08. Hello, Aurel

Luar biasa, seorang Felis Leo pada akhirnya mulai menaruh perhatian penuh pada si gadis misterius.

.

.

.

Seiring dengan waktu menelan hari demi hari, rasa takut Felis akan suasana malam di atas bukit juga semakin bernilai nol besar. Sejak awal Felis memanglah bukan tipe orang yang takut secara berlebihan. Dan sekarang, Felis Leo bahkan mulai melupakan rasa paham akan takut itu sendiri.

Alasan tatkala tatapan tajam si gadis misterius seolah menodongnya pun kian bertambah banyak. Mulai mencari sinyal, mencari udara segar, mencari suasana baru, menghindar dari keramaian, hingga menghapalkan materi sekolah. Tidak peduli betapa risihnya si gadis misterius pada keberadaannya, yang penting Felis tetap bisa melihatnya.

Melihat si gadis misterius tertawa bermain bersama kunang-kunang.

Lalu tiba-tiba gadis itu menoleh padanya.

Ekspresi Felis seketika berubah. Ia berpura-pura batuk. Jempolnya asal menggeser layar ponsel. Mampus, ketahuan.

Ini sudah kali kesembilan Felis melakukan hal ini. Dan ini juga sudah kali kesembilan gadis itu menatapnya penuh curiga.

Line!

Terima kasih Tuhan, notifikasi masuk telah menyelamatkan hidup Felis!

[MANISa Banget]

00.30
Telf yuk?

[Felis Leo]

00.31
Emg nggak tidur? Biasanya kamu tidur di bawah jam 12

[MANISa Banget]

00.32
Kangen :(
Mau telffff

[Felis Leo]
Yaudah ayo

MANISa Banget is calling...

Belum genap jempol Felis menggeser tombol hijau, sudut matanya menangkap gelagat si gadis tengah bersiap-siap untuk pergi. "Eh mau kemana?"

Sesuai dugaan, Felis tidak menerima jawaban.

Jempolnya menggeser tombol merah. Mematikan panggilan.

MANISa Banget is calling...

"Aduh..." Felis menatap layar ponselnya yang menjerit-jerit minta diangkat dan punggung si gadis misterius yang mulai menjauh bergantian. Ia menggigit bibir bawah gelisah. Dilema mulai menyerangnya. Pilih mengangkat atau menyusul.

Dan pilihannya sudah ditentukan.

Felis menolak panggilan itu.

"Lain kali aja lah." Laki-laki itu turun melompat dari atas batu, berjalan cepat menyusul si gadis misterius. "Tunggu!"

***

Lima ekor kunang-kunang sudah masuk ke dalam toples plastik bening yang pinggirannya banyak dilubangi. Gadis itu tersenyum ketika memajukan wajahnya, menatap kunang-kunang dari arah dekat. Mereka terlihat begitu cantik dan bersinar.

"Cantik, ya..."

Mendengar suara yang tak asing, senyuman gadis itu seketika luntur. Ia segera menaruh toples ke atas tanah dan menegakkan punggungnya kembali. Dari sudut matanya, ia dapat melihat si laki-laki cari perhatian tengah meraih toples kunang-kunangnya. Ingin sekali ia merebut toples itu dari tangan si laki-laki caper, tapi ia takut itu hanyalah bual-bualannya saja supaya dapat perhatian.

"Kamu udah berapa lama punya hobi ginian?"

Ia kembali meraih jaring, pura-pura menangkap kunang-kunang lagi.

"Unik juga hobi kamu. Kebanyakan anak-anak seumuran kita mah biasanya demen Korea."

Kenapa ngomong terus, sih?! Bikin kesal! Jaringnya terus terayun-ayun ke udara, sementara hatinya menjerit gemas. Sudut matanya terus mengawasi gerak-gerik si laki-laki caper, dan segera mencari kesempatan untuk merebut toples miliknya.

"Kamu suka Korea, nggak?"

Tidak ada jawaban. Jangan berharap.

Akhirnya toples itu kembali ke tanah. Tak menyia-nyiakan kesempatan, gadis itu segera meraih toplesnya dengan tempo luar biasa cepat. Tangan lainnya yang bebas digunakan untuk meraup jaring dan tongkat. Dengan kekuatan ekstra, gadis itu mulai berlari meninggalkan si laki-laki cari perhatian.

