22. Cemburu
Wajar bukan apabila Manisa cemburu pada gadis itu?
.
.
.
Sebenarnya acara di desa itu selain liburan juga bisa dikatakan sebagai ajang petualangan bagi Ephypany dan Manisa. Setelah puas mengelilingi desa sampai menjadi tontonan masyarakat, mereka beralih main-main ke sekolah Felis yang kosong melompong karena sedang libur akhir tahun. Bahkan Papa sampai mengajak mereka semua untuk bercocok tanam di sawah. Sangat menyenangkan, seperti liburan sungguhan.
Tinggal tiga hari lagi kesempatan mereka untuk menghabiskan liburan di desa dikarenakan Ephypany sudah memiliki jadwal manggung yang padat pada liburan minggu ke dua. Kepulangan Ephypani secara otomatis membuat Manisa juga harus ikut pulang, meski gadis itu ingin tinggal lebih lama lagi, kalau perlu selama mungkin agar tidak jauh-jauh dari Felis. Aha, bucin.
Mereka berlima sedang duduk-duduk di teras rumah saat Mama tiba-tiba datang dan menyerahkan gitar kepada Felis. Sontak mereka semua menatap Mama dan Felis bergantian. Felis sendiri bingung apa maksud Mama memberikannya gitar.
"Gitaris masa dijenguk temen satu band malah ngajak keliling desa udah kayak festival keliling aja." Mama terkekeh pelan. "Papamu udah ngumpulin banyak kayu bekas. Ambil di dekat sumur. Di sebelahnya ada minyak sama korek api."
"Hah?" Felis benar-benar tidak mengerti apa maksudnya. Mama hanya mengedipkan mata sebelum segera berlalu pergi. Felis menatap gitar di tangannya dengan alis saling bertaut. "Apa pula maksudnya?"
Aleron hampir melayangkan tamparannya ke belakang kepala Felis, tapi berhubung ia sungkan dengan keberadaan Mama Felis di situ, ia lebih memilih menggeram pelan. "Maksudnya kita di suruh bikin api unggun, Dodol."
"Wah, asik!" Manisa bertepuk tangan gembira. Gadis itu seketika melompat berdiri dari duduknya.
"Dah ayok gas gas!" Benedikta dan Alex tahu-tahu sudah melesat berlari entah kemana. Biar Felis tebak, mereka tengah mengambil kayu dan seperangkat alat-alat lain untuk kebutuhan api unggun. Felis, Aleron, dan Manisa bergegas untuk menata tempat di pelataran rumah.
Benedikta dan Alex kembali dalam beberapa menit. Mereka semua segera menata kayu, menyiramkan minyak, dan menghidupan api. Begitu api dinyalakan, lidah api seketika berkobar terang, membuat suasana di sekitar berubah menghangkat. Mereka duduk melingkar mengelilingi api unggun kecil-kecilan itu. Sederhana, tapi tawa mereka membuatnya berharga.
"Mainin gitarnya dong, Pangeran!" rajuk Manisa. Gadis itu memeluk lengan Felis erat-erat sembari menggoyangkannya meminta. "Kangen nih lama nggak dengerin kamu main gitar."
Felis tersenyum menatap gadis itu. "Mau lagu apa?"
"Apa aja! Hehehe." Manisa meraih gitar yang ada di sebelahnya, menyerahkannya pada Felis.
Felis menerima gitar itu, memposisikan dirinya senyaman mungkin. Suasana di sekitar mendadak hening. Semua menanti permainan gitar Felis. Manisa merapikan duduknya supaya lebih leluasa memandang wajah tampan Felis yang disinari oleh cahaya api unggun. Gadis itu tidak bisa berbohong bahwa ia begitu rindu pada Felis dan tak sabar ingin segera mendengarkan suara kekasihnya itu.
Suara petikan gitar membuat senyum Manisa merekah. Nyanyian Felis menyusul tak lama setelahnya.
I found a love for me
Darling, just dive right in
And follow my lead
Well, I found a girl, beautiful and sweet
I never knew you were the someone waiting for me
Mereka bersama-sama menyanyikan bait lagu berikutnya.
'Cause we were just kids when we fell in love
Not knowing what it was
I will not give you up this time
Darling, just kiss me slow, your heart is all i own
And in your eyes, you're holding mine
Felis menatap Manisa. Senyumnya merekah.
Baby, I'm dancing in the dark with you between my arms
Barefoot on the grass, we're listenin' to our favorite song
When you said you look a mess, I whispered underneath my breath
But you heard it, darling, you look perfect tonight
Padahal Felis belum menyelesaikan lagunya, tapi suara tepuk tangan membuatnya memilih untuk mengakhiri nyanyian. Tepuk tangan Manisa membahana, yang paling kencang di antara tepuk tangan lainnya. Gadis itu beringsut memeluk leher Felis erat-erat, membuat manusia-manusia lain yang duduk di sekitar mereka berseru nyaring sambil menurunkan jempol ke tanah.
"Bucin! Huuuuuuuu!"
"Halah halah bucin ujung-ujungnya!"
"Buceeeeeennnn!"
"Apaan, sih!" ujar Manisa kesal, melempar gumpalan tanah kepada tiga laki-laki yang segera berlari masuk ke dalam rumah. "Loh, kok malah lari?! Woy, sini dong!"
Felis terkekeh melihat pemandangan itu. "Biarin aja, nanti juga balik lagi ke sini."
