07. Ingin Bertemu dan Ingin Tahu

Felis juga penasaran, mengapa si gadis misterus penangkap kunang-kunang tak juga kunjung enyah dari pikirannya.

.

.

.

Ocehan Bu Juminten seputar penjajahan Belanda yang terjadi selama 350 tahun tak mampu membuat mata Felis untuk sepenuhnya memerhatikannya. Mata laki-laki itu memang memandang ke arah depan, tempat di mana guru dengan perawakan tambun itu tengah mondar mandir dengan buku paket sejarah tebal di tangannya, tetapi pikirannya justru melayang-layang ke kejadian semalam. Kejadian yang terputar lancar bagaikan potongan film di bioskop.

Senandung gadis itu. Felis ingat bagaimana merdunya sang empu suara hingga menggetarkan pundi-pundi di dalam hatinya.

Senyuman gadis itu. Felis ingat bagaimana manisnya tarikan sudut-sudut bibir yang berkontraksi membentuk ulasan bahagia tatkala ia seolah bergabung menjadi keluarga kunang-kunang yang menari malam itu.

Mata gadis itu. Felis ingat bagaimana tatapan itu ketika bertemu dengan miliknya yang tak kalah terkejut.

Sialan. Kenapa ingetnya tuh yang kebangetan? Felis mengembuskan napas panjang, memijit pelan pelipisnya yang tiba-tiba berkedut. "Astaga."

Budi yang sedari tadi sibuk mencatat penjelasan Bu Juminten seketika menoleh begitu mendengar desahan putus asa. Dahinya berkerut saat tatapan matanya dan Felis bertemu. "Kamu sakit?"

"Sakit apaan?" Felis malah balik bertanya. Sepertinya semua perhatian yang Budi berikan padanya malah menjadi singgungan yang begitu sensitif. Tanpa sadar volume suara Felis mengeras saat melanjutkan, "Emang muka gue pucet? Emang gue kelihatan lagi sakit? Kok bisa lo berspekulasi kalau gue sakit?"

Kalian pernah tidak sih, tidak menyukai orang lain dengan alasan yang tidak jelas? Padahal orang itu sudah berusaha baik kepada kalian, sudah berusaha menyenangkan hati kalian, tapi ya kalian tidak suka saja. Pokoknya melihatnya saja sudah tidak suka. Intinya tidak suka. Tidak suka ya tidak suka. Titik.

Dan kalau pernah, itu yang Felis rasakan setiap kali melihat Budi. Ada sebagian kecil rasa kasihan, tetapi dikalahkan dengan rasa tidak suka yang begitu besar.

Ditambah kadar kepekaan Budi yang benar-benar ada di level low. Seharusnya gertakan Felis sudah cukup mengisyaratkan bahwa laki-laki itu sebegitu tidak sukanya dengan Budi. Jangan sampai Felis menampar pipinya lalu berteriak menggunakan speaker acara kampanye baru Budi paham bahwa seorang Felis Leo setidaksuka itu padanya.

Budi memajukan wajah, mencoba membaca raut muka Felis. Ia bukannya ingin membaca raut kekesalan Felis, tapi ingin memastikan apakah teman sebangkunya itu memang sakit betulan atau tidak. Saking fokusinya, Budi sampai tidak sadar bahwa ia maju terlalu dekat dengan Felis. Baru ketika telunjuk Felis mendorong jidatnya menjauh, Budi paham.

Benar juga. Felis tidak pucat dan terlihat sehat-sehat saja. Lantas apa yang membuat Budi memiliki gagasan bahwa Felis tengah sakit?

Budi nyengir tanpa rasa bersalah, sebelum kembali lanjut menulis materi yang sempat tertunda. "Kamu kelihatan kayak orang bingung."

Felis mendelik menatap sisi samping Budi yang tengah sibuk dengan pulpen dan buku. "Lain kali nggak usah sok perhatian sama gue. Gue bisa jaga diri gue sendiri."

