23. Pergi

Mau nanya dong readers, kalian tim mana?

Felis-Aurel

Felis-Manisa

Milleny-Yohan (skip)

.

.

.

Cinta itu tentang mengikhlaskan. Manisa membenci kalimat itu, tapi ia tetap melakukannya, karena ia mencintai Felis.

.

.

.

Air matanya sudah mengering, tetapi sakit hatinya tak kunjung usai.

Manisa menatap langit-langit kamar dengan mata perih. Beberapa kali ia mengerjapkan kelopak mata, berharap rasa perihnya akan sembuh tiba-tiba. Namun bukannya sembuh, matanya malah bertambah sakit. Rasa sakitnya juga merembet ke mana-mana. Awalnya sakit hati, sakit mata, sekarang sakit kepala.

Ia berharap semuanya hanya mimpi belaka. Kalau boleh, Manisa ingin request, supaya ia kembali ke masa lalu dan mencegah Felis untuk pindah ke desa. Gadis itu rela tinggal berdua dalam satu apartemen yang sama dengan Felis, meski Papa mungkin akan memukul pipinya sampai lebam. Yang penting, apa yang terjadi hari ini tidak pernah ada dan tidak pernah ia alami.

Suasana di sekitar hening. Selain detak jantungnya sendiri, Manisa tidak dapat mendengarkan suara apapun. Seharusnya malam-malam—atau mungkin sudah pagi hari—seperti ini, semua bangsa serangga saling berkoordinasi untuk sahut menyahut satu sama lain, menghiasi suasana desa. Namun nyatanya, gadis itu tak dapat mendengar bunyi apapun. Mungkin sekarang sakitnya sudah merembet ke gendang telinga. Bisa jadi. Siapa tahu.

Pikirannya melayang-layang, bernostalgia pada waktu dulu, ketika ia jatuh cinta pada laki-laki yang bernyanyi solo dengan gitarnya saat pensi kelas sepuluh. Ia tak tahu nama laki-laki itu siapa. Pun kalau boleh berkata jujur, suaranya juga pas-pasan, tidak ada merdu-merdunya seperti suara Judika. Meskipun begitu, berminggu-minggu setelah pensi sekolah, ia menjadi baper dan berusaha semaksimal mungkin untuk tahu seluk beluk laki-laki itu.

Akhirnya ia tahu. Namanya Felis Leo. Ia tergabung dalam band sekolah selama beberapa bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dan membentuk grup band sendiri, grup band yang justru kepopulerannya mengalahkan grup band resmi milik sekolah. Felis tidak tahu saja, Manisa begitu mengidolakannya seperti gadis-gadis sekelasnya yang mengidolakan Sehun EXO.

Dulu ia berpikir, gadis cupu sepertinya tidak mungkin dekat dengan Felis. Ia dan Felis bagaikan hidup dalam dua dunia yang berbeda. Mana mungkin ia seseorang yang terkenal nerd bisa dekat, atau bahkan menjalin hubungan dengan Felis si dewa musik sekolah? Rasa-rasanya kok mustahil.

Tapi tidak ada yang mustahil selama ada usaha.

Singkat cerita, Manisa mulai belajar berdandan. Ia yang dulunya selalu berdiam diri di kamar sembari cekakak-cekikik memandangi foto Felis di instagram mulai berubah perlahan-lahan untuk memberanikan diri menonton Ephypany manggung. Dari situ, Manisa mencoba untuk menghubungi Felis. Meskipun pada awalnya laki-laki itu cuek setengah mati, tapi berkat kegigihan dan semangat pantang menyerah, Manisa akhirnya berhasil.

Ia dan Felis akhirnya berpacaran. Walau ia selalu merasa berjuang sendiri. Walau ia selalu merasa yang paling mencintai. Walau ia selalu merasa satu-satunya yang paling bahagia dengan hubungan ini.

"Sampai sekarang," lirihnya bersamaan dengan buliran air mata yang saling menetes ke pelipis—rupanya air matanya masih punya pasokan, ia pikir sudah habis. Gadis itu tidak menghapusnya. Ia sengaja membiarkannya mengering sendiri.

"Aku memang suka sama dia, Nis."

"Aku cinta sama dia."

Sisa hari itu Manisa habiskan menangis dalam diam. Ia tidak peduli akan sakit nantinya karena tidak tidur seharian penuh. Ia hanya ingin meluapkan semua emosinya, semua rasa sakitnya.

Sampai rungunya mendengar suara ayam jago berkokok, gadis itu akhirnya bangkit berdiri dan berjalan ke arah dapur.

