15. Berbahagialah
Untuk Felis, akan Aurel lakukan.
.
.
.
Jreengg~
Senyuman Aural mengembang tatkala jemari lentik milik Felis menggenjreng pelan enam senar gitar secara langsung. Laki-laki itu mendongak, membalas senyum Aurel. Mereka berdua berpandangan selama beberapa saat, sebelum laki-laki itu mulai membuka belah bibirnya untuk bernyanyi.
Baby, I'm dancing in the dark with you between my arms
Barefoot on the grass, we're listenin' to our favorite song
When you said you looked a mess, I whispered underneath my breath
But you heard it, darling, you look perfect tonight
Tadi, ketika Aurel memijakkan kaki di halaman depan rumah Felis, Felis tidak sedang duduk menunggunya, melainkan Aurel-lah yang harus duduk menunggu laki-laki itu. Aurel memang ingat Felis berjanji untuk mengajarinya bermain gitar, tapi ia tak pernah menyangka akan benar-benar melihat Felis ke luar rumah sembari menjinjing tas gitarnya tinggi-tinggi. Melihat itu, seketika Aurel melompat kegirangan sembari bertepuk tangan.
"Tahu lagunya?" Felis menopang dagunya di atas badan gitar, memandang ekspresi menggemaskan Aurel yang menggeleng-geleng seperti anak anjing. "Judulnya Perfect. Lagunya bagus. Sekali-kali kamu harus belajar lagu bahasa Inggris juga, Rel."
Telunjuk Aurel bergerak memetik senar gitar paling atas. Gadis itu tertawa kecil, senang atas perlakuannya barusan. "Kamu hebat ya, bisa tahu semuanya."
Kedua alis Felis bertaut menjadi satu. "Maksudnya?"
"Tahu lagu-lagu semua bahasa, bisa main gitar, bisa nyanyi." Senyuman Aurel luntur. Ia menjauhkan tangannya dari gitar Felis. Kesedihan itu merambat, membuat Felis ikut menekuk bibirnya ke bawah seketika. "Andai kehidupan itu bisa ditukar."
"Kamu mau nukar kehidupanmu dengan kehidupanku?" tanya Felis spontan.
Aurel terkekeh kecil. Kepalanya menggeleng, tetapi Felis tahu, pasti gadis itu mengatakan sebaliknya dalam batin. Ah, bagaimana bisa nuansa ini tiba-tiba menjadi sedih? Mana kepala Aurel semakin menunduk dalam lagi. Sebelum gadis itu benar-benar hanyut dalam kesedihan, Felis segera memindahkan gitarnya ke pangkuan gadis itu. Aurel terlihat terkejut.
"Apa ini?"
"Kamu coba main. Katanya mau belajar main gitar, masa mukanya sedih gitu." Felis menggeser duduknya untuk semakin dekat dengan gadis itu. Saat tangannya hendak menyentuh tangan Aurel, gadis itu sudah terlebih dahulu menggunakan tangannya untuk memetik senar gitar. Tangan Felis mengambang di udara, tetapi laki-laki itu lekas menariknya, disusul tawa garing. "Hahaha, bukan gitu caranya. Kamu harus tahu kunci-kunci dasarnya dulu. Tadi aku bawa buku kunciku—tunggu bentar mana—oh ini."
Tiap detail tak Aurel lewatkan. Bagaimana Felis membantunya untuk memahami cara memetik ataupun menggenjreng gitar dengan baik dan benar. Setiap jemarinya menekan sinar yang acap kali membuat tangannya sakit, semakin bersemangatlah Aurel untuk belajar. Gadis itu mendengar Felis dengan baik. Dan Felis begitu sabar menuntunnya. Andai guru seni budayanya di sekolah seperti ini, jelas Aurel tidak akan menggambar pemandangan secara asal-asalan.
Sementara itu, di sisi lain, Felis tak sadar bahwa ia telah terbawa suasana cukup jauh. Jiwa pendidiknya melambung tinggi di saat-saat seperti ini, sampai ia tidak sadar bahwa mulutnya hampir berbusa karena terlalu berkobar-kobar mengajari Aurel. Kalau dipikir-pikir, cukup lama juga ia tidak melakukan hal ini. Terakhir kali ia mengajari seseorang bermain gitar adalah mengajar Manisa. Itupun ia hampir lupa karena terlalu lamanya.
