13. Bahagia

Kebahagiaan Nenek begitu sederhana, yakni melihat Aurel mulai berubah ke arah yang lebih baik.

.

.

.

Pagi hari adalah saat udara sedang dingin-dinginnya. Kabut dari atas gunung mulai turun perlahan-lahan. Kedinginan itu memaksa bangkit setiap orang yang bergelung nyaman dalam selimut untuk segera beraktivitas seperti biasa. Beberapa petani di desa sudah lebih dahulu pergi ke sawah. Beberapa ibu rumah tangga sudah lebih dahulu menanak nasi. Beberapa anak sekolah sudah bersiap-siap dengan buku-buku mereka.

Suara krusak-krusuk dari arah dapur membuat kedua alis Nenek menyatu. Wanita yang rambutnya sudah berubah menjadi abu-abu itu berjalan setengah mengendap-endap. Jemari keriputnya menyibak gorden kuning yang sudah bulukan—baiklah, waktunya dicuci, jangan malas!

Terlihat begitu jelas siapa yang tengah mondar-mandir di dalam sana. Cucu semata wayangnya yang sudah terlihat cantik dan rapi dengan seragam sekolah tengah sibuk menata sesuatu ke dalam dua kotak bekal di atas meja. Ditemani senandung lagu Ambilkan Bulan, gadis itu terlihat begitu bahagia menekuni kegiatannya.

"Untuk Felis?"

Pertanyaan Nenek membuat Aurel terkesiap. Gadis itu menatap ke arah Nenek dengan ekspresi kaget yang tidak dibuat-buat. Hendak memekik, tapi Nenek sendiri. Daripada kualat, gadis itu lebih memilih mengulum senyum seraya mengangguk pelan.

"Kamu masak apa?" Nenek berjalan mendekat, melihat nasi goreng dengan taburan telur dadar yang harumnya merebak menggoda. Di sisi kanan dan kirinya ditata potongan timun dan tomat yang tak kalah cantiknya. "Kelihatannya enak, Ndhuk."

"Aurel masak banyak. Nenek nggak perlu nanak nasi lagi." Gadis itu membuka tudung makanan, memperlihatkan nasi goreng dalam mangkok besar. Beberapa lauk pauk tambahan sisa semalam juga terlihat masih bisa dimakan.

Nenek mengulas senyum tipis. "Nenek senang lihat kamu tersenyum, Ndhuk."

Aurel yang terlihat kebingungan dengan pernyataan itu menaikkan kedua alis, sembari tangannya memasukkan dua kotak bekal ke dalam tas. "Aurel biasanya juga senyum 'kan, Nek?"

"Bukan karena Nenek. Tapi karena orang lain," jelas Nenek. Kepalanya yang terlihat lemah terangguk-angguk pelan. "Nenek senang kamu dapat teman baru—eh, teman apa pacar?"

"Hah?!" Aurel melebarkan mata. Ia nyaris menjatuhkan tasnya ke lantai semen. "Pacar apa? Felis bukan pacar Aurel!"

Kerlingan mata Nenek membuat gadis itu seketika membalikkan tubuh salah tingah.

"Nenek ndak pernah bilang Felis, lho. Bisa aja orang lain."

"Ih! Tapi tadi kan yang dibahas Felis!"

Aurel diam-diam merutuki diri. Kenapa pula ia harus salah tingkah kalau memang bukan? Bukankah gelagatnya malah terlihat semakin mencurigakan?

Nenek terkekeh pelan. "Wis, wis, nanti malah telat kamu. Kasihan Felis udah nungguin, lho."

"Ih, Nenek!"

Tuh, 'kan, tadinya ingin menahan diri untuk tidak meneriaki Nenek, tapi sekarang bukan lagi meneriaki, dalam hati Aurel juga jadi merasa jengkel pada Nenek. Terlebih, gara-gara itu, seharian penuh isi kepalanya jadi kepikiran Felis dan Felis saja.

Ini semua gara-gara Nenek!

***

Setiap orang tua yang mengasuh anaknya dari mulai pertama kali lahir hingga dewasa, pasti tahu perubahan sekecil apapun yang terjadi pada anaknya. Entah itu perubahan yang mungkin bersifat negatif, atau justru malah perkembangan yang bersifat positif. Seperti Nenek. Selama ini ia memerhatikan Aurel. Tidak, bukan selama ini, tetapi dari semenjak gadis remaja itu masih setinggi pinggangnya. Nenek masih ingat betul bagaimana Aurel meraung-raung dalam dekapannya, memanggil-manggil nama ibunya yang tidak lagi bernapas.

Gadis yang selalu gemetaran apabila diajak pergi ke pasar. Gadis yang selalu demam apabila didatangi anak-anak desa yang berniat mengajaknya bermain. Gadis yang punya memori kelam dalam hidupnya. Gadis yang malang.

Nenek tidak tahu kapan Aurel akan berubah. Kalau boleh, ia berharap semoga saat cucu semata wayangnya itu pergi ke bukit, kepalanya akan kejatuhan buah kelapa atau bagaimana, kemudian ia akan hilang ingatan. Mungkin seperti itu akan jauh lebih baik. Bisa saja hilang ingatan membuat Aurel lupa dengan semua masa kelamnya. Jahat memang, tapi sepertinya itu lebih baik daripada Aurel yang pendiam dan ketakutan.

Merasa sedari tadi diperhatikan, gadis yang terlihat sibuk mengacak-acak isi lemari pakaiannya itu berbalik dan menemukan neneknya tengah menyandarkan tubuh di ambang pintu kamarnya. Ia tersenyum sebagai respon.