Ya, lagi-lagi Budi tidak mengerti. "Kan kita teman toh, Mas Felis ganteng. Sesama teman harus saling menolong. Bener, toh?"

Bulu kuduk Felis meremang mendengar kata ganteng keluar dari mulut Budi. Hasratnya untuk menampar Budi seketika muncul ke permukaan.

"Jauh-jauh lo dari gue, anj—"

"Mas itu yang di belakang kok ngomong sendiri?!" Bu Juminten menuding bangku Felis dan Budi menggunakan buku paket. Seluruh pasang mata di kelas seketika tertuju pada mereka berdua. "Dari tadi tak perhatikan lho. Ngomonge buanter cek seperti di warung kopi aja!"

Felis menyambar bukunya yang sedari tadi belum ia jamah. Dengan gugup ia asal membuka halamannya dan mulai mencoret-coret dengan pensil yang juga asal ia comot di atas meja. Semoga bukan milik Budi.

Budi pun sama. Ia tak berani mendongakkan kepala barang sedikit saja. Terlalu takut dengan Bu Juminten yang memang terkenal disiplin. Kalau menjawab bisa-bisa ia dan Felis betulan diusir dari kelas.

"Kalau mau ngobrol mending di luar kelas aja biar ndak mengganggu teman-temannya yang lain! Ayo, sana keluar! Mau keluar apa mau tetap di kelas?! Kalau mau tetap di kelas diam, jangan mengganggu!"

"Maaf, Bu," jawab bersamaan Felis dan Budi.

"Awas kalau nanti rame lagi! Sekalian ndak usah ikut pelajaran Sejarah Indonesia sampai lulus!"

***

Memori akan si gadis misterius penangkap kunang-kunang tidak bisa membuat Felis tenang barang sejenak. Sejak bangun tidur hingga hendak tidur kembali, rasa-rasanya ada saja yang mengganjal, seperti membuat hati Felis tidak tenang. Ia terus kepikiran. Belum cukup dengan ancaman Bu Juminten, ancaman Mama saat melihat Felis skip makan malam juga tidak membuat bayang-bayang si gadis misterius menghilang.

Felis menjambak rambutnya frustrasi. "Arrggh! Kenapa seinget itu, sih?!"

Ia mulai beranjak dari duduknya, berjalan mondar mandir dengan perasaan gelisah. Sesekali ia berhenti sembari memandang ke luar jendela, berharap si gadis misterius tiba-tiba lewat.

"Jam berapa sekarang?"

Felis melihat jam di ponsel. Pukul 23.30. Sudah hampir tengah malam. Seharusnya ia tidur, atau melakukan hal bermanfaat lainnya seperti belajar. Buku matematika padahal sudah membuka minta dibaca, tapi sekarang pikiran Felis sedang tidak ingin menelusuri angka-angka rumit. Pikiran Felis hanya ingin bertemu dan melihat gadis itu. Gadis misterius yang sepertinya semalam lalu sekalian menyihir isi otaknya sebelum kabur.

Desahan putus asa menguar dari belah bibirnya, bersamaan dengan embusan angin malam yang menerpa rambutnya. Felis hendak menaruh kembali ponselnya ke atas meja, sebelum tiba-tiba sebersit ide muncul dalam kepalanya. Ia tersenyum lebar.

Jika ini adalah film kartun, mungkin akan muncul lampu kuning bersinar di atas kepala Felis.

Tak ingin membuat waktu terbuang sia-sia, laki-laki itu segera melesat keluar rumah.

***

Felis mendudukkan pantatnya di atas batu besar yang dingin. Batu besar yang menjadi saksi bertemunya Felis dengan seorang gadis misterius. Tidak pernah sebangga ini Felis pada benda mati. Laki-laki itu menepuk-nepukkan tangannya ke permukaan batu, seolah itu adalah pundak manusia.

"Good job, stone."

Line!

Line!

Line!

Line!

