21. Lupa
Apa yang sebenarnya Felis lupakan?
.
.
.
Suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring menghiasi suasana makan malam di sebuah ruang makan kecil. Felis memakan makanannya dengan fokus, sama sekali tidak melirik atau bahkan mendongakkan kepala untuk sekadar melihat Papa dan Mama yang saling lempar pandang. Nenek sudah menghabiskan sepiring buburnya sepuluh menit yang lalu. Wanita tua itu sekarang mungkin sudah menjelajahi alam mimpi. Setelah mengeluhkan sakit gigi beberapa hari ini, konsumsi makanannya jadi beralih dari nasi ke bubur.
Papa berdeham kecil, berharap Felis akan melirik. Namun anak laki-lakinya itu entah begitu kelaparan atau bagaimana, tetap tidak peka dan terus fokus makan. Baiklah, Papa tidak punya pilihan.
"Papa sama Mama sedang berpikir bagaimana cara untuk kembali membuka toko baju," kata Papa. Anggap saja pembukaan, atau basa-basi, terserah. Tak kunjung mendapat respon yang diinginkan, Papa melanjutkan, "Menurut kamu gimana, Nak?"
Tangan Felis berhenti. Laki-laki itu mendongak. Dalam hati Papa dan Mama bersorak senang. "Di Jakarta lagi?"
"Masih rencana," sahut Mama. "Selama di rumah, Mama juga mulai menjahit lagi kecil-kecilan. Ada sisa kain perca di gudang. Lagian, mesin jahit punya nenekmu bisa jadi barang antik kalau lama tidak dipakai."
Felis mengangguk-anggukkan kepala, lalu melanjutkan makannya. "Felis sih ikut seneng. Semua terserah ke Papa sama Mama. Selama itu yang terbaik, Felis dukung."
"Doakan saja ya, Nak. Papa sama Mama nggak berharap bisa kembali ke Jakarta lagi. Mungkin akan buka toko penyewaan baju kecil-kecilan di kota dekat sini. Kalau urusan ke Jakarta, Papa sama Mama yakin kamu pasti akan kembali ke sana."
Satu suapan terakhir, sebelum Felis meraih gelas untuk menenggak airnya dalam tiga kali teguk. "Maksudnya?" tanyanya, usai menaruh gelas kosong ke atas meja.
Mama mengerutkan dahi. "Katanya mau kuliah musik. Lagian kamu nggak kangen apa sama temen-temen kamu, juga sama siapa itu, Anisa?"
"Manisa." Felis meralat. "Ya kangen, tapi—"
"Tapi apa?" sela Papa. Nadanya terdengar protes. "Sudah bagus cita-citamu itu tinggi. Papa dan Mama dukung seratus persen. Kamu tinggal fokus belajar aja."
Mama mendelikkan mata ke arahnya. "Jangan bilang kamu berat ninggalin Aurel?"
Felis seketika terdiam kaku. Ia memang sudah baikan dengan Aurel. Kedua orang tuanya juga sudah tahu akan hal itu. Tanpa menyinggung persoalan besar yang sempat membuat hubungan pertemanannya dengan Aurel merenggang, juga sempat membuatnya stres berat, hari-hari yang mereka lalui pasca hari permohonan maaf itu kembali berjalan seperti sedia kala.
Berangkat sekolah bersama, makan di kantin bersama, pulang sekolah bersama, pergi ke atas bukit bersama. Lihat, semuanya berjalan seperti biasanya, bukan?
Tapi kenapa tiba-tiba Mama harus mengajukan pertanyaan yang begitu berat? Ah, napsu makan Felis ilang. Eh tapi omong-omong ia memang sudah selesai makan.
"Nggak kok," jawabnya. Demi kesopan santunan, Felis menarik dua sudut bibirnya sedikit, tersenyum setipis lembaran tisu. Laki-laki itu lantas bangkit berdiri untuk pamit tidur. "Ma, Pa, Felis ngantuk. Tidur duluan, ya!"
***
"Biasanya kalau liburan sekolah, main ke mana?"
Aurel nyaris tersedak gumpalan tempe goreng yang barusan ia telan. Felis bertanya hal itu entah karena ia bodoh atau buta atau keduanya. Serius ia bertanya hal itu pada Aurel-yang-notabene-anak-rumahan-tingkat-akut?