"Iya," kata Manisa, saling menepuk kedua telapak tangannya yang kotor karena tanah. Gadis itu kembali menatap Felis dengan senyum lebar. "Aku kangen banget denger suara kamu, Pangeran. Ternyata masih sama, masih bikin deg-degan!"
Tangan Felis terulur, mengelus puncak kepala gadis itu lembut. "Aku juga kangen banget sama kamu, Rel."
Senyuman Manisa seketika luntur. Pergerakan Felis terhenti. Laki-laki itu menegang dalam posisinya.
"Rel?"
***
Manisa menyadarinya dan ia menahannya.
Selama satu minggu itu, katakan saja ia dibutakan oleh rasa rindu. Ia memang merindukan Felis, sangat. Sepanjang perjalanan menuju ke desa, ia selalu membayangkan akan menghabiskan banyak waktu bersama Pangerannya. Waktu yang selama ini menghilang entah kemana akan segera terbayar lunas. Dan ia tak sabar untuk segera bertemu dengan Pangerannya, Felis Leo.
Ketika sampai di rumah Felis, mereka disambut hangat oleh Nenek dan Mama, akan tetapi Manisa tak dapat menemukan keberadaan Felis dimanapun. Ke mana gerangan kekasihnya itu? Kenapa saat rasa rindunya semakin menggebu-gebu, Felis justru tak kunjung muncul?
Ternyata Felis masih belum pulang sekolah. Manisa hampir lupa saking rindunya. Seharusnya ia dan anggota Ephypany juga masih bersekolah hari ini, tetapi mereka memilih izin—sebagian membolos—demi bisa berkunjung ke desa Felis. Saat-saat seperti ini, pelajaran bukan lagi prioritas dalam jadwal Manisa. Ia tak peduli harus debat dengan kedua orang tuanya sampai mogok makan seharian, yang penting kini ia sudah diizinkan pergi hingga memijakkan kaki ke desa tempat tinggal Felis. Aroma laki-laki itu bahkan sudah mampu ia cium.
Entah bagaimana, kala itu Manisa keluar untuk menghirup aroma udara desa yang berkali-kali lipat jauh lebih menyegarkan daripada udara di Jakarta. Kemudian ia menoleh ke arah kiri dan seketika jantungnya berhenti berdetak. Ia melihat Felis pulang. Pangerannya akhirnya muncul!
Namun, siapa gadis yang berjalan bersama Pangerannya itu?
Manisa ingat, ketika ia dan Felis berpelukan, ia melihat gadis itu menangis sebelum berbalik pergi.
Teman sekolah, pikir Manisa saat itu.
Pikiran yang benar-benar menghancurkan dirinya sendiri. Karena semenjak saat itu, ia memang mengakui bahwa Felis telah berubah. Perilaku manis Felis terhadapnya memang masih sama, tidak berubah. Namun tatapannya berubah. Manisa tahu. Dan kasih sayang Felis berubah, tak sama lagi seperti dulu. Manisa tahu.
"Nis, tunggu!"
Felis berhasil menarik tangan gadis itu, membuat mereka kembali berdiri berhadapan. Laki-laki itu dapat melihat wajah Manisa yang penuh amarah. Matanya memerah dan sembab.
"Apa?" suara Manisa terdengar serak. "Kamu mau ngomong apa lagi?"
Perlahan, cengkeraman tangan Felis mengendur. Laki-laki itu menjilat bibirnya yang tiba-tiba mengering. "Aku—"
"Apa?! Kamu apa?!" jerit Manisa. Felis seketika terbungkam. "Aku selama ini jauh di sana jaga perasaan buat kamu! Aku selama ini selalu mikir gimana caranya biar bisa pertahanin hubungan jarak jauh ini! Aku selama ini sabar nunggu line kamu, nunggu telepon kamu! Aku terus berusaha positif thinking, kamu tahu?!" ia mendorong kasar dada Felis, membuat laki-laki itu mundur dua langkah ke belakang. "Aku juga bisa Fel kalau cuma selingkuh! Selingkuh itu apa?! Pengecut!"
"Aku nggak selingkuh, Nis, aku cuma—"
"Cuma suka sama perempuan lain padahal sendirinya udah punya pacar?" Manisa menyisir frustrasi rambutnya ke belakang. Ia menatap tajam Felis sebelum berbalik. "Aku mau sendiri dulu. Jangan ganggu."
Saat ia hendak mengambil satu langkah untuk pergi, lagi-lagi suara Felis menghentikannya, "Maaf."
"Maaf buat apa?" Manisa mendongakkan kepala. Mulai hari itu juga ia benci pada air matanya yang tak kunjung menguap. Air mata sialan ini terus berjatuhan deras, membuatnya terlihat rapuh. "Katanya kamu nggak selingkuh. Kenapa harus minta maaf?"
"Maaf," ulang Felis.
Gadis itu memejamkan matanya erat-erat. Aku mohon, jangan bilang kalau....
"Aku memang suka sama dia, Nis."
Kaki Manisa melemas.
"Aku cinta sama dia."
Oke.
Tanpa berbalik, gadis itu melangkah pergi meninggalkan Felis. Di dalam kamar, ia membekap wajahnya dengan bantal. Pikirannya kacau. Ia tidak bisa berpikir dengan jernih lagi. Kedua tangannya mengepal erat.
Siapa gadis itu?
Manisa rasa ia harus membuat perhitungan.
Wajar bukan apabila ia cemburu pada gadis itu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top