Benar. Tempat ini adalah gudangnya sinyal. Beberapa hari kefrustrasian Felis atas menghilangnya sinyal tersembuhkan dengan adanya tempat ini. Sekali lagi, ia begitu berterima kasih dengan si gadis misterius. Omong-omong, si gadis misterius benar-benar ke sini, 'kan? Jangan membuat Felis kecewa karena ekspektasinya terlalu tinggi.

Ponsel di tangan Felis berdering nyaring. Nama MANISa Banget terpampang dengan jelas di layar. Laki-laki itu segara menggeser jempolnya ke arah gambar telepon hijau untuk menjawab panggilan.

"Halo?"

Hening. Tidak ada jawaban. Felis mengira panggilannya mati, tapi seruan manja Manisa membuatnya mengurungkan niat untuk menarik ponsel dari telinga, "Kangen! Kangeeeeeeeennnn! Kangen, kangen, kangen, kangen, kangen!"

Menggemaskan. Felis terkekeh sembari membayangkan tingkah Manisa di seberang sana. "Aku juga kangen. Kamu apa kabar, hm?"

"Jelek! Buruk! Menyedihkan!"

Felis pura-pura cemberut. Sepulang ini ia harus berkaca betapa ekspresinya begitu menjijikkan. "Kok gitu?"

"Karena nggak ada kamu, Sumber Bahagiaku!"

Felis tertawa. "Cieeee—"

"Malah cie!"

"Ampun, Tante. Kenapa jadi galak banget, hm? Lagi dapet apa gimana?" gertakan Manisa membuat Felis semakain keras tertawa. Manisa berseru protes atas tawa yang dikumandangkan Felis, tapi apa daya, Felis sudah terlanjur gemas. "Iya, iya, maaf. Maaf ya. Udah dong jangan galak-galak, kasian nanti Ephypany ngejauh."

"Jadi males liat mereka latihan lagi semenjak nggak ada kamu." Manisa mendesah berat. "Mereka kecewa banget kamu menghilang tiba-tiba. Kamu nggak ada niat untuk cari pengganti gitu? Posisi kamu lagi digantiin Alex. Jago juga dia nyanyi sambil main gitarnya."

Felis tersenyum kecut, membayangkan ada manusia lain yang menggantikan dirinya dalam Ephypany, grup band yang ia bentuk mulai dari nol. Bahkan Felis, sang penggagas, juga merekrut Aleron, Benedikta, dan Alex. Menyakitkan kalau dipikir-pikir, seperti menyerahkan darah daging sendiri ke tangan orang lain.

"Sayang?" panggil Manisa. "Kamu nggak pa-pa?"

"Nggak pa-pa. Oh iya—"

Felis seketika membeku. Gadis dengan jaring dan tongkat yang yang baru datang itu juga sama-sama membeku melihat kehadiran Felis di tempat ini.

Ketemu, batin Felis.

"Halo? Sayang? Felis? Kamu masih di sana?"

"Eum—"

Gadis itu berjalan melewatinya. Pandangan mata Felis tak beralih. Ia bahkan nyaris tak berkedip, takut gadis itu menghilang kalau sampai berkedip.

"Felisia? Felis!"

"Aku tutup, ya. Bye!"

"Hah? Felis? Say—"

Pip.

Felis melompat turun dari atas batu, berjalan menghampiri gadis yang tengah mengayun-ayunkan jaringnya ke udara.

"Halo, gue—"

Gadis itu meliriknya singkat.

"—A-aku Felis Leo. Baru pindah beberapa hari yang lalu. Maaf kalau mungkin mengganggu, tapi aku ke sini cuma mau cari sinyal."

Tidak ada jawaban.

Felis menggaruk belakang kepalanya, sebelum mendongak dan seketika takjub melihat kunang-kunang yang entah muncul dari mana. Perasaan tadi saat ia kemari tidak ada apa-apa kecuali pepohonan dan semak-semak yang diterangi cahaya bulan. Sekarang cahayanya jadi semakin bervariasi.