***

Mama Felis menoleh ke arah pintu dapur saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Awalnya ia mengira itu adalah ibunya atau suaminya, tapi ternyata itu adalah Manisa yang omong-omong kenapa wajahnya terlihat begitu mengerikan sekali? Mama Felis mengerutkan dahi dalam, seiring dengan langkah gadis itu yang mulai mendekatinya.

"Tante lagi masak," kata Mama Felis tanpa perlu menunggu pertanyaan terlontar. Ia mengangkat petai yang sedang on the way dikupas tinggi-tinggi. "Felis suka banget loh Nis sama sambal goreng petai. Kamu tahu, 'kan?"

Manisa tersenyum masam. Kupikir Felis lebih suka nasi goreng. "Tahu, Tante."

"Kamu kok tumben udah bangun? Kalau masih ngantuk, lanjutin aja. Tante biasa kok masak sendirian. Biasanya sih Nenek yang ikut bantu, tapi lagi sakit gigi."

"Mau nemenin Tante aja kalau gitu," ucap Manisa. Gadis itu meraih satu petai dan mulai mengupasnya pelan tanpa tenaga. Mama Felis diam-diam melirik. "Tante, aku boleh nanya, nggak?"

"Nanya apa, cantik, hm?"

"Rel...,"

Pergerakan tangan Mama terhenti.

"...itu siapa?" Manisa menatap Mama Felis ingin tahu. "Semalam, Felis sama Nisa berantem gara-gara Felis salah manggil nama Nis jadi Rel."

Sejujurnya, Mama merasa ini bukan kuasanya untuk menceritakan hal itu. Di hadapan gadis sepolos ini, Mama merasa begitu berdosa karena telah menyembunyikan hubungan Felis dan Aurel—meski hubungan keduanya tidaklah seperti hubungan Felis dengan Manisa. Bukan maksud membenci Manisa dan mendukung Aurel, Mama hanya senang melihat Felis kembali ceria semenjak ada Aurel di sisinya. Dan mungkin hal itu salah. Dan mungkin hal itu menyakiti Manisa. Sangat menyakitinya.

"Dia yang pernah kulihat pulang bareng Felis dulu, ya?" tanya Manisa lagi, lebih kepada dirinya sendiri. "Ternyata dia ngambil hati Felis. Dia rebut hati Felis."

Mama Felis melanjutkan aktivitasnya. Senyumnya tersungging tipis.

"Rumahnya di mana, Tante? Nisa mau ke sana. Nisa rasa Nisa harus—"

"Manisa," panggil Mama Felis. Seketika Manisa terdiam. "Semua ini berat buat Tante, buat Om, buat Felis. Sejak keluarga kami bangkrut total, kami nggak punya tujuan lagi selain ke tempat ini. Kami mau mulai semuanya dari nol."

Manisa menyingkir saat Mama Felis mengulurkan tangan untuk mengambil serbet yang ada di hadapannya. Gadis itu membenci hatinya yang tiba-tiba mencelos. Apa yang ingin coba Mama Felis katakan padanya?

"Buat Om dan Tante, karena kami orang dewasa yang sudah pernah punya pengalaman merangkak dari bawah, kami rasa kami bisa melewati ini semua. Tapi Felis? Felis harus meninggalkan semuanya yang ada di kota. Harus meninggalkan teman-temannya, meninggalkan kamu. Tante tahu semua ini sangat berat buat Felis. Om dan Tante yang jarang di rumah dulu karena sibuk bekerja, tahu-tahu memberinya kabar tentang kebangkrutan keluarga kami dan harus segera pulang ke desa. Menurut kamu, bagaimana perasaan Felis saat itu?"

Manisa dan Mama Felis saling berpandangan satu sama lain tanpa kedip. Sorot lampu dapur yang menyinari wajah Manisa memberitahu dengan jelas kepada Mama Felis, bahwa tatapan gadis itu sarat akan kesedihan. Manisa terlihat sangat kecewa.

"Namanya Aurel. Rumahnya nggak jauh dari sini. Terserah kamu mau lakukan apapun sama dia. Tapi ingat kata-kata Tante, Felis nggak pernah seceria sekarang ini sebelum ketemu Aurel semenjak pindah ke desa. Tante nggak bohong kalau Tante senang lihat Felis bahagia, Nis."

Air mata Manisa meleleh, turun melewati pipi dan jatuh ke lantai begitu saja. "Tante mau apa dari Nisa?"

Mama Felis tersenyum lebar. "Tante nggak minta apa-apa dari kamu. Bicarakan sama Felis. Kamu tahu apa yang terbaik. Tante percaya sama kamu. Kamu orangnya pintar."