"Apa?" Felis merasa aneh mendapat pelototan mata tidak percaya dari Aurel. Laki-laki itu mencuri potongan wortel dalam kotak bekal Aurel dan gadis itu membiarkannya begitu saja. "Aku biasanya dulu ya main, manggung, gitu-gitu. Baru pindah ke sini belum ada setahun, jadi bingung. Mau main, nggak?"
"Nggak pa-pa." Aurel menggelengkan kepala kecil, sebelum lanjut makan. "Biasanya kita juga main, 'kan? Kenapa masih nanya lagi?"
"Maksudku, main ke luar desa. Gimana?"
Jam istirahat itu, keadaan kantin lebih sepi dari yang biasanya. Aurel dan Felis terlalu berlama-lama duduk sembari menghabiskan bekal dengan tempo lambat, tidak seperti anak-anak lain yang mungkin langsung menelan makanan mereka begitu saja tanpa mengunyah akibat kelaparan saat jam pembelajaran. Lagipula masih ada sisa waktu sekitar sepuluh menit. Tidak masalah berlama-lama sedikit lagi.
Aurel menutup kotak belaknya yang sudah habis tak bersisa. Gadis itu ganti meminum air mineralnya hingga sisa setengah botol. Felis melakukan hal serupa.
"Nggak usah," jawab Aurel tersenyum tipis. "Nggak bisa. Nggak nyaman. Kamu tahu sendiri."
Felis mengangguk-angguk kecil. "Iya juga sih. Ya udah nanti bisa diomongin lagi. Balik kelas, yuk?"
Entah hanya prasangka Felis atau bagaimana, semenjak ia bertanya perihal liburan di kantin, Aurel jadi lebih pendiam. Aurel memang pendiam, tapi gadis itu tidak pernah sependiam ini hingga tak berbicara sepanjang perjalanan pulang. Ia jadi takut membuat kesalahan lagi. Pernah dulu ia menegor Aurel karena bersikap kurang pantas di hadapan Budi dan Danang, lalu berakhir dengan gadis itu mendiamkannya.
Tapi yang benar Felis melakukan kesalahan lagi? Aneh betul kalau gadis itu tersinggung hanya karena ia bertanya tentang liburan. Felis tidak tahan. Kalau dulu-dulu ia mengeluh karena sepanjang perjalanan pergi dan pulang sekolah selalu mendengar ocehan Budi, kini ia mengeluh karena sepanjang perjalanan hanya ditemani sepi.
Felis menoleh, niat melihat ekspresi Aurel, ia malah mendapati gadis itu terlihat kebingungan. Dua tangannya saling meremat satu sama lain.
"Kamu nggak pa-pa?" tidak bisa dibohongi, Felis cukup khawatir sekarang ini. Laki-laki itu melempar pandang ke depan. Rumahnya sudah terlihat di depan sana. Lumayanlah, kalau-kalau Aurel pingsan ia tidak akan kewalahan lagi. Ia kembali menatap Aurel. "Nggak lagi sakit, 'kan?"
Aurel menggeleng. Felis melihat keraguan dalam gelengan kepala itu. "Nggak, tapi...."
"Tapi apa?" Felis mengambil satu langkah lebar. Laki-laki itu berdiri menghadang di depan Aurel. Gadis itu terkesiap. Pandangan mereka bertemu. "Ada yang mau kamu omongin?"
Apa tentang liburan yang tadi? Felis mengerutkan dahi.
Aurel berkedip beberapa kali. "A-ada."
Dua alis Felis naik. "Apa?"
Gadis itu menelan ludah. Ia menggigit bibir bawahnya pelan. Felis semakin dibuat penasaran. "Felis, aku—"
"FELIS!"
Felis dan Aurel sama-sama terkejut dengan teriakan itu. Aurel menaikkan alis menatap ke arah belakang tubuh Felis. Laki-laki itu berbalik. Seorang gadis tengah berlari ke arahnya. Dalam sepersekian detik, pikiran Felis terasa kosong. Sampai tubuhnya ditabrak oleh pelukan erat. Felis oleng ke belakang, tetapi tak membuat gadis itu melepaskan pelukannya. Rungunya mendengar tangisan kerinduan.
"Aku kangen banget! Kamu kayak ilang ditelen bumi, tahu?!"
