18. Apa Yang Terjadi?
Demi Tuhan, Felis hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi!
.
.
.
Langkah kakinya semakin cepat menuruni jalanan berbatu yang sama sekali tidak mulus. Tidak ada pikiran bagaimana jika ia jatuh nanti, atau bagaimana jika kakinya terpeleset dan mereka berdua akan berguling-guling dengan penuh luka nanti. Dalam benak Felis hanya ada Aurel, Aurel, dan Aurel. Gadis yang terpejam lemas di punggungnya.
Kejadian ini terulang kembali. Felis masih ingat, waktu itu, ketika Aurel pingsan adalah saat di mana ia hendak menolong gadis itu. Tunggu, bagaimana bisa? Tidak mungkin ini sebuah kebetulan. Selama mereka bersama sepanjang waktu, gadis itu terlihat sehat. Aurel terlihat baik-baik saja. Sebenarnya apa yang tengah terjadi di sini?
Felis tidak mengenal berhenti. Jantungnya yang berdetak cepat karena kelelahan dan khawatir saling membaur menciptakan perasaan takut yang luar biasa. Laki-laki itu semakin mempercepat langkah larinya, hingga bangunan rumah Aurel mulai terlihat di depan sana.
Seperti tengah ditunggu, belum sampai Felis benar-benar memijakkan kaki di depan rumah Aurel, sosok Nenek keluar dari pintu. Nenek terlihat panik melihat kedatangan Felis dan Aurel yang pingsan dalam gendongannya.
Felis mengerem langkah persis di hadapan Nenek. Keringatnya deras membanjiri seluruh permukaan tubuh dan lehernya terasa tercekik akibat kehabisan oksigen.
"Hahhh... hahhh... Nek... hahhh... Aurel—"
"Bawa dia ke dalam."
***
Napasnya sudah stabil, meski keringat yang membanjiri tubuhnya belum menguap ke udara. Felis berdiri kaku di sebelah Nenek. Dengan tangan kuat terkepal laki-laki itu memandang sosok Aurel yang tidur terbungkus selimut di hadapannya. Gadis itu terlihat begitu damai saat memejamkan mata, sampai-sampai Felis tidak percaya kalau ia tengah pingsan. Felis lebih percaya kalau Aurel tengah tidur, alias membohonginya.
Lengannya disenggol pelan. Felis melihat Nenek memberi isyarat untuk mengajaknya keluar kamar. Begitu mereka berdua keluar dari kamar Aurel, Nenek menutup pelan pintunya. Wanita yang rambutnya sudah penuh dengan uban itu tersenyum hangat pada Felis, yang tambah membuat Felis begitu kesal.
"Terima kasih ya Felis. Kalau ndak ada kamu, Nenek ndak tahu bagaimana nasib Aurel."
Senyuman yang Nenek berikan pada Felis, ia tahu bahwa itu hanyalah kedok belaka. Senyuman itu seolah-olah menutupi sesuatu yang baik Nenek maupun Aurel rahasiakan darinya. Felis cukup sekali saja merasa lega mendengar rasa terima kasih itu, dulu. Sekarang, ia perlu klarifikasi yang sebenarnya. Ia tidak suka dengan teka-teki.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Nek?" tanya Felis to the poin. Laki-laki itu berusaha kuat untuk tidak berbicara dengan nada tinggi. Mengingat, pertama, Nenek Aurel ialah orang asing baginya. Kedua, ia tidak mau kurang ajar terhadap orang yang lebih tua. Ketiga, ia tidak mau membangunkan Aurel yang katanya pingsan. "Saya yakin ada apa-apa di balik semuanya ini. Nggak mungkin kok Aurel tiba-tiba pingsan gitu aja. Kalau misalkan beneran Aurel selalu kumat pingsan begitu, pasti udah banyak orang yang nyelametin dia, tapi nyatanya nggak ada, 'kan, Nek? Sebelum ada saya dia nggak pernah dekat sama siapapun juga."
Oke, Felis memang mengatakannya dengan nada yang masih cukup terbilang normal, tidak kurang ajar. Namun, ia lupa kalau seharusnya ia tidak ngegas. Ia melupakan syarat yang satu itu.
Nenek meundukkan kepala dalam, tak mampu menatap mata Felis yang menyalang marah. Felis tidak tahu, Nenek punya pergulatan batin yang siap mendesak keluar, tetapi ia masih menjaga perasaan Aurel. "Felis, thole, Nenek minta maaf Nenek ndak bisa kasih jawaban yang membuat Felis tenang. Nenek—"
"Nek, tolong," pinta Felis memelas. Ia terdiam selama beberapa saat. Waktu waktu seperti ini adalah perjuangan berat karena Felis merasa ingin menangis. Laki-laki itu mendongakkan wajahnya tinggi-tinggi, menghalau air matanya supaya tidak jatuh konyol.
"Felis—"
"Saya bingung, Nek. Saya harus tahu semuanya, supaya saya bisa jaga Aurel. Kalau seperti ini, saya sendiri juga nggak tahu harus bagaimana."
"Maaf.."
Felis menggigit kuat bibir bawahnya. "Nek, saya mohon."
Namun, Felis tetap tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Tubuhnya melemas, seiring dengan gelengan kepala yang Nenek berikan padanya, sebelum ia pamit untuk pulang.