***

Ketika menonton serial Twilight—oke, seharusnya ia belum boleh menontonnya, tapi apa boleh buat ia begitu suka dengan Taylor Lautner—Manisa sempat dibuat jengkel dengan tokoh Bella Swan. Sebenarnya bukan semata-mata ia membenci tokoh Bella Swan karena gadis itu terlampau cantik darinya, tetapi menurutnya, Bella terlalu semena-mena dengan Jacob. Mungkin lebih tepatnya, ia juga ikut jengkel dengan tokoh Jacob.

Bagaimana bisa Jacob mencintai Bella yang jelas-jelas lebih memilih Edwarn Cullen? Dan pula, bagaimana bisa Jacob tetap mencintainya walaupun Bella sudah menikah dengan Edward? Kalau Manisa jadi Jacob, ia sudah pasti membunuh Edward dan merebut Bella darinya. Toh, Bella juga terlihat seperti menaruh sebagian hatinya pada Jacob.

Cinta itu tentang mengikhlaskan.

Manisa begitu benci dengan kalimat itu. Kalau bisa serakah, kenapa tidak? Persetan dengan orang lain yang tersakiti. Sejujurnya, lebih memilih diri sendiri tersakiti karena berkorban demi kebahagiaan orang lain atau justru sebaliknya?

Manisa memilih sebaliknya.

Ia harap begitu.

Namun, ia benci hati nuraninya yang lebih egois meminta diprioritaskan lebih dari apapun. Kalau boleh, ia ingin terlahir kembali menjadi manusia egois. Terlalu baik hati membuatnya hancur berkeping-keping.

"Mereka sudah tahu?"

Felis mengangguk. "Mm."

"Terus mereka ke mana?"

Felis menunduk, menatap jemarinya yang saling bertautan satu sama lain. "Cari angin katanya. Mau kasih waktu buat kita."

Semua dimulai dengan baik-baik. Dan semua harus diakhiri dengan baik-baik.

Manisa mendongakkan kepala saat pandangannya tiba-tiba memburam. "Bisa kamu jelasin lagi, Fel?"

Untuk pertama kalinya, Felis merasa biasa saja dengan panggilan namanya dari belah bibir Manisa. Ia tidak keberatan gadis itu tidak memanggilnya Pangeran. "Maaf."

"Aku nggak mau denger kata maaf." Manisa menundukkan kepala, niatnya ingin memandang sepihak wajah Felis, tapi ternyata laki-laki itu juga tengah menatapnya. "Kamu sayang sama dia?"

Kepala Felis terangguk pelan, bersamaan dengan itu, air mata Manisa meluncur turun.

"Kamu cinta sama dia?"

Felis mengalihkan pandangannya ke arah lain. Laki-laki itu tidak ingin Manisa melihat air matanya yang ikut jatuh. Felis benci melihat air mata Manisa. Semua ini semakin memperjelas bahwa ia adalah orang paling brengsek sejagad raya.

Maaf, Nis. Maafin aku. "Iya."

"Apa yang buat kamu jatuh cinta sama dia?"

"Dia butuh aku, Nis." Felis kembali menatap Manisa. Mereka berdua saling memandang lewat tatapan mata yang sama-sama buram. "Karena aku yang pertama dalam hidupnya. Aku mau jaga dia."

Manisa menggelengkan kepala. "Aku nggak paham."

"Aku memang suka sama dia, tapi setelah tahu kepahitan hidupnya, aku bukan hanya suka sama dia. Aku mau jaga dia, Nis. Aku sesayang itu sama dia."

Kedua tangan Manisa terkepal erat. Seseorang tolong, hatinya nyut-nyutan. "Kalau aku pergi, kamu mau janji satu hal sama aku? Aku anggap, kita lunas setelah ini. Jangan terlalu merasa bersalah. Semua ini tentang hati. Kita nggak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta, right?"

Felis mengangguk.

"Aku mau kamu benar-benar jaga dia. Jangan buat kepergianku sia-sia. Aku nggak mau lepasin kamu dengan cara yang salah." Manisa bangkit berdiri. Meski kakinya bergetar, ia tetap berusaha melangkah ke hadapan Felis dan menyodorkan tangan kanan. "Aku pergi ya, Felis. Jaga diri kamu baik-baik."

Felis mendongakkan kepala. Begitu tatapan mereka bertemu, Manisa terisak. Isakannya semakin lama semakin keras, seiring dengan senyumannya yang semakin lama semakin lebar.

Felis membalas senyumnya. Perlahan ia menyambut uluran tangan itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top