"Harus pindah cepet." Mata Felis lekat memandang tangan kiri Aurel. "Caranya ya harus lebih terbiasa dan banyak latihan. Bukan gitu, Rel. Gini—"
Saat Felis hendak meraih gitarnya, tanpa sadar bahunya menyentuh bahu Aurel. Sentuhan itu tidak keras. Bahkan Aurel tidak menyadarinya. Namun bagi Felis, sentuhan itu cukup keras sampai-sampai jantungnya nyaris copot dan menggelinding jatuh ke tanah.
Ia menolehkan kepala. Dan ia tak menyangka Aurel juga tengah menatapnya.
Entah mata Felis yang salah atau bagaimana, tetapi Aurel tiba-tiba terlihat sangat cantik dalam pandangan matanya. Bukan berarti sebelum-sebelumnya Aurel terlihat jelek. Hanya saja, Aurel terlihat begitu cantik, sangat cantik, sampai-sampai Felis ingin mengatakan sesuatu.
Sesuatu semacam, Rel, kamu cantik. Cantik banget. Aku... suka kamu.
"Rel—"
"Kenapa ya tanganku sakit banget? Mana dari tadi b minornya nggak bunyi." Aurel menatap jari-jarinya sembari meringis. Linu menyerang jarinya tiba-tiba.
Felis terdiam. Tunggu, apa yang baru saja terjadi?
"Fel?"
Felis berkedip beberapa kali. "Ya?"
"Kalau sakit biasa ya?" tanpa menyadari bagaimana kakunya ekspresi Felis sekarang ini, Aurel kembali mencoba beberapa kunci seperti contoh yang ada di dalam buku. "Ini b minornya kenapa nggak bunyi-bunyi? Ternyata susah ya main gitar."
Lo ngapain sih, Fel? Felis memejamkan mata. Bodoh sekali. Sangat bodoh.
"Kamu hebat ya, main apa aja bunyi."
Dalam sekejab, senyuman lebar Felis telah kembali, meski dalam hati laki-laki itu terus merutuki dirinya sendiri. Beruntung Aurel tidak benar-benar memerhatikannya. Bisa-bisa Felis mati kutu. Apa tadi? Felis ingin memukul kepalanya sendiri kali ini dengan jaring kunang-kunang milik Aurel. Bagaimana bisa ia punya sebersit keinginan untuk menyatakan perasaan pada gadis itu?
"Iya, harus terbiasa. Itu jarimu udah bener, tapi ya memang harus sering dilatih aja."
Aurel mencoba menekan kuat tangan kirinya kembali, lalu tangan kanannya mulai menggenjreng gitar. Gadis itu mengembungkan pipi kesal. "Tetep nggak bunyi."
Felis terkekeh sembari mengacak pelan puncak kepala Aurel. "Semangat latihannya, Ubur-ubur! Ayo, kamu pasti bisa!"
Hari itu mereka terlalu asik bermain gitar dan menyanyi, sampai-sampai menganggurkan peralatan untuk menangkap kunang-kunang.
Si Ubur-ubur malam dan kawannya Macan malam, tiba-tiba melupakan kunang-kunang begitu saja. Melodi indah merenggut perhatian keduanya, menemani mereka dalam tawa bahagia.
***
Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, Felis dan Aurel punya pikiran masing-masing yang membuat mereka tak bersuara barang menanyakan kira-kira nanti di kantin mau makan apa atau mau minum apa. Felis, entahlah, gitar memang membuatnya merasa hidup kembali sekaligus membuatnya rindu sampai memikirkannya saja ingin mati. Baiklah, alay, tapi itu nyata. Laki-laki itu tiba-tiba saja mengkhawatirkan masa depannya.
Dan Aurel, ya, ia tengah memikirkan kata-kata Budi yang lalu.
"Aku tadi lihat dia sedih banget di depan ruang kesenian. Ndak tahu kenapa. Kamu hibur dia, ya. Kayaknya dia butuh dihibur."
