09. Darah, Rasa Bersalah, dan Kebahagiaan

Aneh, kepalanya terluka, tapi ia terlihat begitu bahagia.

.

.

.

Pagi itu Budi terkejut dengan kehadiran Felis yang sudah beseragam lengkap, berdiri di depan halaman rumahnya sembari sibuk menggesek-gesekkan ujung sepatu ke atas tanah, seperti tengah menggambar sesuatu. Begitu laki-laki itu menyadari kehadiran Budi, seketika ia menghapus gambaran—entah apa itu—di tanah dengan cepat.

Budi menolehkan kepala saat melihat tatapan Felis seperti mencari-cari sesuatu di belakang punggungnya. Namun Budi tidak menemukan apa-apa selain pohon bambu yang tertanam kokoh. Kedua alisnya bertaut menjadi satu. Bahkan hingga mereka sudah dalam setengah perjalanan menuju sekolah, Budi masih bertanya-tanya apa yang membuat Felis begitu ingin tahu.

"Kamu ndak tidur semalaman?" tanya Budi, mencoba memecah keheningan. Ia tidak terbiasa dengan suasana yang tenang seperti ini.

Felis menggeleng sebagai jawaban. "Tidur, kok."

"Oh."

"Bud," panggilnya, membuat Budi menoleh. Dari sisi ini, Budi sebagai laki-laki pun setuju bahwa pahatan Felis begitu estetik dilihat dari arah samping.

"Opo?"

Awalnya Felis ragu untuk bertanya, tapi rasa ingin tahunya terlalu mendesak minta dikeluarkan, menciptakan perasaan tidak nyaman dalam batin. "Aurel...," Felis menjilat bibir, sembari meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak perlu takut bertanya perihal gadis itu pada Budi. "emang sering nggak masuk sekolah? Gue nggak pernah lihat dia berangkat sekolah. Pulangnya juga nggak pernah kelihatan."

"Memang begitu." Budi tak perlu waktu lama untuk menjawab pertanyaan itu. "Wajar sih kalau kamu tanya."

"Hah?" Felis menoleh ke arah kawan seperjalanannya itu. Ia mengerutkan dahi tak mengerti. "Emangnya begitu gimana?"

Budi memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, berpose sekeren mungkin. "Dia itu berangkat sekolahnya cek puagi pagi subuh gitu, terus pulangnya sore hari." Budi menghela napas. "Kan sudah kubilang toh Fel kalau dia itu aneh."

"Aneh gimana?"

"Ya aneh. Kamu tahu sendiri malam itu."

Tidak. Felis tidak tahu.

Bagi Felis, Aurel bukanlah gadis aneh seperti yang Budi bilang. Bagi Felis, Aurel adalah gadis yang unik, teramat unik. Terserah mau Budi dan orang-orang satu desa mengecap si gadis penangkap kunang-kunang sebagai gadis yang aneh atau apa.

Karena seaneh-anehnya tingkah Aurel yang pernah Felis tahu, hal itu tetap membuatnya tidak setuju dengan perkataan Budi.

***

Malam itu Felis tidak berencana untuk mengusik Aurel lagi di atas bukit. Sejujurnya ia sendiri—entah kenapa—begitu yakin kalau si Aurel memang tidak berencana pergi ke bukit lagi malam ini pasca kepingsanannya. Jadi Felis memutuskan untuk belajar cepat, hanya membaca kilat poin-poin materi yang benar-benar belum dipahaminya, kemudian segera tidur. Mama yang diam-diam menyelinap masuk ke kamarnya sampai dibuat terheran-heran.

Tumben, batin Mama malam itu ketika mendengar dengkuran Felis.

Tidur cepat membuat Felis bangun lebih awal dari biasanya. Laki-laki itu sudah berpakaian rapi, sudah siap di meja makan menunggu telor ceplok Mama untuk sarapan. Sesekali Felis melempar senyum pada Nenek yang melihatnya dengan pandangan heran.

"Tumben sarapan," komentar Nenek. "Biasanya kudu bawa bekal soale takut terlambat sekolah."

"Sarapannya juga dicepetin kok, Nek," jawab Felis, melirik jam dinding. Kakinya bergerak-gerak cemas di bawah meja, menimbulkan getaran aneh yang membuat Nenek tidak nyaman. "Ma! Masih lama ya telornya? Felis buru-buru ini!"

"Ini udah! Sabar dong!" Mama datang, menaruh piring yang berisi tiga telor ceplok panas ke atas meja. Felis mengambil satu dan segera memakannya lahab. "Pelan-pelan atuh, Felis, nanti keselek! Lagian kok berangkat sekolah jam lima gini apa nggak serem."