"Eh, tunggu!"

***

Selama tiga minggu lebih sekian berturut-turut, Felis mempercepat tempo durasi belajarnya. Ia yang dari semula ingin menjadi siswa ambisius, kini mulai berubah pikiran menjadi siswa pada umumnya sepertinya ide yang jauh lebih baik. Yup, belajar seperti biasa, tanpa ada keinginan yang menggebu-gebu. Siapa lagi yang membuatnya berubah pikiran kalau bukan si gadis misterius.

Rupa-rupanya selama ini Papa dan Mama selalu memerhatikan, terlebih Mama. Setiap malam pintu rumah selalu berbunyi, seperti ada yang keluar masuk. Ternyata putra semata wayang mereka diam-diam menyelinap keluar. Entah apa yang dilakukan Felis, berburu hantu mungkin.

"Mama perhatiin akhir-akhir ini kamu sering main ke luar malam-malam? Ngapain?" tanya Mama yang tiba-tiba sudah berdiri bersandar di ambang pintu.

Felis cukup terkejut, sesaat bingung harus menjawab bagaimana. Namun pada akhirnya ia memutuskan berkata jujur, "Berburu—"

"Hantu?"

Felis memutar bola mata. "Bukan lah, Ma. Berburu kunang-kunang."

Benar 'kan alasan Felis?

"Eh?" Mama menegakkan punggung. "Ada kunang-kunang?"

Felis bangkit berdiri, meraih ponsel di atas almari kecil tempat menyimpan buku-buku sekolahnya. "Ada lah. Mama mau? Nanti Felis bawain satu ekor."

"Kamu mau pergi lagi?" Mama menghadang Felis yang hendak keluar. "Ini udah malem, Felis, jangan aneh-aneh. Besok kamu sekolah!"

Felis berhenti, menatap Mama dengan pandangan ayolah-Ma-biasanya-dulu-Felis-juga-sering-pulang-subuh-sehabis-manggung.

"Papa juga khawatir, Felis. Nenek juga," timpal Mama, mencoba membuat Felis mengurungkan niat ke luar rumah.

"Katanya mau kunang-kunang," ejek Felis. Laki-laki itu mengangkat dua jarinya ke atas, membentuk simbol V. "Felis janji, Ma, nggak bakal digondol genderuwo. Ayolah. Felis kapan sih telat bangun lagian?"

Aneh memang kalau sebegitu mudahnya membujuk Mama. But yeah, memang itu yang terjadi. Mungkin karena Mama sudah menaruh kepercayaan penuh pada Felis, seperti Mama juga menaruh harapan penuh padanya.

***

[Ephypany]

00.25
Alexander Thomson: anjir tugasnya kaga ada akhlak

00.26
Benedikta Agustinus: ngeluh mulu lo
Benerikta Agustinus: makanya dicicil

00.27
Alexander Thomson: sama aja
Alexander Thomson: tugasnya susah udah gt kaga ada yg nyontekin

00.28
Aleron Gard: yang nyontekin pindah ke Atlantis

00.29
Felis Leo: ngawur wkwkwk Felis Leo: tobat lu lex!

00.30
Aleron Gard: pakabar lu bro @Felis Leo

00.31
Felis Leo: gini aja wkwkwk

00.32
Alexander Thomson: tanggung jawab lu lis gue jadi dobel peran di panggung nih

00.33
Felis Leo: wakakakakak

00.34
Alexander Thomson: ketawa lo?

Satu notifikasi panggilan datang. Mata Felis tertuju ke bagian atas layar. Tawanya surut perlahan-lahan.

MANISa Banget is calling...

Panggilan ditolak.

00.38
Felis Leo: bentaran doi telp

00.39
Benedikta Agustinus: kiw

[MANISa Banget]

00.38
Kok dirijek?
Kamu sibuk?

Felis tidak berniat untuk mengabaikan pesan itu, sungguh. Meski entah mengapa hatinya lama-lama juga merasa janggal, setidaknya ia tidak membuat Manisa merasa khawatir. Namun kedatangan si gadis misterius membuatnya urung mengirim balasan. Senyum yang tidak tahu tadinya menghilang kemana seketika kembali membuncah. Hatinya berdesir.

[Felis Leo]

00.40
Iya banyak tugas
Maaf ya, kapan2 aku chat lg
Night

"Hai!"

