05. Teman Seperjalanan yang Cerewet
Budi begitu cerewet sampai-sampai Felis ingin menyumpal mulut itu dengan kaos kaki.
.
.
.
Salah satu kebiasaan baik Felis selama hidup adalah, selalu bangun tidur tepat dua detik setelah telinganya menangkap dering alarm ponsel dengan begitu keras. Lain dengan Aleron yang sering kali berjemur sembari hormat ke tiang bendera karena sering telat, Felis justru nyaris tidak pernah terlambat datang ke sekolah. Sekalinya terlambat, itu pun lima menit sebelum gerbang sekolah ditutup. Entahlah hal itu bisa dikatakan terlambat atau tidak.
Sekarang, Felis benar-benar ingin mengutuk dirinya sendiri yang sudah bangun dan tengah mematikan alarm ponsel. Ia ingin melanjutkan mimpi indahnya seharian penuh. Alarm tidak tahu diri, mengacaukan mimpi manggung saja.
Selama ini, mimpi berdiri di atas panggung besar yang megah nan mewah bersama Ephypany mungkin hanyalah satu dari sekian hal bagus lain yang dapat ia impikan. Namun mimpi semalam entah bagaimana terasa begitu indah, seperti tiada duanya.
Saat Felis ingin kembali terlelap, seseorang menggoncang-goncangkan kakinya dengan tidak sabaran.
"Ah, Mama!" seru Felis kesal. "Felis mau tidur lagi!"
"Bangun! Ayo cepat bangun! Mama nggak ngelahirin pemalas!" Mama menarik bantal yang Felis gunakan, seketika membuat kepala Felis jatuh membentur permukaan kasur kapuk yang keras. "Kamu ini! Papa udah pergi ke sawah pagi-pagi buta, kamu malah asik-asiknya pengen bolos!"
"Sekali doang, Ma!"
"Nggak! Bangun, ayo!"
"Iya, iya, ini bangun!" Felis duduk, mengelus-elus belakang kepalanya yang semoga saja tidak bocor. Mamanya memang begitu penyayang kalau sudah marah-marah begini.
"Cepetan mandi, siap-siap, terus sarapan." Mama mendelik sebentar, sebelum pergi meninggalkan kamar Felis.
"Lagian bolos sekali aja dosa banget apa," lanjut Felis, mendumel sepanjang menyeret kakinya menuju ke kamar mandi untuk bersiap-siap.
***
"Halo, Felis!"
Rencana Felis sebelumnya untuk membolos sepertinya memang tepat, dari pada ia harus berdiri menahan tonjokan yang kapan saja dapat ia berikan pada wajah berseri-seri milik Budi yang terlihat begitu sok akrab. Laki-laki dengan seragam putih abu-abu rapi itu rupanya sudah menunggu Felis di kursi bambu depan rumahnya. Senyuman lebar Budi sampai mengalahkan silaunya sinar matahari pagi di ufuk timur.
Sepanjang perjalanan, Budi tak henti-hentinya mengoceh. Ada saja topik yang ia bicarakan, sampai membuat telinga Felis berdengung karenanya. Baiklah, Felis akui Budi memang cukup membantu untuk menjadi teman seperjalanannya menuju sekolah—hitung-hitung agar suasana tidak hening, tapi jujur, Felis membenci laki-laki cerewet.
"Aku ini anak pramuka," kata Budi untuk topik yang kesekian kali. Laki-laki itu membusungkan dada dengan bangga di hadapannya.
Felis mendesah panjang. Nggak nanya. "Oh."
"Kamu ikut pramuka juga ndak di sekolahmu yang dulu?"
"Nggak. Gue nggak suka kegiatan yang gitu-gituan."
Felis memutar pandangan ke kanan dan ke kiri. Selain mereka ada beberapa anak-anak lagi yang juga tengah berjalan menuju ke sekolah, mulai dari anak SD hingga SMA. Felis berharap salah satu dari mereka mengenal Budi dan membuat laki-laki itu sejenak—barang sejenak saja—tidak membuat telinga Felis berdengung. Yah, paling tidak sekadar menyapa atau berbasa-basi.
"Terus kamu ikut apa?"
"Sekolahnya masih jauh, ya?" Felis sengaja mengalihkan pembicaraan. Ia hanya tidak suka Budi begitu sok akrab sampai ingin tahu apa yang ingin dan apa yang sedang ia lakukan. "Udah hampir jam tujuh. Apa nggak telat?"
Felis heran. Budi masih sempat-sempatnya tersenyum lebar setelah mendengar nada suaranya yang terdengar tidak friendly sama sekali. "Oh, endak. Itu di depan sana belok sudah sampai."
"Oh. Oke."
"Nanti kamu masuk ke kelas yang sama kayak aku."
Kepala Felis berkemelutuk ketika menoleh cepat ke arah Budi. "Kita sekelas?"
Budi mengangguk-angguk cepat. "Iya. Kelas kita itu terkenal pintar-pintar lho anaknya. Kemarin aja pas raportan aku masuk ke sepuluh besar."
Halah palingan juga sepuluh besar dari sepuluh murid. Felis memaksakan senyum. "Mantap."
Setibanya di sekolah, Budi mengantar Felis untuk pergi ruang Tata Usaha mengurus semua berkas kepindahannya. Kedatangan Felis disambut hangat oleh para guru yang sudah menanti-nantikan anak pindahan dari kota. Pada jam pertama dan kedua, Felis tidak bisa masuk kelas karena sibuk mengisi ini-itu perihal kepindahannya, sementara Budi sudah duduk manis di dalam kelas menanti kedatangan Felis. Ia bahkan repot-repot meminta Tono untuk pindah duduk ke belakang, demi bisa duduk sebangku dengan Felis.
