20. Sakit dan Tangis
Kenapa hati Aurel sakit melihat pemandangan itu? Pun, kenapa ia harus menangis?
.
.
.
Malam itu, embusan angin dingin yang menerbangan helaian rambut Aurel tak mampu membuat bulir-bulir keringat dalam pelipisnya ikut terbang. Gadis itu memainkan kedua tangannya di atas paha, saling meremat satu sama lain, saling memberi kekuatan satu sama lain. Ia menelan ludah susah payah, seiring dengan rasa penasaran akan reaksi Felis setelah mendengar ceritanya.
Apakah Felis kaget? Apakah laki-laki itu jijik? Atau jangan-jangan ia akan menjauh dari Aurel?
Tanpa sadar jantung Aurel berdetak dengan kecepatan pacu kuda di arena balap. Kepalanya terus menunduk dalam. Sebisa mungkin ia tidak melirik Felis yang duduk diam di sebelahnya. Ia belum siap mendengar komentar laki-laki itu setelah menceritakan semuanya.
"Aurel."
Aurel memejamkan mata. Baiklah, siap tidak siap ia juga akan tetap mendengarkannya. Ia tidak tuli.
"Apa?"
Tidak terdengar suara apapun. Aurel menoleh. Seketika ia terkesiap melihat jarak wajah Felis yang begitu dekat dengannya. Gadis itu refleks menjauhkan diri.
Felis mengamati wajah Aurel tiba-tiba memerah lekat-lekat. "Serius?"
Gadis itu mengedipkan mata beberapa kali. "Apa?"
"Soal kamu nggak bakal menikah. Itu serius?" tanpa sadar Felis menegang menunggu jawaban Aurel. Memang skill akting Felis patut diapresiasi. Ia sama sekali tidak terlihat panik di mata gadis itu.
Anggukan kepala Aurel membuat kaki Felis melemas. Perlahan, Felis menjauhkan tubuhnya. Laki-laki itu menghadapkan diri ke depan, memandang ke arah pelataran rumahnya yang begitu luas sampai-sampai ia pernah berpikir untuk mengadakan konser semalaman penuh tanpa ada gangguan. Felis menyandarkan punggungnya ke tembok. Ekor matanya memerhatikan Aurel yang ikut menyandarkan punggung.
Aurel sendiri juga tidak punya ide mengapa Felis bertanya demikian padanya. Apakah ini berhubungan dengan pernyataan suka tempo lalu, entahlah, Aurel hanya menebak-nebak. Situasi ini serasa membuat batinnya yang pro dan kontra saling berkompetisi untuk membuat jeritan kebingungan satu sama lain.
"Aku adalah teman pertamamu," Felis angkat suara. "setelah kamu memutuskan untuk tidak berteman dengan siapapun. Ingat?"
Aurel menangguk, walau perkataannya berbanding terbalik dengan senyuman yang ia ciptakan, "Itu dikarenakan tragedi yang tidak terduga."
Kekehan Felis terasa lembut di telinga Aurel. Tunggu, sejak kapan suara bariton Felis terdengar begitu merdu di pendengarannya?
"Rel," panggil Felis kembali.
"Hm?"
"Kalau orang itu aku, gimana?"
Aurel menolehkan kepala, menatap sisi samping wajah Felis yang terpahat sempurna. "Apa?"
Jakun Felis naik turun seiring kegugupannya yang memancar. "Kita nggak tahu tentang takdir. Semua udah jadi rahasia Ilahi, sma kayak jodoh. Kalau ternyata kita berjodoh, gimana?"
Aurel tidak tahu harus menjawab pertanyaan itu seperti apa. Yang ia tahu, dadanya hampir meledak. Sumpah jantungnya terlalu kencang berdetak. Ia sampai harus menekannya kuat-kuat, takut kalau benar-benar meledak. Lagipula jika sampai Felis mendengarnya, Aurel bisa malu setengah mati.
"Rel?" Felis memandang Aurel tajam. Sorot matanya terlihat tidak sedang bercanda. "Apa kamu akan tetap menutup hati?"
Tolong, Felis, pertanyaanmu benar-benar ada di luar nalar Aurel. Gadis itu merasa ujung lidahnya terlalu kelu untuk menjawab. Hanya ada dua jawaban. Ya atau tidak. Sesimpel itu. Namun Aurel merasa tengah berdiri di atas tali tambang, di mana sisi kanan dan kirinya ialah jurang. Jika salah melangkah, ia akan jatuh, entah ke sisi kanan atau sisi kiri.