Tubuh Felis membeku selama beberapa saat. Manisa? Ia menurunkan pandangan, menatap gadis yang masih tidak berubah. Eyeliner-nya masih tebal. Dan ia masih terlihat sangat cantik.
Sungguh, Felis bingung bagaimana meresponnya. Tahu-tahu tangannya tergerak untuk membalas pelukan gadis itu, disusul usapan pelan pada puncak kepalanya. Otomatis. "Nis, kamu sama siapa ke sini—hei kok nangis?" Felis menghapus jejak-jejak air mata di pipi gadis itu. Manisa mengerucutkan bibir merajuk. "Sayang, jangan nangis. Iya, iya, aku juga kangen kok."
"Gatau ih! Nyebelin!" seru Manisa mengembungkan pipi. "Kamu tuh udah ngilang gitu aja, jarang telpon lagi! Ephypany kamu telantarin di mana?! Aku kamu telantarin di mana?!"
"Ephypany?"
Belum cukup keterkejutan Felis, tiga orang laki-laki tiba-tiba menyusul berlari ke arahnya. Mereka bertiga bergantian memberikannya pukulan—pukulan kasih sayang. Meski Felis berulang kali mengaduh kesakitan, mereka bertiga tak peduli. Anggap saja itu pelajaran bagi Felis karena sudah tega pergi tanpa aba-aba.
"Hoi! Ngaco lo anjir!" protes Aleron geram.
"Tahu nih, bocah rese!" Alex mendorong punggung Felis gemas.
Benedikta berseru nyaring, "HABISIN YOK!"
"Eh jangan diapa-apain pacar gue woy!"
***
"Sekolah di kota udah libur? Gue baru besok libur." Felis menatap empat manusia yang duduk melingkar di lantai ruang tamu beralaskan tikar itu dengan pandangan bertanya-tanya. Sejak kapan pemerintah mulai pilih kasih begini? Seingat Felis semuanya disamaratakan. "Jangan-jangan pada bolos, ya?" Felis menunjuk temannya satu per satu.
Alex hampir tersedak roti yang ia kunyah. Untung kedatangan Mama dengan nampan berisi teh hangat berhasil menyelamatkannya. Laki-laki itu berdiri, bergegas membantu Mama Felis, sama sekali tidak melunturkan rasa curiga Felis padanya.
Memang hanya Benedikta yang paling kalem di sini. Laki-laki itu berkata santai, "Izin kali, bukan bolos."
"Izin apaan?"
"Gue sih izin acara keluarga. Nggak tahu mereka tuh." Benedikta memeletkan lidah pada Aleron yang memelototinya ganas. "Alah, yang penting juga besok udah libur. Santai kali."
Felis menggeleng-gelengkan kepala. Ada-ada saja. "Ephypany nambah personil baru?"
"Ngaco lo," seloroh Aleron. "Lo yang bentuk, lo yang kabur, lo yang nanya. Pengen banget gue slepet, Fel!"
Manisa melemparkan serbet ke arah Aleron, tepat mengenai wajahnya. "Jangan slepet Pangeranku!"
"Bucin!" seru ketiga laki-laki itu bersamaan.
Felis tertawa lepas menanggapinya.
Kedatangan teman-temannya ke desa adalah berkunjung, sekaligus memastikan bahwa Felis benar-benar pindah, bukannya menghilang ditelan bumi. Empat koper besar yang ada di sudut ruang tamu itu menjelaskan bahwa mereka benar-benar serius ingin menghabiskan waktu liburan di tempat ini.
Awalnya Felis ragu, terutama terhadap Manisa. Ia saja dulunya tidak betah hidup di tempat ini, bagaimana mungkin gadis yang selalu mandi susu di bathtub itu akan menjalani masa-masa liburnya dengan damai? Meskipun begitu, Felis juga tidak memungkiri bahwa ia senang. Ia senang teman-temannya datang berkunjung. Mengetahui kepedulian teman-temannya, Felis menjadi terharu.
Dan keraguan Felis terbayarkan dengan kesungguhan teman-temannya. Mereka berempat sama sekali tidak mengeluhkan apapun selama ada di desa. Selama hampir satu minggu waktu mereka habiskan bersama, jujur Felis bahagia.
Ia bahagia meski terkadang merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Memang apa yang Felis lupakan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top