12. Berubah Perlahan-lahan

Sekarang Aurel sadar, Felis telah membuatnya berubah perlahan-lahan.

.

.

.

Pola kehidupan Aurel masih sama seperti sebelum-sebelumnya, terutama apa yang ia lakukan di sekolah. Berangkat pagi, duduk rapi sendirian di bangku paling pojok dekat jendela, mengikuti pembelajaran layaknya siswa normal pada umumnya, makan dan minum bekal yang selalu ia bawa dari rumah.

Ya, kira-kira seperti itu. Oh, satu lagi. Ia nyaris tak pernah keluar kelas jika tidak ada kebutuhan mendesak seperti ke kamar mandi, pelajaran olahraga, atau menemui guru di luar jam kelas. Membosankan, bukan? Bagi kebanyakan orang.

Setelah memutuskan untuk menjadi teman seorang Felis Leo, Aurel akui hari-harinya memang agak berbeda. Dari semula yang selalu berangkat sendiri, kini ada teman seperjalanan yang ternyata punya segudang cerita untuk dibagikan. Dari yang semula selalu ke bukit sendirian tanpa rasa takut, kini ada teman selain kunang-kunang yang dapat ia ajak berbicara. Dari yang semula selalu duduk makan bekal di kelas sendirian, kini mulai ada yang mengulurkan tangan padanya.

Ia dapat mendengar bisik-bisik kurang mengenakkan dari beberapa anak yang memilih tinggal di dalam kelas daripada pergi makan ke kantin, yang mana semuanya tengah membicarakan dirinya yang ditemui sosok laki-laki tampan.

Aurel menatap uluran tangan itu tanpa berkedip. Tangan besar kuning langsat itu masih mengambang di udara, dan Aurel sama sekali tidak berminat untuk meraihnya. Jangan harap.

Gadis itu mendongak. "Apa?"

Sepasang mata bulat dengan iris kecoklatan itu terkesiap mendapat tatapan demikian. Seketika ia menarik uluran tangannya kembali. "Mau ke kantin?"

"Udah bawa bekal." Aurel rasa ia tidak perlu menjelaskan perihal kotak bekal merah mudanya pada Felis. Benda itu begitu jelas dapat Felis lihat dengan mata kepalanya sendiri. Namun kerutan di dahi Felis membuat Aurel pada akhirnya tetap mendorong kotak bekal itu menggunakan telunjuk. "Udah tinggal separo juga."

"Aku juga bawa." Felis mengangkat tangannya yang satu lagi. Aurel melihat kotak bekal berwarna biru yang sepertinya belum terjamah sama sekali. Felis tersenyum lebar sembari menaik turunkan kedua alis. "Yuk? Nggak usah malu. Kita sama-sama, 'kan?"

***

Aurel seribu kali lipat jauh lebih memilih diam diabaikan seperti patung di dalam kelas. Hidup damai tanpa adanya gangguan adalah satu dari sekian cita-cita yang Aurel rasa hampir bisa ia gapai. Kenapa pula ia setuju dengan ajakan Felis ke kantin? Ia benci menjadi pusat perhatian. Lagipula ada apa sih dengan orang-orang? Kenapa mereka harus menatapnya berlebihan begitu?

Lihat, Felis. Makan dengan tenang. Bisa-bisanya ia mengabaikan tatapan itu sementara Aurel telah kehilangan napsu makan. Bekal makannya yang sejak tadi tersisa separo tak berkurang sedikit pun. Gadis itu hanya mengaduk-aduknya tanpa berselera.

"Nggak makan?" tanya Felis heran. Sedari tadi ia perhatikan, gerak-gerik Aurel terlihat tidak nyaman. Laki-laki itu mendorong pelan kotak bekalnya ke hadapan Aurel. "Mamaku goreng tahu. Mau?"

Aurel menggeleng pelan, melempar senyum tipis pada Felis.

"Halo, Aurel!"

