24. Rindu
Aurel harap, ia tidak sedang merindukan seseorang secara sepihak.
.
.
.
Sudah berapa lama ia tidak berbicara pada laki-laki itu?
Jangan dihitung. Semakin jarinya banyak tertekuk karena menghitung, semakin banyak juga rasa sedihnya akan menguar. Aurel tidak ingin menangis. Ia sedang mencoba untuk melawan rasa lemah yang ada di dalam dirinya sendiri. Sekali lagi, ia tidak ingin menangis karena itu hanya akan membuatnya terlihat semakin lemah.
Kalau menangis karena merindukan seseorang itu terlihat lemah, apakah berlaku juga untuk seseorang yang mengubah jalur pergi ke bukit? Aurel ingin mengeluhkan kakinya yang lebih sering pegal karena selama sekitar satu minggu lebih ia telah mengambil jalur lain untuk pergi ke bukit daripada lewat depan halaman rumah Felis. Dan sekarang daripada melompat-lompat untuk menangkap kunang-kunang, Aurel lebih sibuk memukuli pahanya sendiri yang terasa pegal.
Lewat depan rumah Felis? Aurel tidak yakin Felis tidak akan menemukannya. Baiklah, ditemukan mungkin masih lumayan. Bagaimana kalau Felis tahu ia lewat tetapi tidak menghampirinya karena terlalu sibuk dengan teman-temannya? Waktu itu saja Felis lupa pada dirinya. Setelah ia berbalik meninggalkan Felis, Aurel tidak pernah menyangka kalau Felis seketika melupakannya. Sampai sekarang laki-laki itu tak kunjung datang menemuinya lagi.
"Berharap apa, memang?" Aurel mendengkus. Ia geli dengan pemikirannya sendiri. Lebih baik punya cita-cita pergi ke bulan. Memikirkan Felis akan menemuinya lagi... Aurel seketika merasa tidak punya harga diri. "Nggak mau berharap seperti itu."
Sembari terus memukul-mukuli paha, gadis itu memutarkan pandangannya ke segala arah. Tatapannya menjadi sendu dalam sepersekian detik. Ia seharusnya cemberut, tetapi ia malah tersenyum. Senyum yang terkesan dipaksakakan. Senyum yang membuat orang-orang akan melihat dengan iba.
Gadis itu lalu memejamkan mata. Senyumnya semakin lebar saat pikirannya melayang-layang membuat skenario sendiri. Setelah yakin, ia membuka mata dan menoleh ke samping kanan. Ia melihat sosok Felis duduk di sebelahnya, meski tubuh laki-laki itu terlihat transparan.
"Karena transparan, aku boleh pegang, 'kan?"
Felis transparan mengangguk. Ia tersenyum lebar, membuatnya terlihat berkali-kali lipat lebih tampan dari biasanya.
Perlahan, jemari Aurel terulur ke arah wajah laki-laki itu. Ketika jemarinya berhasil merangkum pipi dinginnya, senyum Felis transparan seketika lenyap. Aurel sedikit terkejut melihat perubah ekspresi yang begitu tiba-tiba itu. Gadis itu ingin menarik tangannya kembali, namun tangan besar transparan Felis lebih dulu menggenggam tangannya.
"Aku kangen sama kamu."
Jantung Aurel mencelos. "B-benar?"
Felis transparan menganggukkan kepalanya sekali.
Tatapan Aurel beralih ke tangannya yang tengah digenggam oleh tangan transparan Felis. Gadis itu tersenyum simpul. Ia senang melihatnya, meski itu hanya muncul dalam pemikirannya sendiri. Meski sosok laki-laki transparan di hadapannya adalah karakter yang ia ciptakan sendiri.
Namun setidaknya itu Felis. Itu Felis Leo. Seorang laki-laki yang saat ini tengah ia rindukan.
"Aku juga ingin, andai saja..."
"Apa?" tanya Felis transparan.
Aurel menggigit bibir bawahnya. "Tanganmu terasa hangat. Aku ingin pegang terus. Andai saja aku tidak apa-apa."
Kepala Felis transparan meneleng ke arah kiri. Dahinya berkerut, berusaha mencerna maksud perkataan Aurel. "Aku nggak paham."
"Nggak usah dipahami," lirih Aurel. "Cukup aku aja yang tahu."
Dan cukup aku aja yang tahu aku sedang rindu kamu, teman.
Perlahan, Felis transparan mulai menghilang. Ia dibawa terbang olah angin yang berembus tiba-tiba. Aurel terdiam kaku dalam posisinya. Tangannya masih terulur ke udara. Ia menatap tangan itu sejenak, tangan yang ia gunakan untuk merangkum pipi transparan Felis. Ia tersenyum kecil.