Aurel berhenti melangkah. Felis yang tidak menyadarinya terus berjalan bersama pikiran yang ruwet bagaikan gulungan arumanis. Gadis itu memandang punggung tegap yang semakin menjauh darinya.
"Felis."
Merasa dipanggil, Felis berhenti. Saat menoleh, ia tak menemukan Aurel di sebelahnya. Lantas laki-laki itu berbalik. Gadis yang memanggilnya tertinggal sejauh kira-kira lima langkah. Namun anehnya Felis tak kunjung mendekat.
"Hm?" sahutnya, masih dalam jarak yang sama.
"Kak Budi bilang, dia lihat kamu sedih di ruang kesenian." Kedua tangannya meremat rok seragam, sebagai bentuk penyaluran kegugupan. Aurel gugup. Ia takut. Bagaimana kalau Felis marah karena ia tiba-tiba bertanya demikian? "Kamu mau ikut ekstrakurikuler musik?"
Felis tersenyum sembari menggelengkan kepala pelan. "Nggak ikut. Ekstrakurikuler... nggak pengin juga. Aku cuma kangen sama Ephypany. Aku kangen main musik lagi, kangen manggung lagi, kangen lihat banyak penonton lagi, kangen semuanya. Masalah aku ingin ikut ekstrakurikuler di sekolah, nggak." Sekali lagi, Felis menggeleng. "Takutnya buang-buang waktu untuk sesuatu yang nggak pasti—maaf, tapi memang nggak bagus sama sekali. Aku udah lihat alat musiknya, benar-benar kacau."
"Maaf kalau lancang, tapi apa rencanamu buat ke depannya?"
"Jangan minta maaf. Justru makasih udah ditanya." Felis menyentuh dada sebelah kirinya. "Plong jadinya, haha. Hm... aku mau masuk ke sekolah seni buat belajar musik."
Mendengar itu, senyum Aurel mengembang. Gadis itu melangkah maju ke arah Felis, tepat berhenti di depannya. Meski harus mendongak untuk dapat melihat wajah Felis yang jauh lebih tinggi darinya, tak apa, Aurel tetap bahagia melakukannya.
Ia terharu hanya dengan mendengar penuturan Felis barusan. Menyedihkan dan mengharukan di saat yang bersamaan. Gadis itu melihat Felis bersinar sebagaimana adanya. Hatinya menghangat, benar-benar tersentuh.
Baby, I'm dancing in the dark with you between my arms
Barefoot on the grass, we're listenin' to our favorite song
When you said you looked a mess, I whispered underneath my breath
But you heard it, darling, you look perfect tonight
Nyanyian Aurel membuat Felis terpana. Laki-laki itu hampir menjatuhkan rahangnya ke jalanan tak beraspal yang mereka pijak. Bagaimana bisa Aurel menghapal lagu dan nada itu, padahal baru semalam Felis menyanyikannya? Jangan bilang Aurel punya wifi di rumahnya sehingga bisa berselancar bebas di youtube. Meski pelafalan gadis itu masih jauh dari kata bagus, tapi nada dan liriknya benar-benar sesuai. Felis ingin menampar pipinya sendri.
"Hebat, 'kan?" Aurel mengacungkan jempol sebagai bentuk apresiasi terhadap dirinya sendiri. "Aku emang bagus kalau menghapal lagu."
"Kamu langsung hapal?" Felis benar-benar tidak memercayainya. "Serius?"
Aurel mengangguk sumringah. "Mm! Kalau kamu sedih, tugasku tinggal nyanyi. Tuh, langsung lupa sedihnya," katanya sembari tertawa menunjuk raut muka Felis. "Bahagia terus, ya!"
Entah apakah Aurel hanya bergurau, yang jelas ia telah berhasil membuat Felis terpukau. Ia terpana pada sesosok gadis cantik di hadapannya.
Diam-diam tanpa sepengetahuan Aurel, Felis menyentuh kembali dada sebelah kirinya, tempat di mana jantungnya berdegup dengan irama tak normal.
Apakah ini salah satu bentuk respon dari perintah Aurel tersebut? Bagian 'Bahagia terus, ya!'.
Mungkin. Bisa iya bisa tidak.
Namun, Felis lebih setuju dengan opsi iya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top