"Jam lima seperempat," ralat Felis, meneguk air putih. Laki-laki itu berdiri dan pamit untuk berangkat ke sekolah.

Kedua mata Mama membulat melihat piring kosong milik Felis. Mama hendak melempar protes tapi sosok Felis sudah menghilang di balik pintu. "Eh? Cepet banget ini kamu nggak kunyah apa gimana—loh ya ampun udah pergi aja anaknya."

***

"Selamat pagi, Aurel."

Ini pertama kali dalam hidupnya, di pagi-pagi buta seperti ini, Aurel harus merelakan jantungnya nyaris meledak mendengar sapaan itu. Ia mendongakkan kepala dan menemukan Felis, si laki-laki cari perhatian, sudah menghadang langkahnya sembari melambaikan tangan sok akrab. Tidak peduli dengan etika kesopanannya yang sudah merajalela dengan nilai minus, Aurel melanjutkan perjalanan melewati laki-laki itu tanpa perlu membalas.

Dan seperti biasa, Felis mengekorinya. Bukan mengekor kalau boleh jujur. Awalnya Felis berniat untuk berjalan beriringan dengan gadis itu, tapi dasar Aurel yang selalu mempercepat langkah acap kali Felis berhasil menyamai langkah kakinya.

"Ternyata kamu beneran adik kelasku, lho. Kaget, nggak? Kaget, nggak?"

Pandangan Aurel tetap lurus ke depan, ke arah jalanan belum diaspal yang tertutup kabut berwarna putih.

Felis terkekeh, menyisir dua sisi rambutnya ke belakang dengan gaya paling menjijikkan yang pernah Aurel tahu. Aurel hanya tahu, bukan berarti ia melihat—apalagi melirik. "Bilangin makasih sama neneknya. Kalau nggak dikasih tahu juga mana tahu 'kan kembaran Nick Jonas ini."

Aurel semakin mempercepat langkah kakinya.

"Kok cepet banget? Pelan-pelan dong, santai aja nggak bakal telat juga!"

Aurel tidak peduli. Ia hanya peduli agar manusia berisik itu lenyap sekalian dilahab kabut dingin. Dengan begitu ia bisa berjalan dengan penuh damai.

***

"Ayo, Fel!" Budi berdiri, menggendong tasnya setelah selesai merapikan beberapa bukunya di bawah loker meja. Anak-anak lain sudah berhamburan ke luar kelas. Berhubung anak di kelas mereka tidak banyak, jadi dalam hitungan menit saja kelas sudah kosong.

Felis yang masih duduk-duduk santai dengan meja penuh buku berserakan mendongakkan kepala dengan dahi berkerut. "Ayo kemana?"

Pertanyaan yang membuat Budi juga ikut mengerutkan dahi. "Pulang."

"Ohhh, lo duluan aja." Felis melempar senyum seraya melambaikan tangan dengan gestur mengusir. "Gue mau stay dulu di kelas."

"Mau ada apa di kelas? Kamu daftar eskul?"

Felis menggaruk kepala, mencoba mencari alasan untuk si manusia tidak peka. "Gue mau piket," katanya, usai melirik tiga buah sapu yang ada di belakang kursi guru. "Anak-anak udah pada pulang, nggak ada yang piket. Kasihan."

"Oh. Ya udah kalau gitu, nanti kubilangin orang tuamu kalau papasan."

"Sip."

***

"Selamat sore, Aurel."

Aurel menatap malas manusia caper yang berdiri menghadang depan pintu kelasnya dengan gaya sok keren. Gadis itu diam sejenak menatap lurus ke depan, sama sekali tidak ingin melihat mata orang yang paling ingin ia tenggelamkan dari muka bumi ini sekarang. Memilih tetap mengacuhkan Felis, Aurel menunduk, menyelinap keluar lewat bawah tangan Felis yang telah memblokir jalannya dari ambang pintu.

"Aku temenin pulang sekolah, ya? Biar nggak sendirian." Felis bersusah payah menyamai langkah kaki gadis itu. Biasanya dalam film, pemeran utama wanitalah yang selalu kesusahan menyamai langkah kaki si pemeran laki-laki. Ini malah kebalikannya.

Semakin diabaikan, kelakuan Felis semakin menjadi-jadi. Entah apakah ini mungkin karena sejak awal Aurel telah memiliki pemikiran yang salah. Ia pikir dulu membiarkan Felis terus menerus mengusiknya tanpa perlu menanggapinya adalah ide yang tepat—setidaknya baik. Dulu ia pikir selama Felis tidak menyentuhnya, maka Aurel akan tetap aman. Tahunya si manusia cari perhatian malah semakin melunjak.