Lambaian tangan Felis hanyalah satu dari sekian hal yang selalu ingin gadis itu abaikan. Namun jika dipikir-pikir, lama-lama ia juga mulai terbiasa. Walau terganggu, tidak apa-apa selama Felis tidak menyentuhnya. Anggap saja Felis semacam angin, atau manusia transparan yang tidak perlu direspon.

Gadis itu berjalan tenang melewati Felis yang seolah-olah hanyalah patung duduk di atas batu. Ia menaruh toples dan tongkat ke tanah, berdiri lagi di posisinya seperti biasa. Kehadiran gadis itu seperti memiliki aura yang kuat. Seketika beberapa kunang-kunang yang tadinya bersembunyi mulai muncul beterbangan di sekitar mereka. Senyuman gadis itu merekah.

Sementara Felis, masa bodoh ia terus menerus diabaikan, yang terpenting, pemandangan di hadapannya tidak boleh terlewatkan. Tanpa sadar ia mulai menumpukan tangan, menikmati tontonannya.

Gadis itu mulai melompat-lompat, menjangkau kunang-kunang yang menari-nari di udara bebas.

Felis nyaris tak berkedip sama sekali, terlalu terpana akan keindahan yang ada di depan matanya, sampai tatapannya beralih ke kaki gadis itu. Dahinya berkerut. Perasaan apa ini?

Awalnya pemandangan itu biasa saja, seperti yang sudah-sudah. Namun Felis merasa ada yang tidak beres. Perasaannya tidak enak. Ia pun melompat turun, melangkah cepat menghampiri gadis itu. Dan tepat ketika Felis sampai di dekatnya, kaki gadis itu tergelincir tanah becek di belakangnya.

"Awas!"

"AKH!"

Felis menangkap tangannya, tepat sebelum kepala gadis itu menghantam tanah.

Mata si gadis dan mata Felis berserobok. Dalam sepersekian detik, Felis merasa dunianya berhenti berputar. Jantungnya seakan ingin meledak.

Deg deg deg deg deg deg deg deg deg deg deg

Felis menelan ludah. "K-kamu nggak pa-pa?"

Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya memandang Felis, tidak lebih. Bibirnya mulai memucat dan kesadarannya perlahan-lahan menghilang. Tubuhnya ambruk ke dalam dekapan Felis. Felis terkesiap.

"Hei!" Felis dirundung panik. Gadis dalam pelukannya tidak berdaya. Inisiatif pertama yang ia lakukan adalah menepuk-nepuk pipi tirus itu. "Hei, kok malah pingsan? Hei, bangun!"

Gawat. Keadaan di sekitarnya mana sepi sunyi. Felis tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Pikirannya kalang kabut. Ia memutar kepalanya ke sembarang arah.

Selama beberapa saat posisinya tidak berubah. Hingga rasa ketakutan itu semakin membuncah, Felis pun tidak punya pilihan lain selain membopong tubuh gadis itu dan membawanya kembali ke desa.

***

"Hahhh... hahhh... hahhhh..."

Napasnya yang ngos-ngosan tak membuat Felis berhenti melangkah barang sejenak. Ia terus memacu tungkainya untuk maju, turun bukit dengan perasaan campur aduk. Sesekali laki-laki itu melirik gadis yang masih terpejam dalam gendongannya.

Saat kaki kanannya mulai memijak tanah datar, saat itulah rungunya mendengar seseorang memanggil namanya. Awalnya Felis curiga ada manusia yang mengenalnya pada waktu seperti ini. Namun untuk sekarang, hantupun, jika bisa menolongnya, Felis ikhlas untuk menoleh.

"Felis!"

Ternyata Budi. Entah apa yang laki-laki itu lakukan malam-malam—maksudnya pagi-pagi seperti ini. Laki-laki itu datang menghampiri Felis yang terlihat berantakan. Napasnya ngos-ngosan, bibirnya memucat, dan keringatnya bercucuran. Pandangan Budi beralih pada gadis yang terpejam dalam gendongan Felis.

"Bud, tolongin gue." Untuk kali pertama, Felis meminta tolong pada orang yang tidak disukainya, dan Felis tidak menyesal. "Dia tiba-tiba pingsan. Gue nggak tahu rumah dia di mana."

Budi menatap teman sebangkunya dan gadis itu bergantian, sebelum mengangguk. "Ayo, aku tahu rumahnya."

