11. Memulai Sebuah Cerita
Mungkin Aurel tidak sadar, Felis perlahan telah mengubah isi hatinya.
.
.
.
Aurel duduk termenung di atas kasur. Pandangan matanya seolah kosong, tetapi isi otaknya terlalu penuh, memikirkan seluruh rentetan kejadian tak terduga yang bisa-bisanya ia alami. Benar, bagaimana bisa ia mengalami semua hal itu?
Hari ini lumayan melelahkan—ah ralat, terlalu melelahkan. Hari yang sangat panjang ini akhirnya berhasil ia lalui. Ia tidak akan mengatakan bahwa hari ini adalah hari tersialnya, seburuk apapun hari ini. Aurel adalah satu dari sekian miliar manusia di dunia yang percaya bahwa selama bisa dilewati dengan baik, kesialan dapat mendatangkan kebaikan. Ia ingin menepuk tangani dirinya sendiri.
Apakah kejadian tadi sore dapat dikatakan sebagai kejadian yang baik, Aurel tidak tahu. Namun yang jelas, sekarang ia sudah bisa duduk di atas kasur tanpa rasa bersalah yang membuat napasnya terasa begitu berat. Mungkin nasihat Neneknya sedikit banyak telah membantu. Ya, pasti.
Gadis itu perlahan menyetuh dada sebelah kirinya. Ia dapat merasakannya, getaran itu. Ada yang aneh di dalam sana. Ada yang berdetak dengan cepat.
"Tapi kenapa?" ia menatap jaring dan tongkat yang disandarkan di pojok ruangan di balik pintu yang tertutup, lalu beralih menatap toples beningnya yang ada di atas meja belajar. "Kenapa tiba-tiba...?"
"Iya aku mau. Ayo kita berteman."
Aurel memejamkan mata rapat-rapat sembari merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia mengatakannya sembari tersenyum seperti itu? Bodoh. Masih begitu membekas dalam ingatannya ekspresi Felis saat mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya. Laki-laki itu terlihat terkejut dan tidak percaya, walau pada akhirnya tetap tersenyum juga.
"Peraturan pertama," kata Felis mantap. Aurel mengerutkan dahi melihat jari telunjuk yang persis ada di depan wajahnya. "Pergi menangkap kunang-kunang bersama."
"Apa?"
Aurel tidak salah dengar, 'kan?
"Pergi menangkap kunang-kunang bersama," ulang Felis. "Nanti malam. Aku tunggu di depan rumah, oke?"
"Tapi—"
"Oke, temanku?"
Aurel terdiam, menatap laki-laki dengan cengiran bahagia di hadapannya dengan heran. Sebahagia itukah Felis? Memangnya ada apa dalam diri Aurel? Ia tidak kaya. Pintar juga tidak. Jangan tanya lagi masalah menyenangkan, sudah pasti nilai Aurel nol.
Tapi baiklah. Ia tidak mau membuat laki-laki yang sudah merubah panggilan yang sebelumnya lo-gue menjadi aku-kamu itu merajuk lagi. Percayalah, telinga Aurel tidak nyaman dengan nada lo-gue milik Felis. Tidak bersahabat sama sekali.
Gadis itu menghela napas. "Oke."
***
"Satu lagi yang itu!"
Aurel mengayunkan jaringnya ke atas, tepat di mana Felis menunjuk satu kunang-kunang berukuran agak besar. Begitu Aurel berhasil menangkap makhluk bercahaya itu, Felis secara spontan membuka sedikit toples dan membiarkan si mungil masuk ke dalam bersama kawan-kawannya yang lain.
"Beneran udah?" Felis menyodorkan toples itu pada Aurel yang tersenyum bahagia. "Cuma enam loh."
"Biasanya cuma ambil lima, kok." Aurel menerima toples itu, melempar senyum tipis pada Felis. Ini hari pertama mereka menangkap kunang-kunang bersama, juga hari pertama mereka berkomunikasi tanpa berat hati. Wajar jika Aurel canggung—sangat canggung.
"Duduk di sana, yuk!"
Felis mengajak Aurel duduk di atas batu besar, batu yang menjadi teman pertama Felis di atas bukit ini. Batu itu begitu berarti bagi Felis. Pertama, batu itu membantunya bersembunyi saat nyaris ketahuan mengintip Aurel. Kedua, batu itu membuatnya bisa berkomunikasi dengan teman-temannya yang ada di kota. Ketiga, batu itu tempat di mana ia selalu memandangi Aurel bersama kunang-kunang.
Keempat, batu itu menjadi tempat pertama di mana ia bisa duduk berdua dengan Aurel.
Aurel menaruh toples di antara dirinya dan Felis. Mereka berdua duduk diam menatap ke depan. Angin dingin yang berembus menerbangkan anak rambut Aurel dan Felis.
"Pernah duduk di sini?"
Aurel menolehkan kepala, menatap sisi samping wajah Felis yang begitu sempurna. Ia tidak pernah melihat ada manusia setampan itu sebelumnya. Di desa ini tidak ada yang memiliki paras setampan Felis setahunya. Haruskah ia bersyukur memiliki teman pertama yang tampan?
"Nggak, Kak." Aurel menggeleng. "Nggak suka lama-lama di sini. Takut terlambat sekolah."
"Kak?" Felis melempar nada protes. "Felis Leo. Pilih yang mana aja asal bukan Kak. Ngerti, Rel?"
Meski awalnya ragu, tapi gadis itu tetap mengangguk.
"Omong-omong, nggak takut hantu ke sini jam segini?"
Pertanyaan Felis membuat Aurel mendengkuskan tawa aneh. Seketika Felis menoleh ke arahnya. "Apa yang harus ditakuti dari hantu?" Aurel balik bertanya.