Aurel menjilat bibirnya yang tiba-tiba mengering. Kepalanya mengangguk pelan, terasa begitu berat. "Iya."
Dan Aurel mendengar dengan jelas helaan napas panjang dari bibir Felis. Laki-laki itu terdengar kecewa. Terlebih sorot matanya. Seketika ia memandang ke depan, tak lagi memandang Aurel.
Aurel memang berkata iya dalam mulut, tetapi jauh di dalam hati, ia merasa bersalah telah mengatakannya pada Felis. Gadis itu melirik Felis yang tengah memejamkan mata.
Tapi jika kamu orangnya, aku nggak tahu apakah hal itu masih berlaku.
***
Ini sudah lewat tengah malam setahu Aurel saat ia membuka pintu rumah dan menutupnya perlahan supaya tidak menimbulkan kegaduhan. Namun siapa sangka ia harus terkejut melihat sosok Nenek yang tengah duduk di ruang tamu sedang menatapnya sembari tersenyum. Rupanya Nenek menunggunya sedari tadi. Aurel mendekat dan duduk di sebelahnya.
Tanpa ditanyai gadis itu berkata, "Aurel udah cerita semuanya ke Felis. Aurel cerita tentang Bunda, tentang laki-laki biadab itu. Semuanya."
Tangan keriput Nenek membelai pelan rambut panjang Aurel. "Ndak pa-pa, Ndhuk. Nenek saja percaya sama Felis. Kamu juga harus percaya sama dia."
"Aurel juga percaya kok sama Felis," ucapnya lirih. Aurel hanya tidak percaya sama diri Aurel sendiri.
"Terus, Felis bilang apa?"
Gadis itu terdiam selama beberapa saat. Pandangan matanya kosong menatap ke arah lantai. "Dia bertanya apakah Aurel akan tetap menutup hati, apa Aurel tetap tidak akan menikah suatu saat nanti."
"Aurel jawab apa?"
"Aurel...," Aurel menggigit bibir bawah. "bilang iya."
"Ndhuk," ucap Nenek pelan, nyaris seperti bisikan angin. "Kamu ini sudah besar, sudah bisa membedakan mana yang baik sama yang buruk. Nenek tahu kamu ini orangnya pintar dan baik hati. Dengerin Nenek, Nenek ndak akan selamanya hidup di dunia ini. Nenek ndak akan selamanya bisa jaga Aurel. Kalau Nenek sudah ndak ada, kamu mau hidup sendiri? Manusia itu ndak bisa selamanya hidup sendiri, Ndhuk. Orang mati saja ndak bisa menguburkan dirinya sendiri. Semua butuh pertolongan satu sama lain."
Bulir-bulir air mata Aurel nyaris menetes membasahi pipi kalau ibu jari Nenek tak kunjung menyekanya. "Nenek jangan ngomong gitu! Aurel sayang Nenek! Aurel mau jaga Nenek selamanya!"
Nenek terkekeh. Ia mencubit pelan pipi Aurel. "Iya, Nenek tahu Aurel sayang sama Nenek, tapi Aurel harus ingat, kita ini makhluk sosial. Aurel ndak bisa hidup begini terus. Nenek lho bisa lihat perbedaan diri kamu saat masih menyendiri sama setelah ada Felis. Dulu pendiam luar biasa, sekarang mulai ceria. Itu baru Felis, gimana dengan yang lain? Harus belajar membuka diri ya, Ndhuk?"
Aurel sendiri tidak yakin dengan anggukan kepala yang ia berikan pada Nenek. Semua itu lebih-lebih ia lakukan supaya Nenek bisa lega. Ia tidak ingin membuat Nenek berjaga semalaman hanya dengan memikirkannya yang begitu bandel.
Namun Aurel tidak menyangka. Sebelum ia mematikan lampu dan tidur, ia bisa benar-benar merenungkan kata-kata Nenek.
Membuka diri untuk orang lain selain Felis sangat berat ia bayangkan. Aurel tidak biasa dengan orang-orang baru. Hanya Felis satu-satunya orang asing yang berhasil masuk ke dalam lingkup hidupnya. Masuknya pun penuh dengan kejutan tak terduga. Lalu bagaimana dengan orang lain? Orang baru nanti?
Atau, ia harus memulainya dengan Felis? Membuka hati untuknya?
"Aurel. Aku suka kamu."
Aurel masih ingat sorot matanya saat mengatakan itu.
"Rel? Apa kamu akan tetap menutup hati?"