Keputusan Aurel untuk tidak pergi naik bukit lagi pasca kejadian memalukan itu juga ternyata adalah keputusan yang buruk. Sangat buruk. Seharusnya Aurel bisa menduga kalau Felis cukup pintar untuk mampu menebak isi pikirannya. Bisa dilihat dari laki-laki itu yang sering berkeliaran di sekitarnya, mulai dari pagi hari saat berangkat sekolah, sore hari saat pulang dari sekolah, hingga nyaris tiap waktu laki-laki itu mondar mandir di depan rumahnya.

Sudah begitu neneknya sangat baik menjamu mereka pula, si laki-laki caper dan temannya yang punya tatapan mirip seperti anak anjing itu. Gara-gara mereka Aurel selalu bersembunyi di dalam kamar terus setiap kali mereka datang berkunjung.

Rasa bencinya semakin membuncah, ditambah cengiran konyol itu.

Sejauh mana si laki-laki cari perhatian bisa membaca isi pikiran Aurel? Bagaimana bisa sekarang ia duduk santai di teras rumahnya, seolah menanti—tapi sepertinya memang iya—Aurel yang hari ini memutuskan untuk kembali ke atas bukit?

"Selamat malam—eh pagi, pagi banget."

Sapaan yang terasa membakar telinga Aurel. Aurel berjalan cepat mendahuluinya. Buku-buku tangannya hingga memutih karena memegang tongkat terlalu kencang. Semoga hal yang tidak Aurel inginkan tidak terjadi. Semoga saja.

"Widih, kunang-kunangnya langsung muncul nih nyambut kamu."

Aurel meletakkan toples dan tongkatnya ke tanah seperti biasa dan mulai mengayunkan jaringnya ke udara. Lima persen perasaannya membaik saat melihat kunang-kunang, walau sisa banyaknya telah direnggut oleh manusia caper itu.

"Keren. Aku mau satu dong!"

Jaring Aurel berhasil menangkap lima ekor. Gadis itu buru-buru memasukkannya ke dalam toples.

"Satu aja, ya!"

Aurel melanjutkan lagi kegiatannya, masih tetap mengabaikan Felis, meski hatinya sangat dongkol.

"Yang itu tuh! Agak atasan dikit!"

Aurel merasakan laki-laki di sebelahnya semakin mendekat. Perasaannya mulai tidak enak. Apakah harapan Aurel akan ia gagalkan sendiri? Apakah ia akan mewujudkan hal yang tadinya ia semogakan tidak terjadi? Di tempat ini?

"Rel! Itu tuh, Rel! Bukan yang itu!"

Tangan Aurel yang bebas terkepal erat. Sepertinya iya.

"Rel! Itu tuh! Lihat nggak, sih?"

Ddak!

"JANGAN GANGGU!"

***

Hening.

Selain suara jangkrik malam dan suara napas Aurel yang ngos-ngosan penuh kobaran api dendam, rungu Felis tidak mampu mendengar suara-suara lain lagi.

Ada sesuatu yang mengalir dari kepalanya. Tidak banyak, tapi cukup kerasa. Keringat? Felis mengusapkan telunjuknya ke dahi. Begitu ia menarik tangannya, bukan hanya dirinya saja yang terkejut, gadis yang menjadi tersangka itu juga tak kalah terkejut.

Felis menatap telunjuknya selama beberapa saat, mencoba mencerna apa yang terjadi, apa yang telah Aurel lakukan padanya.

"M-maaf," cicit Aurel, nyaris mirip seperti suara embusan angin malam yang begitu dingin.

Felis mendengkus, terkekeh begitu sinis. "Oke, gue paham."

"M-maaf—"

"Lo benci gue. Gue paham."

"A-anu—"

"Stop!" Felis mengangkat satu tangan. "Gue-paham-oke?"

Laki-laki itu membalikkan badan, berjalan menjauh dengan langkah cepat, meninggalkan Aurel yang berdiri gemetaran tanpa tahu harus berbuat apa.

Maaf.

Untuk saat ini, Aurel hanya bisa membatin, sembari menatap punggung yang terlihat begitu kesal itu menjauh. Si manusia caper pasti sangat marah.

Kelihatannya begitu.

Namun Aurel tidak tahu, Felis diam-diam tersenyum penuh kemenangan. Laki-laki itu berbahagia tanpa sepengetahuannya. Aneh memang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top