"Nenek belum tidur? Aurel masih milih baju buat pergi ke bukit."

Hati Nenek berdesir mendengarnya. Selama ini Aurel tidak pernah peduli tentang apa dan bagaimana penampilannya, toh orang-orang juga tidak akan mempermasalahkan hal itu. Namun kini, selain sudut-sudut bibir yang mengembang bahagia, Aurel juga memerhatikan hal-hal kecil seperti penampilan.

"Aurel."

"Hm?"

"Suka to sama Felis?"

Mendengar pertanyaan itu, seketika Aurel membeku. Pandangan matanya turun ke lantai. Ia menelan ludah.

"Kalau suka ndak apa-apa, Ndhuk. Nenek senang."

Detik berikutnya, Aurel membalikkan badan, kembali menghadap almari dan mengacak-acak isinya asal. Dari yang semula mengacak-acak karena ingin memilih baju yang terbaik, sekarang justru mengacak-acak karena isi otaknya juga seakan ikut teracak-acak.

"Nggak, kok. Nggak suka."

"Nggak suka?" beo Nenek.

Aurel memejamkan mata gusar. "Bukan itu maksud Aurel. Aurel bukannya nggak suka, Nek. Aurel cuma...," ia menjilat bibirnya yang tiba-tiba kering. "cuma..."

"Cuma?"

"Cuma—"

"Cuma apa?"

"Cu—"

"Aurel!"

Teriakan itu membuat Nenek dan Aurel saling pandang. Iris mereka berdua bertemu. Aurel semakin terlihat salah tingkah. Nenek sudah bersiap untuk kembali menggoda, tetapi keduluan oleh Aurel yang berjalan cepat melewatinya keluar kamar. Sengaja. Aurel sudah tahu kalau Nenek pasti akan menggodanya. Kabur adalah solusi yang terbaik.

Lagipula, ngapain sih Felis malah datang ke rumahnya?! Bukannya mereka sepakat untuk bertemu di depan rumah Felis?! Ah, merepotkan!

***

"Nenek taruh aja piringnya di cucian, nanti pas Aurel pulang, Aurel cuciin."

Nenek hanya bisa mengangguk, sembari ekor matanya terus mengikuti pergerakan Aurel. Gadis itu terlihat tengah merapikan peralatan makannya, bangkit berdiri, lalu menaruhnya ke dalam bak cucian yang sebelumnya telah diisi penuh dengan air. Usai itu, ia pun pamit pergi, tak lupa cium tangan Nenek terlebih dahulu. Setelah kepergian Aurel, diam-diam Nenek merenung.

Benar, Aurel perlahan-lahan telah berubah.

Sikapnya, gaya bicaranya. Gadis itu mulai percaya diri, mulai mengenal dunia luar, mulai tahu yang namanya berteman. Tanpa sadar pandangan Nenek memburam. Satu tetes air matanya lolos mengaliri pipi keriput yang bersinar ditempa cahaya lampu.

Nenek mendongakkan kepala, berharap memiliki kekuatan super sehingga pandangan matanya bisa menembus genteng rumah dan melihat langit malam. "Anak gadismu sudah mulai berubah baik, Ndhuk. Ibu senang."

Usai berkata demikian, Nenek memejamkan mata, membayangkan putri semata wayangnya tengah tersenyum lebar dari atas sana.

"Mawar percaya sama Ibu. Jaga Aurel baik-baik, Bu."

Meski itu bukan suara Mawar sungguhan. Meski itu bukan suara hantu. Meski itu hanya angan-angan Nenek, suara yang ia ciptakan sendiri dalam benaknya, ia tetap bahagia mendengarkannya. Hanya dengan membayangkannya saja sudah lebih dari cukup. Hal itu membuat perasaannya membaik, sekaligus bisa mengobati rasa rindunya akan Mawar.

"BUNDA! BUNDA!"

Nenek mendekap erat tubuh mungil seorang gadis kecil yang ingusnya melebar hampir ke seluruh permukaan wajah. Hatinya teriris melihat pemandangan itu. Bagaimana bisa ia menyaksikan mayat kaku putrinya yang baru dibawa turun dari ambulan sekaligus melihat cucu kecilnya menjerit-jerit memanggili nama sang ibu yang telah tiada.

"Aurel, ini Nenek! Ini Nenek!"

Tak peduli berapa kali tubuh kecilnya digoncang. Tak peduli berapa kali air matanya dihapus. Gadis kecil itu tidak bisa memandang ke arah lain selain mayat ibunya yang mulai mendingin. Ia meronta-ronta dalam dekapan Nenek. Berulang kali ia menendang, memukul, menjerit, tetapi tubuhnya tak kunjung dilepaskan.

Padahal Aurel hanya ingin memeluk Bunda. Aurel hanya ingin melihat Bunda. Kenapa Nenek tidak mengizinkannya?

"Bunda..."

Nenek memeluk erat tubuh mungil yang sudah kelelahan itu. Dalam dekapannya, Aurel terisak-isak menyakitkan. Sebisa mungkin Nenek menenangkannya. Meski tangannya sendiri bergetar kala mengusap rambut panjang si gadis kecil.

"Mulai sekarang Ibu yang akan jaga Aurel, Mawar. Ibu janji, Ndhuk."

Senyuman Nenek mengembang, seiring dengan buliran-buliran bening yang terus berlomba-lomba jatuh dari pelupuk matanya.

"Ibu senang lihat dia sudah mulai berubah, Ndhuk. Mawar, kamu lihat 'kan dari atas sana? Ibu bilang, Ibu senang." Kedua tangannya terkepal erat di atas meja makan. "Dan Ibu yakin kamu pun sama."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top