Bangku kayu panjang yang diduduki Felis bergetar, disusul milik Aurel. Mereka berdua sama-sama terkesiap oleh kedatangan Budi dan satu orang laki-laki yang wajahnya tidak asing bagi Felis, tetapi sangat asing bagi Aurel. Gadis itu gelagapan, bingung harus bersikap bagaimana.

"Dadang, sekelas sama kita Fel. Mosok lupa?"

Budi memperkenalkan laki-laki yang duduk di sebelah Aurel. Laki-laki yang memiliki penampilan tidak jauh—mirip—dari Budi. Ia tersenyum ke arah Aurel dan Felis. Felis membalas senyumnya demi sopan santun. Percayalah, ia tidak pernah ingat ada yang namanya Dadang di kelasnya sekarang.

"Kalian berdua ini sama-sama pendiem. Eh taunya memang diem-diem cocok kalau temenan," kata Budi usai memesan dua porsi soto ayam. Laki-laki itu menopang dagunya dengan tangan. "Buat Aurel, boleh dong aku jadi temenmu juga. Kan aku temennya Felis."

"Ikut lah," timpa Dadang. Budi tertawa menanggapinya.

Sementara Aurel, ia diam, tetap mengaduk-aduk makanannya tanpa ekspresi. Budi dan Dadang saling melempar pandang.

"Rel," tegur Felis. Seketika Aurel mendongak. "Kalau diajak bicara itu dijawab."

Aurel menatap laki-laki di hadapannya datar, tetapi tidak meloloskan suara apapun sebagai jawaban, membuat Felis mendesah panjang. Laki-laki itu menaruh sendoknya begitu saja, lalu membalas tatapan datar Aurel. Ajang tatap-tatapan itu membuat Budi dan Dadang tak nyaman. Bahkan kedatangan soto yang aromanya menggoda pun tak mampu membuat mereka berdua merasa layak duduk di tempat itu. Hanya ingin segera cepat-cepat makan dan pergi.

"Rel," tegas Felis sekali lagi. Tidak peduli sampai sejauh mana Aurel akan menatapnya tajam. "Rel—"

"Iya," jawab Aurel singkat.

Tenggorokan Felis terasa tercekat kala melihat gadis itu mulai memaksa masuk suapan-suapan besar nasi ke dalam mulut. Aurel kesal. Felis tahu hanya dengan melihat ekspresinya. Ekspresi yang sama seperti yang pernah Felis lihat di atas bukit sebelum kepalanya berdarah.

Tapi kenapa Aurel harus kesal? Ia kesal karena Felis mengajaknya ke kantin atau kesal karena kedatangan Budi dan Dadang yang mengganggu kenyamanannya?

Apa sebegitu tidak inginnya ia bersosialisasi dengan manusia lain? Felis tidak mengerti.

***

Perjalanan menuju ke atas bukit terasa canggung. Tidak juga. Kecanggungan ini sudah Felis rasakan setelah kejadian tak mengenakkan di kantin. Aurel mendadak berubah menjadi patung lagi. Irit bicara dan menjawab pertanyaan yang Felis lontarkan sekenanya. Laki-laki itu ingin menjambak rambutnya frustrasi. Apa hanya Aurel atau semua perempuan seperti itu?

"Maaf," lirih Felis. Pada akhirnya ia sudah tidak tahan didiamkan terlalu lama.

Malam itu selain suara langkah kaki keduanya yang bergesekan dengan tanah berbatu, ada suara-suara serangga malam yang menyanyi bersahut-sahutan satu sama lain membentuk irama indah. Kali ini Felis perlu berterima kasih dengan para serangga. Setidaknya malam ini ia tidak merasa benar-benar sendirian meski ada Aurel di sisinya.

Aurel mengangguk. "Mm."

Felis menggigit bibir bawah. "Masih marah?"

Aurel menggeleng. "Nggak."

