menyentuh pipi Felis transparan tempo lalu di atas bukit.
Kenapa seminggu terasa begitu lama? Kenapa pula hatinya harus merasa sesenang ini, meski ia ingin menangis?
Selama satu minggu ini, sepertinya Felis telah bertambah tinggi. Aurel merasa harus berusaha agak keras saat mendongak untuk bisa melihat senyumannya. Oh, rambutnya juga terlihat jauh lebih panjang dari yang terakhir kali Aurel lihat. Perasaan ketika diam-diam mengamatinya, rambut Felis masih sama saja. Apa mungkin sudah tumbuh tanpa Aurel sadari?
Dehaman Felis membuat Aurel tersadar bahwa sedari tadi ia terlalu sibuk mencari-cari perbedaan laki-laki itu selama seminggu liburan akhir semester. Gadis itu menggaruk belakang kepalanya lugu, membuat Felis tak dapat menahan kekehannya.
Aurel hanya tidak tahu, betapa Felis ingin..., ah sudahlah, ia terlalu merindukan gadis itu.
Tangan kanan Felis terangkat ke udara, melambai kecil. "Hai, Aurel! Apa kabar?"
Hati Aurel mencelos mendengar suara Felis, terlebih ketika laki-laki itu memanggil namanya. Terdengar begitu merdu. "Baik. Kamu?"
Alih-alih menjawab balik, ekspresi Felis malah berubah dari yang tadinya ceria menjadi serius. Bibir Aurel ikut menekuk ke bawah melihatnya. Ada apa dengan Felis? Kenapa tiba-tiba sekali?
" Rel, aku mau ngomong sesuatu."
Aurel melirik ke kanan dan ke kiri. "Di sini?"
Felis mengangguk. "Mm."
"Kamu maungomong apa?"
Ekspresi serius Felis membuat Aurel tak dapat mengalihkan tatapannya ke lain tempat. Iris mata Felis mengunci miliknya kuat-kuat. "Aku ke sini mau ngomong...,"
Aurel meremas roknya kuat-kuat.
Kangen? Rindu? Felis mau bilang itu?
"...maaf."
Seketika remasan pada roknya terlepas. Bahu Aurel merosot. "Apa?"
"Aku minta maaf sama kamu buat semuanya." Felis memperjelas.
"Buat semuanya?" Aurel membeo. Dua alisnya bertaut menjadi satu. "Kamu salah apa, memang?"
"Manisa." Felis menjilat bibirnya yang tiba-tiba mengering. Bahu Aurel kembali menegang, dan sepertinya Felis dapat melihatnya dengan jelas. "Maaf aku nggak cerita apapun soal dia sama kamu. Tentang siapa dia sebenarnya. Kamu pasti syok waktu itu.
Ya. Syok. Sangat. "Ah itu." Aurel tersenyum tipis. "Nggak apa-apa."
"Dan juga, aku sekalian mau bilang—maksudnya aku mau menegaskan satu hal ini. Tolong jangan lari lagi."
"Apa?"
Ganti Felis yang berdiri dalam cemas. Ia meremat celana kainnya kuat-kuat. "Perasaanku masih tetap sama, Rel," aku Felis tiba-tiba.
Aurel terdiam.
Felis melihatnya sebagai celah untuk melanjutkan, "Aku sama Manisa udah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Aku harap kamu nggak akan ilfeel karena menganggap aku laki-laki brengsek. Oke, boleh kamu anggap aku laki-laki brengsek. Tapi kenyataannya, jalannya udah gini, Rel. Hubungan jarak jauh sama Manisa juga nggak akan pernah berhasil. Aku mau jaga kamu. Aku mau...."
Aurel masih terkejut dengan pengakuan Felis untuk yang kedua kali. Suara Felis sayup-sayup terdengar. Ia tidak bisa sepenuhnya fokus dengan suara Felis. Ia fokus pada pemikirannya sendiri. Walau pengakuan Felis tidak menyentil sisi traumatisnya seperti dahulu, Aurel tetap terkejut hingga dadanya berdebar debar.
Ia terkejut karena Felis mengatakannya tiba-tiba. Ada sisi lain dalam dirinya yang merasa tidak suka dengan pengakuan itu, terlebih ketika Felis bercerita tentang si gadis bermata tajam. Ada dua sisi dalam batinnya yang saling bergulat.
Pertanyaan gadis itu adalah, ketika Felis dulu memberitahukan tentang perasaannya pada Aurel, apakah Felis juga memberitahukan tentang status hubungannya bersama orang lain? Apa laki-laki itu peduli bagaimana perasaan Aurel? Apa laki-laki itu peduli bagaimana perasaan si gadis bermata tajam? Apa laki-laki itu peduli bahkan dengan dirinya sendiri?
Aurel tidak tahu.
Yang jelas, Aurel tidak ingin dibohongi. Memori menyakitkan tentang hubungan kedua orang tuanya juga masih membekas begitu kuat, membuatnya tidak semudah itu mengatakan iya meski hatinya ingin. Ada suatu beban berat yang membuatnya tak bisa untuk dapat berkata bebas sesuka hati.
Aurel memang merindukan laki-laki itu, tetapi ia juga tidak ingin mendengarkan pengakuannya lagi. Tidak ada memori menyenangkan sama sekali tentang hal itu. Benar, keputusannya mungkin tepat saat memutuskan untuk tidak akan menikah di masa depan. Ia tidak butuh laki-laki dalam hidupnya.
Ayahnya pernah memberikan pengakuan cinta pada Bunda, dan pada akhirnya ia mengkhianati pengakuannya sendiri.
Felis pernah memberikan pengakuan cinta padanya, dan pada akhirnya laki-laki itu menyembunyikan status hubungannya dengan orang lain.
"Maaf, Fel, soal itu—"
"Kamu kecewa aku nggak cerita tentang Manisa?"
"Aku memang kecewa, tapi—"
"Tapi apa, Rel?"
Aurel memejamkan matanya rapat-rapat. "Fel, bisa nggak kita tetap berteman aja?"
Karena hubungan pertemanan yang berubah, bisa menimbulkan malapetaka.
Ketika Aurel membuka kelopak matanya, ia melihat kepala Felis terangguk pelan.
Dan aku nggak mau kehilangan kamu.
.
.
.
Menurut kalian Felis itu karakternya gimana wkwkwk?
Oh iya ini kan teenfic pertama aku ya jadi mungkin aku terkesan masih kasar maksa gitu. Nahan banget bikin adegan yang wajar sewajarnya teenfic. Aku menahan hasrat untuk tidak memberikan adegan romantis berlebihan seperti drama, jadi mungkin hasil belajar ini masih terkesan kaku gitu. Maapkeun. Doakan semoga nanti di project lain aku bisa lebih terlatih lagi.
See you~
Jejak jangan lupa yuhu~
-Milleny Aprilia-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top