***

"Terima kasih ya, Mas Budi, Mas Felis. Kalau ndak ada kalian, Simbah juga ndak tahu nasib Aurel gimana."

Nenek berpakaian kebaya itu terus-terusan menundukkan kepala di hadapan Felis dan Budi, membuat kedua laki-laki itu saling pandang dengan ekspresi kurang nyaman.

"Ndak apa-apa, Mbah," kata Budi, mencoba menghentikan Nenek yang tak kunjung berhenti menunduk. "Yang penting Aurel ndak kenapa-kenapa."

Diam-diam Felis melirik ke belakang punggung Nenek, melihat ke dalam pintu kamar yang terbuka. Gadis itu terbaring lemah di sana, masih belum sadarkan diri, tetapi Felis lega bahwa ia baik-baik saja. Setidaknya Nenek yang berkata demikian tadi.

Felis menyenggol pelan lengan Budi. "Nek, kita pamit dulu, ya. Titip salam buat Aurel."

Budi dan Felis akhirnya berpamitan. Lagi-lagi Nenek menundukkan kepala dengan ucapan terima kasih bertubi-tubi, membuat baik Felis maupun Budi semakin tidak enak hati. Kalau Budi tidak segera menyelamatkan keadaan, mungkin Felis benar-benar pusing mendengar permintaan maaf yang malah terdengar seperti teror itu.

"Lo ngapain malem-malem gini ngeluyur?" tanya Felis begitu keduanya berjalan pulang.

Budi terkekeh pelan. "Bersyukur aja. Kalau aku ndak ngeluyur kamu toh ndak ada yang bantu."

"Cih, pede," Felis mendengkus, disusul tawa kecil. "tapi thanks, Bud."

Diam-diam Felis tersenyum kecut. Seketika ia menyesal selama ini tidak menyukai Budi. Walau entah nanti ia bakal kembali tidak menyukai laki-laki itu atau bagaimana.

"Sama-sama," jawab Budi. "Kamu kenal Aurel di mana? Apa kalian pernah papasan di sekolah?"

Aurel. Mendengar nama itu membuat langkah Felis terhenti. Banyak hal mengejutkan yang membuat Felis tidak percaya, mulai dari detik di mana ia mengikuti langkah gadis itu ke atas bukit.

Pertama, di zaman sekarang ini masih ada gadis yang seberani itu pergi sendirian dini hari ke tempat seram hanya untuk bermain bersama kunang-kunang. Kedua, si gadis penangkap kunang-kunang adalah seseorang yang sengaja bisu, punya kepribadian aneh yang selalu mengabaikan orang-orang di sekitarnya—dalam hal ini Felis membicarakan dirinya sendiri. Ketiga, ternyata gadis itu adalah adik kelasnya. Fakta terakhir sangat—paling—mengejutkan

Senggolan di lengannya membuat Felis tersadar. "Apa?"

Sudah Budi duga, lamunan singkat Felis membuatnya tidak mendengarkan perkataan Budi. "Aku bilang, agak aneh memang Aurel itu. Makanya aku tadi nanya apa kamu pernah papasan sama dia di sekolah."

Felis menggeleng. Mereka melanjutkan perjalanan. Tinggal beberapa langkah lagi Felis sampai di rumahnya, tapi Budi harus berjalan beberapa meter lagi untuk tiba di rumah.

"Bukan aku thok yang nganggep Aurel itu aneh, Fel. Semua orang di desa ini juga sama."

Kedua alis Felis bertaut menjadi satu. "Misterius kali. Masa aneh."

"Opo?"

Felis berdeham. "Lupain. Lanjutin aja."

"Ya gitu pokoknya. Aku ndak pernah lihat dia keluar rumah main sama anak-anak yang lain. Di sekolah juga jarang banget lihat dia. Pokoknya aneh banget. Kayak ndak normal si Aurel itu."

Aurel. Felis tersenyum. Namanya Aurel, Fel. Akhirnya lo tahu.

Sekali lagi, Felis berhenti melangkah, membiarkan Budi yang tidak sadar berjalan mendahuluinya. Laki-laki itu menolehkan kepala ke belakang, memandang rumah Aurel yang terlihat semakin mengecil dari pandangan matanya.

Tanpa sadar, Felis mengangkat tangan, melambai.

"Hello, Aurel."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top