Tepat setelah Bu Inna, guru sosiologinya keluar dari kelas, saat itulah Felis melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas. Laki-laki itu sejenak bingung untuk memilih tempat duduk. Namun saat pandangan matanya menangkap lambaian tangan Budi, Felis mendesah panjang dan menyeret kaki dengan berat ke arah si laki-laki sok akrab.
"Nggak ada yang duduk di sini?" tanya Felis berbasa-basi. Diam-diam ia mengutuk dirinya sendiri kalau-kalau sehabis ini Budi semakin nempel padanya.
"Ndak ada, kok. Hehe."
Dan Felis yakin seratus persen, Budi pasti berbohong.
"Oh."
"Nanti istirahat mau ke kantin, ndak? Mbak Sih tuh kalau bikin bakso uenak tenan." Budi mengacungkan dua jempol sekaligus ke hadapan Felis. "Apalagi es tehnya. Kamu lho ndak bakal nemu es teh seenak itu di rumah nanti."
Felis mengeluarkan beberapa buku untuk ditaruhnya di dalam loker meja. "Istirahatnya berapa menit lagi?"
"Bentar lagi, kok. Kamu mau duduk di dekat jendela, ndak? Enak banget makan bakso sambil ngerasain angin sepoi-sepoi hummm."
Sepertinya bel tanda istirahat dan Budi adalah sobat karib. Bel itu berdering nyaring sesaat setelah Budi memamerkan perihak Mbak Sih, bakso, dan angin sepoi-sepoi. Sayangnya, dari ketiga hal itu, tidak ada satu pun yang dapat mendarik perhatian Felis. Buku geografi yang ada dalam tangannya jauh lebih menarik dari pada lingkungan di sekitar, terlebih Budi.
"Ayo, Felis, keburu istirahatnya selesai," ajak Budi beranjak berdiri.
Tanpa perlu melirik laki-laki itu, Felis menjawab pelan—agak ketus, "Nggak ikut, deh. Udah bawa bekal."
"Beneran? Nanti jangan nyesel lho, ya. Baksonya Mbak Sih enak banget suer!"
Nggak bakal. Lagian bisa jadi gue malah nggak doyan. "Nggak pa-pa. Duluan aja, Bud."
"Oke, Felis. Kalau gitu aku duluan, ya!"
Budi melambaikan tangan yang dijawab Felis dengan senyum kecil. Diam-diam Felis mendesah panjang setelah kepergian Budi. Laki-laki itu membanting buku cetak geografinya ke atas meja, lantas ganti meraih ponsel di dalam tas. Benda itu masih sama, tidak ada yang berubah, bahkan sinyal yang ada di pojok kiri atas layarnya.
"Kangen, Nis," lirihnya, mengusap foto Manisa yang menjadi wallpaper. "Kangen banget."
***
Lain kali Felis mungkin perlu menyumpal telinganya dengan earphone sepanjang perjalanan menuju sekolah atau sepanjang perjalanan pulang dari sekolah. Serius, apa Budi tidak lelah terus menerus menceritakan perihal yang Felis-tidak-peduli-sama-sekali? Tidakkah ia bisa melihat bagaimana mendungnya ekspresi Felis? Budi adalah definisi laki-laki tidak peka yang sering dibicaraka oleh para gadis.
Bahkan desahan panjang Felis tak membuat Budi sadar bahwa ialah biang keroknya.
"Haahhhh," desah Felis. Kaki kanannya menendang kerikil hingga terpelanting jauh menghantam pohon di depan sana. Untuk sedang tidak ada orang.
Budi menepuk pundaknya beberapa kali. "Sabar ya. Sebelas IPS satu memang gudangnya anak-anak pinter. Kamu pasti bisa, kok. Kalau ada apa-apa bilang aku, nanti tak bantu."
"Hah?" saking terkejutnya, Felis sampai berhenti berjalan. Ia menatap Budi tak percaya. "Lo—"
Raut polos Budi benar-benar membuat hati Felis panas. Laki-laki itu ikut berhenti berjalan, berkedip beberapa kali. "Kenapa, Felis?"
"—nggak, lupain." Felis kembali berjalan. Ia menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan reaksi Budi. Bego.
"Habis ini aku mau pergi ke sawah. Ikut yuk!"
"Hah? Ngapain?"
"Main. Nanti ada Erna juga."
"Nggak."
"Kenapa?"
Felis menghentikan langkahnya lagi. Otomatis, Budi pun ikut berhenti. Delikan tajam yang Felis berikan juga tak mempan untuk membuat tatapan polos milik Budi ciut. Laki-laki desa itu justru menelengkan kepalanya, menanti apa yang akan dikatakan Felis.
Ada keinginan dalam diri Felis untuk melepas sepatu dan kaos kakinya, kemudian menyumpali mulut Budi dengan benda bau itu, tapi lupakan.
"Mau belajar. Biar bisa pinter kayak anak-anak sebelas IPS satu!"
Dengan begitu, ia mempercepat langkah, meninggalkan Budi yang memandang punggungnya dengan dahi berkerut di belakang sana.
Sebaiknya memang segera menghindar sejauh mungkin, dari pada ia benar-benar menyumpali mulut itu dengan kaos kaki.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top