"Maaf, Felis."
***
Bukannya ingin berjaga malam, tetapi Mama merasa begitu khawatir dengan Felis. Semenjak mereka pindah, Felis memang tidak sama seperti sebelum-sebelumnya. Namun semenjak anak tunggalnya itu mengenal Aurel, Mama merasa ada perubahan dalam diri Felis, membuatnya kembali ceria menjadi Felis yang dulu lagi. Namun entah bagaimana konflik keduanya, Mama mendapati Felis kembali murung. Dan itu membuat hati Mama resah.
Begitu mendengar suara pintu dibuka pelan, Mama yang sebelumnya tiduran di sofa buluk ruang tamu seketika bangkit berdiri. Wajah menyedihkan Felis adalah pemandangan pertama yang membuat Mama bisa menebak dengan telak bahwa permintaan maaf anak laki-lakinya gagal total.
Felis menyeret kakinya ke arah Mama. Laki-laki itu mendudukkan pantatnya di sofa, sembari menutup wajahnya menggunakan telapak tangan. Felis tidak menangis dan tidak ingin menangis. Ia hanya merasa kecewa.
"Gimana?" tanya Mama, ikut duduk di sebelah Felis.
Gelengan kepala Felis membuat Mama mendesah panjang. "Ma, Felis—"
"Mama nggak mau dengar alesan kamu. Mama mau dengar cerita kamu, seperti tadi. Semuanya, runtut, mulai dari pertama."
***
Langit-langit kamar yang terang adalah pemandangan pertama yang Aurel lihat kala membuka kedua kelopak mata. Gadis itu mencoba untuk duduk, tetapi rasa pening yang dahsyat menyerang kepalanya begitu saja. Alhasil, ia justru meringkuk sembari mengerang pelan. Nenek yang sedari tadi duduk di pinggir kasur menemani tiba-tiba menjadi panik.
"Mbok jangan dipaksa dulu to, Ndhuk. Istirahat aja. Kalau perlu apa-apa, bilang ke Nenek, nanti tak ambilkan."
"Kenapa Aurel bisa di sini, Nek?" tanya Aurel dengan suara serak.
Nenek tersenyum menjawab, "Kambuh lagi. Tadi Felis yang bawa kamu pulang."
Bola mata Aurel nyaris copot dari tempatnya. "Nenek cerita semuanya ke Felis?"
Gelengan kepala Nenek membuat ketegangan Aurel lenyap tak berbekas, tetapi ketegangan itu kembali datang saat mendengar kalimat, "Kamu harus cerita sendiri, Ndhuk. Felis itu anaknya baik, tulus mau jaga kamu. Dia tadi kecewa berat pas Nenek ndak bisa cerita semuanya. Bukannya Nenek ndak mau cerita semuanya, tapi Nenek ndak punya hak untuk cerita. Semuanya ada di tangan kamu. Cuma, Nenek minta tolong, kasih tahu Felis. Nenek yakin dia ndak akan kabur gitu aja setelah mendengar semuanya."
"Tapi, Nek, Aurel—"
"Nenek hanya berharap kamu mau cerita semuanya ke dia. Tapi kembali lagi ke kamu. Apa kamu mau selamanya berbohong seperti ini? Dia tulus, Ndhuk. Jangan sampai kehilangan Felis. Kamu mau kehilangan Felis? Dia satu-satunya orang yang mau berteman sama kamu."
Aurel tahu, ia tidak punya pilihan. Nenek benar. Ia tidak bisa selamanya berbohong pada Felis, satu-satunya teman dalam hidupnya.
Teman pertama.
Namun Aurel tidak ingin menjadikannya sebagai teman terakhir.
***
Ketukan pelan pintu terdengar mencurigakan di telinga Felis. Ia yang sedari tadi duduk termenung di sofa ruang tamu seketika menoleh ke arah pintu dengan pandangan bertanya-tanya. Siapa yang datang malam-malam begini? Pak RT? Hantu? Atau siapa?
Begitu pintu dibuka, laki-laki terkejut. Ia seketika mundur selangkah ke belakang. Di hadapannya berdiri Aurel dengan muka pucat. Gadis itu benar-benar ada di hadapanya. Aurel benar-benar berdiri di hadapannya.
Mereka berdua berpandangan selama beberapa saat. Felis terlalu terkejut dengan kehadiran Aurel, sampai-sampai lidahnya terasa beku.
Kalimat pertama yang terlontar dari bibirnya adalah, "Kamu nggak pa-pa?"
Aurel menggeleng pelan sembari tersenyum tipis. Bibirnya yang pecah-pecah terasa sakit saat tertarik, tetapi gadis itu tetap mencoba bersikap sesehat mungkin di hadapan Felis. "Maaf buat semua kesalahpahaman yang ada. Ya, aku ke sini mau minta maaf, Felis."
Felis menaikkan kedua alisnya bersamaan.
"Kamu... mau dengar ceritaku?"
.
.
.
Maaf ya kalau sampe ke sini feelsnya kurang XD XD aku coba perbaiki di chapter2 berikutnya. Jangan kapok gengs~ kalo lelah boleh ke workku yang lain banyak yang udah tamat muehehehe *promositerselubung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top