Laki-laki itu berpikir selama beberapa saat. Ia mengendikkan bahu. "Serem, mungkin?"
Aurel menunduk, menatap dua kakinya yang menggantung. Andai Felis tahu, manusia jauh lebih menyeramkan dari hantu. Manusia adalah makhluk paling menyeramkan di muka bumi ini. Manusia adalah...
Tanpa sadar kedua tangan Aurel mengepal.
Felis yang tidak menyadarinya kembali melontarkan pertanyaan, membuat gadis itu terkejut dan buru-buru mengendurkan otot-otot tangannya. "Kenapa harus kunang-kunang? Abis ditangkap emangnya diapain? Dibikin peyek?"
Aurel terkekeh seraya menggeleng. "Dilepasin lagi, tapi di depan rumah."
"Kamu hobi banget nangkep kunang-kunang gini?" Felis menurunkan punggungnya. Laki-laki itu tidur bersandar di atas permukaan batu yang dingin. Ia menggunakan dua telapak tangannya sebagai sandaran kepala. "Kok bisa?"
Melihat Felis melakukan itu, Aurel juga ingin mengikutinya, tapi rasa canggungnya lebih menguasai. Gadis itu memilih diam, menatap ke depan, ke arah pemandangan lampu kelap-kelip desa yang terlihat indah dari atas sini. "Biar selalu inget Bunda."
"Bunda?" alis Felis naik memandang punggung mungil itu. Punggung yang terlihat kedinginan tetapi tak ingin dijamah untuk dihangatkan.
"Mm." Aurel mengangguk pelan. "Bunda yang ngajarin aku untuk berbaur sama keadaan di sekeliling. Bunda suka sama hewan, terutama kunang-kunang. Orangnya cerewet, tapi asik."
"Bunda di mana sekarang?"
Tidak seharusnya Felis menanyakan hal itu.
Lagipula kenapa mulutnya begitu tidak sopan?!
"Sudah meninggal."
Tuh, 'kan!
Felis membeku. Seketika dirinya dirundung perasaan bersalah. Dasar mulutnya kurang ajar asal ceplos saja tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan otak. Sekarang ia jadi repot harus memikirkan kata-kata ungkapan permintaan maaf kepada Aurel. Tolong, ini baru satu hari dan Felis nyaris mengacaukan semuanya.
"Rel, aku—"
"Cuma dengan gini aku bisa ingat terus sama Bunda. Aku lupa gimana senyumnya dulu. Biar inget, harus lihat foto. Tapi kalau lihat foto terus jadi sedih. Cara satu-satunya mengingat Bunda sambil berbahagia ya..., main sama kunang-kunang."
Felis bisa melihat pergerakan tangan gadis itu yang terangkat untuk menyeka pelan wajahnya. Tidak salah lagi, Aurel pasti menangis. Ia terpana hingga nyaris tidak berkedip. Si gadis misterius—aneh—yang tidak berekspresi... Felis melihatnya menangis.
Hari ini Felis memilih memakai jam tangan daripada membawa ponsel. Ia hanya tidak ingin ponselnya berisik diserang notifikasi sementara ia tengah berduaan bersama Aurel. Lagipula, akhir-akhir ini ia juga tidak bermain ponsel. Selain tidak ada sinyal, sisa-sisa harinya juga sibuk untuk sekolah dan mengerjakan tugas, sebelum dini harinya pergi ke tempat ini.
Felis menegakkan punggung. Ia memperlihatkan pergelangan tangan kirinya kepada Aurel. "Udah hampir jam tiga. Pulang, yuk."
Aurel mengangguk, buru-buru turun dari atas batu. Begitu sampai di bawah gadis itu terkejut seketika teringat sesuatu. "Oh, toples!" ia mendongak ke atas, ke tempat di mana toples kunang-kunangnya berada. Rupanya Felis sudah memegang toplesnya.
"Kulepas di sini aja, ya?"
"Eh jangan!"
Terlambat. Felis sudah membuka tutup toples itu. Seketika kunang-kunang di dalamnya beterbangan bebas ke luar toples. Pemandangan yang begitu indah. Momen seperti ini seharusnya diabadikan, tapi Felis tidak membawa ponsel maupun kamera. Ia hanya dapat melihatnya secara langsung.
Ah, benar. Mengabadikan lewat mata secara langsung jauh lebih berharga walau tidak selamanya memori otak dapat mengingat.
"Kok dilepas di sini?" protes Aurel.
Felis berpura-pura tidak mendengarnya. "Nah, kunang-kunangnya udah pulang. Saatnya kita pulang juga! Oh iya, nanti berangkat sekolah bareng, ya!"
***
"Mas Bud. Aku akhir-akhir iki sering lihat Aurel terus di luaran. Beneran deket sama Mas Felis toh?"
"Felis!"
Seketika senyuman Budi luntur. Tangannya yang semula melambai semangat ke udara, turun begitu saja. Tepat beberapa meter di depannya, ia melihat Felis berdiri berhadapan dengan Aurel. Dua orang itu terlihat sibuk bercengkrama sampai tidak sadar ada sosok Budi yang tengah berjalan ke arah mereka.
Serius akhirnya Aurel dan Felis benar-benar berteman? Budi lebih percaya ia tengah bermimpi sekarang ini.
Hingga ia mendengarnya sendiri dari bibir Felis pun, Budi masih lebih percaya ia tengah bermimpi.
Nada suara Erna mengandung bibit-bibit tidak suka. Rungu Budi menangkapnya seperti itu. Laki-laki itu memilih tidak menjawab. Namun ia berharap semoga Erna bisa mendapatkan jawaban dari senyum yang ia tampilkan.
Karena ia sendiri juga masih tidak percaya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top