Begitu sampai di lokasi, seperti biasa mereka berdua menangkap kunang-kunang yang beterbangan bebas di udara. Namun tak seperti malam-malam sebelumnya, Felis melihat Aurel jarang tertawa. Gadis itu hanya tersenyum beberapa kali saat Felis melakukan hal-hal konyol. Felis sih berharap dengan begitu mood Aurel akan membaik, tapi rupanya ia sudah kelewatan. Buktinya sampai sekarang mood Aurel tak kunjung membaik. Wah, Felis benar-benar mengacaukan hari Aurel.

Hingga keduanya duduk di atas batu pun, Felis tetap tak bisa membuat mood Aurel membaik. Rasa bersalah kian menyelimutinya. Namun laki-laki itu terlalu pintar untuk menyembunyikan ekspresi, seolah ia tidak melakukan kesalahan apa-apa. Lain kali mungkin ia perlu mempertimbangkan bakatnya itu untuk masuk ke akademi akting.

"Boleh nanya?"

Apa boleh buat. Melawak pun percuma. Yang bisa Felis lakukan adalah bersikap biasa. Mungkin dengan begitu mood Aurel akan membaik lama-kelamaan. Benar, hanya perlu waktu untuk menyembuhkannya.

Felis memandang kunang-kunang yang menari-nari bebas di dalam toples. Sementara Aurel lebih memilih memandang pemandangan di hadapannya.

"Boleh."

"Boleh tahu nama panjangmu?"

Felis tidak yakin tentang hal ini. Selama ini ada yang mengganjal dalam pikirannya. Sesuatu yang membuatnya selalu berpikir—walau mungkin tidak terlalu penting—sebelum memejamkan mata untuk tidur. Dan jika jawabannya sesuai dengan apa yang ia pikirkan, serius laki-laki itu benar-benar akan bertepuk tangan.

Aurel terdiam sejenak, sebelum suaranya kembali terdengar mengalun lembut di telinga Felis, "Aurelia Aurita."

Tepat! Felis bertepuk tangan dan berseru heboh. Seketika Aurel menatapnya dengan dahi berkerut.

"Ubur-ubur! Kayak yang aku pikirin selama ini." Felis menunjuk wajah Aurel menggunakan telunjuk. "Kok bisa, sih? Lucu banget. Dapet inspirasi nama dari mana?"

Reaksi Aurel agak mengejutkan Felis. Gadis itu tersenyum, jauh lebih tulus dari sebelum-sebelumnya. "Bunda yang kasih. Bunda suka sama binatang."

"Bundamu waktu sekolah pasti jurusannya IPA," sela Felis. Laki-laki itu terkekeh mengingat ibunya yang ada di rumah. "Mamaku tamatan SMK. Cuma iseng baca-baca di tabloid, terus jadi deh namaku. Felis Leo. Padahal nggak ada basic IPA sama sekali."

"Macan?"

Felis mengangguk. "Rawwwrrr! Serem nggak?"

"Nggak." Aurel tertawa kecil. "Tapi kenapa nama kita bisa sama?"

Jari Felis menjentik keras, seolah Aurel punya pemikiran yang benar-benar sama sepertnya. Dan memang pemikiran gadis itu sama seperti pemikiran Felis. Seperti nama mereka yang sama.

"Nah itu. Bisa samaan gitu." Felis mendongakkan kepala, berpikir. "Hm... Takdir mungkin? Menurut kamu gimana?" laki-laki itu kembali menatap Aurel.

Aurel tidak menjawab. Ia juga tidak tahu.

Namun dalam hati gadis itu tersenyum seraya membatin, Takdir mungkin.

Benar. Siapa yang tahu bagaimana takdir akan bekerja? Seperti apa yang terjadi pada Aurel sekarang ini. Siapa yang dapat menduga bahwa ia si patung berjalan akhirnya bisa mengenal Felis dan perlahan-lahan mulai berubah.

Aurel tidak ingin berubah. Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan berubah. Kapan Aurel pernah setuju dirinya ingin berubah?

Meskipun begitu, kedatangan Felis memang mulai merubah perlahan-lahan apa yang ada dalam diri Aurel.

Aurel boleh tidak ingin berubah, tetapi kini ia sadar, Felis telah membuatnya berubah perlahan-lahan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top