Tidak tahu apakah ia bisa dibilang beruntung atau tidak. Aurel memang sudah bisa menebak Felis tidak akan pergi lagi ke atas bukit—atau jangan-jangan tetap pergi di jam yang berlainan dengan dirinya, entahlah. Intinya, selama sekitar semingguan lebih, gadis itu tidak pernah melihat wajah Felis secara langsung, apalagi berbicara dengannya.
Selama itu, ia hanya seorang pengawas, seperti belalang daun yang tidak dapat diketahui keberadaannya oleh orang-orang.
"Aku hanya merindukan seorang teman."
Berulang kali Aurel membisikkan kalimat itu, berulang kali juga gadis itu menahan sesuatu tak kasat mata yang memberatkan dadanya. Setiap kali ia mengingat ekspresi terakhir Felis, ingatannya juga secara otomatis memutar pada kejadian sepulang sekolah, saat gadis bermata tajam itu memeluk erat Felis.
Gadis bermata tajam yang dipanggilnya dengan kata sayang.
"Nis, kamu sama siapa ke sini—hei kok nangis? Sayang, jangan nangis. Iya, iya, aku juga kangen kok."
Ingatan itu berputar dengan jelas setiap rinciannya seperti potongan-potongan video konser tari yang pernah diputar oleh guru Seni Budayanya di dalam kelas.
Aurel mendesah pelan. Tuh kan, jadi ingat lagi.
***
Nenek berulang kali menyuruhnya untuk keluar rumah dengan alasan Aurel harus merasakan udara bebas. Sudah sekitar satu minggu gadis itu hanya menghirup oksigen di dalam rumah—memangnya tidak bosan? Biasanya kalau hari libur, Aurel akan mengiyakan ajakan Nenek untuk menemaninya berbelanja ke pasar. Namun pada awal minggu liburan itu, Aurel menolak ajakan Nenek ke pasar.
Ditanya pun jawabannya hanya sebatas itu-itu saja. Nenek sampai hapal di luar kepala sekaligus menyerah. Nenek menyerah mencoba memaksa Aurel. Aurel memang paling tidak bisa dipaksa. Ekspresi polosnya membuat Nenek tidak tega setiap kali ingin memaksa.
"Nggak pa-pa."
"Aurel lagi pengen di rumah aja."
"Lagi nggak pengen keluar dulu. Capek sekolah."
Namun Nenek tidak sebodoh itu. Aurel boleh menutup-nutupi semuanya. Gadis itu boleh berkata nggak pa-pa, atau beralasan lagi pengen di rumah aja, dan sebagainya, tetapi Nenek selalu memerhatikan gerak-geriknya setiap malam. Nenek selalu tahu ketika mendengar suara pintu dibuka.
Cucu sematawayangnya itu rupanya diam-diam masih pergi ke bukit.
Setidaknya Nenek bisa bernapas lega Aurel tidak sepenuhnya mengunci diri di dalam rumah seperti perkiraannya.
***
Selama satu minggu itu, Aurel menjelma menjadi belalang daun. Bukannya tak kasat mata. Ia ada, tetapi sulit diketahui keberadaanya.
Belalang daun adalah insekta yang tubuhnya berwarna hijau dan memiliki corak mirip dengan habitatnya—dedaunan. Bukan mirip lagi, tapi sama persis. Kadang, meski sudah melotot sampai otot mata terasa pegal, belalang daun tetap susah untuk dicari padahal jelas-jelas ia ada di dedaunan yang sedang diamati. Dan begitulah Aurel. Selama ini ia hanya melihat tanpa diketahui.
Selama ini ia adalah seorang pengawas.
Ia tahu Felis terlihat bahagia dengan gadis itu dan teman-temannya. Laki-laki itu sering tersenyum lebar. Felis terlihat jauh lebih ceria. Dibandingkan bersama dengan Aurel yang seringkali membuat laki-laki itu tertawa keras sendirian, bersama teman-temannya, Felis bisa saling berbagi tawa. Suara tawa mereka bahkan sampai mampu menembus tembok kamar rumah Aurel.
Jangan tanya bagaimana cara Aurel bisa tahu. Kembali lagi, ia adalah belalang daun. Ia pemantau yang tidak diketahui keberadaannya.
Karena hanya itulah satu-satunya obat untuk mengatasi rasa rindunya kepada Felis.
Dan Aurel harap, ia bukan satu-satunya yang merindukan Felis.
"Aku hanya merindukan seorang teman."
Aurel harap, Felis juga merindukannya.
Meski terlihat tidak mungkin.
.
.
.
Maaf chapter ini gaje T^T aku hari ini lagi banyak tugas yang membuatku nggak akan tidur sampai nanti pagi. Besok aku bakal usaha buat lebih greget lagi. Semangat semuanya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top