"Kenapa tadi kunang-kunangnya nggak ada?" Felis sebenarnya bertanya pada dirinya sendiri. Namun gadis itu sudah terlanjur risih dengan kehadiran Felis. Ia lantas bergeser semakin menjauh. Felis mengerutkan dahi, ikut mendekat. "Kok menjauh?"

Gadis itu tetap diam. Tangannya terayun-ayun di atas, tapi tidak ada satu kunang-kunang pun yang tertangkap. Sebelumnya Felis melihat gadis itu melompat untuk menggapainya, sekarang malah terlihat tidak niat sama sekali.

"Boleh tahu namanya?"

Tidak terdengar jawaban apapun.

Felis menggigit bibir bawah. Ia harus mengeluarkan kata-kata apalagi agar direspon?

"Rumah kamu di mana?"

"..."

"Aku nggak pernah lihat kamu di desa."

"..."

"Kamu dari desa sebelah?"

"..."

"Kamu nggak takut jam segini main di sini?"

"..."

"Kunang-kunangnya muncul dari mana? Kamu tahu, nggak? Soalnya tadi nggak kelihatan pas aku dateng."

Felis mengamati pergerakan gadis itu. Ia terlihat begitu tidak nyaman dengan kehadiran Felis di sekitarnya. Mau bertanya sampai kapanpun, keheningan adalah jawaban ampuh yang diberikan oleh gadis itu pada Felis.

Senyuman Felis tercipta, di bawah naungan sinar rembulan dan cahaya kuning kunang-kunang. Tidak peduli apakah gadis itu ingin menjawab atau tidak. Namun Felis tahu, ia puas karena telah menemukannya.

Interesting.

.

.

.

Aku mau curhat, silakan mau dibaca atau enggak.

Pukul 19.30 itu udah aku pikirin mateng-mateng, bahwa ooohhh di jam ini nih kayaknya aku sempet buat up, sambil nyicil nulis mah waktunya cukup. Tapi tahu engga sih, semakin ke sini makin adaaaaa aja rintangannya T^T. Nih contohnya, sekarang aku baru post jam sebelas lebih sekian.

Awal-awal tuh engga ngapa2in serius! Aku cuma jadi warga Indonesia yang hobi rebahan dan halu jadi jodoh oppa. Sebelum kemudian masuk ke semester 3.

Dalam satu minggu itu ada tugas dengan deadline yang sungguh luar biasa bikin sedih—saking sedihnya sampek gabisa nangis. Pertama ada tugas ngedit video semacam laporan gitu (belum harus terjun ke lapangan, observasi, bikin naskahnya untuk dinarasikan sama temen-temen sekelompok), terus ada beberapa materi untuk dipresentasikan, ada juga materi avertebrata yang benar-benar menguras waktu tidur (padahal udah dicicil ah sebel). Kemarin malam aku begadang, baru tidur jam setengah 5 nan terus bangun jam 6 buat siap-siap ke kampus presentasi bareng temen2. Belum lagi tugas-tugas lain entah ujian sisipan atau kuis-kuis yang mengharuskan belajar. Intinya tuh, wow fantastis banget!

Ditambah aku dua minggu ini harus persiapan buat ikut lomba juga!

Ini tuh kayak mereka para tugas-tugas dan kegiatan itu ngomong ke aku gini, "Nggak usah sok nulis deh, urusin dulu gue ini sama temen-temen gue."

Huaaaaa! Aku harus lulus ODOC! Harus! Gamau tauuu!

Plis doain aku semuanya T^T aku gamau perjuanganku kepotong sampek di sini. Aku gamau beneran nangis plisss. Aku pokoknya harus jadi semangka! Ini udah mimpiku di wattpad! Gamau tauuuuuu!

Sekian.

Terima Yohan jadi jodoh saya.

*sambil sambat

-Milleny Aprilia-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top