Juga itu.
Tangannya perlahan bergerak untuk menyentuh dada sebelah kiri, merasakan irama detak jantungnya yang seketika berpacu lebih kencang hanya dengan mengingat Felis. Segalanya tentang Felis.
"Baiklah, aku coba."
***
Tidak hanya Felis, tetapi Aurel pun sangat bahagia mulai hari itu. Ia dan Felis telah baikan. Mereka kembali seperti sebelumnya, berangkat sekolah bersama, bercanda gurau, makan bekal di kantin. Hari itu mereka dedikasikan sebagai hari baikan antar teman paling menyenangkan. Ditambah, Felis tidak mengungkit-ungkit masalah yang lalu. Hal itu membuat Aurel berkali-kali lipat lebih nyaman. Hari-hari yang mereka lalu pun mulai membaik, atau mungkin jauh lebih baik dari yang dulu.
Meskipun demikian, senyaman apapun, Aurel tetap tidak bisa melepaskan pemikiran-pemikiran yang muncul malam hari itu sebelum ia tidur. Haruskah ia jujur pada Felis? Selama beberapa hari ini ia rela menunggu waktu yang tepat, sekarang kenapa tiba-tiba ia menjadi ragu?
Bahkan setelah mereka berdua berjalan beriringan untuk pulang, Aurel masih tak kunjung mengatakannya. Ia masih menunggu saat yang tepat.
Saat yang tepat. Tikus got juga akan tertawa mendengarnya.
Tidak ada yang namanya saat yang tepat. Timing itu diciptakan oleh seseorang itu sendiri. Jangan menyalahkan keadaan, Aurel!
"Kamu nggak pa-pa?" Felis menatap aneh Aurel yang jadi jauh lebih pendiam setelah mereka berdua keluar dari gerbang sekolah. Tidak seperti pagi hari yang penuh cerita, kali ini perjalanan mereka hanya ditemani oleh suara-suara di luar tubuh mereka sendiri. Tidak apa-apa sebenarnya, tetapi Felis tidak nyaman sepanjang perjalanan dipenuhi keheningan. Mana rumahnya sudah tinggal sekitar dua puluh langkah di depan sana."Nggak lagi sakit, 'kan?"
Aurel menggeleng. "Nggak, tapi...."
"Tapi apa?" Felis melangkah maju, berdiri di depan Aurel. "Ada yang mau kamu omongin?"
Baiklah, Aurel, ini saatnya!
"A-ada."
Felis menaikkan dua alis bersamaan. "Apa?"
Aurel menelan ludah. Mati-matian ia menjaga agar ekspresinya tidak kentara gugup. Gadis itu menggigit bibir bawahnya pelan, "Felis, aku—"
"FELIS!"
Jeritan membahana yang menggema itu membuat baik Felis maupun Aurel, keduanya sama-sama mengalihkan pandangan ke sumber suara. Seorang gadis cantik tengah berlari ke arah mereka, atau lebih tepatnya Felis. Semakin dekat jarak gadis itu, Aurel semakin bisa melihat jelas sudut-sudut matanya yang hitam tengah berair.
Gadis itu menabrak tubuh Felis kuat, hingga sang pemilik tubuh oleng ke belakang sesaat. Ia melingkarkan tangan-tangannya yang cantik ke tubuh Felis erat-erat. "Aku kangen banget! Kamu kayak ilang ditelen bumi, tahu?!"
Bibir Aurel memucat melihat pemandangan itu. Terlebih ketika melihat Felis mulai membalas pelukannya. Tangan besar Felis mengusap puncak kepala gadis itu lembut. Sangat lembut sampai-sampai hati Aurel tercabik-cabik hanya dengan melihatnya saja.
"Nis, kamu sama siapa ke sini—hei kok nangis? Sayang, jangan nangis. Iya, iya, aku juga kangen kok."
Aurel mundur dua langkah. Pandangannya memburam. Buru-buru ia membalikkan badan.
Tanpa sepengetahuan Felis, Aurel memilih untuk pergi. Sepanjang perlajanan, air mata gadis itu terus mengalir bagaikan air terjun yang airnya tak pernah habis. Langkah kakinya membawa pergi ke arah lain, bukan ke arah rumah.
"Kenapa harus nangis?" tanyanya sebal pada diri sendiri, sembari terus menghapus air mata di pipinya dengan kasar.
Meskipun begitu, ia tetap menangis.
Aurel tetap menangis, hingga ia sudah sampai di atas bukit dan duduk di atas batu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top