04. Desa yang Membosankan dan Menjengkelkan

Felis benci segala sesuatu yang ada di desa itu.

.

.

.

Jetlag bahkan tidak membiarkan Felis beristirahat barang sejenak. Bukan karena ia ingin muntah atau sejenisnya, tapi ia hanya ingin memejamkan mata sembari bersandar ke jok mobil yang nyaman. Tidak peduli alunan musik rock akan dikumandangkan hingga merobek gendang telinganya. Namun nyatanya tidak demikian. Kenyataan yang ada di depan matanya lebih ingin membuat Felis memuntahkan seluruh organ dalam tubuhnya tanpa bersisa satu pun.

Mobil pick up yang bau karatnya sampai mampu tercium menembus maskernya benar-benar menurunkan mood Felis sampai ke tingkat yang paling rendah. Terlebih ketika ia harus duduk di belakang tanpa alas bokong maupun penutup kepala. Selama perjalanan menuju ke kampung halaman ibunya, Felis terpaksa harus duduk di belakang pick up menjaga barang-barang bawaan mereka yang memantul-bantul ketika ban mobil beradu dengan jalanan berbatu. Lupakan musik rock, Felis justru menangkap suara-suara alami di sekitarnya. Manalagi kepalanya terasa panas terbakar sinar matahari.

Perjalanan itu memakan waktu yang cukup lama. Kira-kira 4 hingga 5 jam. Selama itu pula Felis merasakan seluruh persendiannya copot dan tulang-tulangnya retak. Begitu mobil yang mengantarkan mereka sampai di depan halaman rumah yang cukup luas, Felis segera melompat turun dari atas mobil. Ia tak ingin saraf-sarafnya ikut kejang jika berlama-lama diam dalam posisi itu.

Mama menepuk pundak Felis pelan sembari menyunggingkan senyum. "Kangen sama Nenek, 'kan?"

Yang hanya dibalas senyum terpaksa oleh Felis. Sebab Felis sendiri tidak yakin, apakah ia benar-benar merindukan neneknya yang seingat Felis sangat suka makan singkong rebus itu. Kalau dipikir-pikir, terakhir kali mereka berkunjung ke mari adalah saat sedang masa jaya-jayanya bisnis milik Papa dan Mama. Itu berarti Felis masih sangat kecil. Kemungkinan untuk mengingat tempat ini maupun neneknya juga bisa jadi sangatlah kecil.

"Felis thole Simbah kangen banget!"

Seorang wanita tua yang rambutnya berwarna abu-abu berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya. Seketika wanita tua itu memeluk Felis begitu erat. Felis yang terkejut dengan serangan mendadak itu merasa panik. Ia memutar pandangan mencari ibunya. Rupanya ibunya tengah berbincang-bincang dengan seorang ibu-ibu di teras rumah.

"Eh, i-iya, Nek."

Betul Nenek, 'kan?

Nenek melepaskan pelukannya, merangkum dua pipi Felis. "Iya. Sekarang sudah besar, ya? Makin ganteng!"

Diam-diam Felis menghela napas lega. Ternyata memang betul neneknya. Wah, lumayan berubah juga, yang dulunya sering mengajak Felis berburu singkong di sawah sekarang sudah terlihat lebih rapuh, jalannya saja tadi terseok-seok. Apalagi di bagian rambut, sudah berubah warna.

"Ayo masuk! Nenek sudah masak sayur lodeh kesukaan mamamu!" seru Nenek sembari menggandeng tangan Felis untuk masuk ke dalam rumah.

Pandangan Felis turun, tertuju pada kaki neneknya. Ia penasaran, apa yang membuat neneknya sebegitu sulit berjalan. Begitu menemukan luka borok yang menganga lebar, seketika matanya melotot. Tanpa sadar Felis melangkah ke samping, menghindar. Nenek terlihat terkejut.

"Nek, F-Felis mau ambil sesuatu di mobil ada yang tertinggal." Jempolnya yang bergetar menunjuk ke arah belakang. "Nenek duluan aja masuknya nanti Felis nyusul."

Nenek yang terlihat tidak curiga sama sekali tersenyum lebar. "Iya. Jangan lama-lama, ya. Orang-orang sudah pada menunggu, tuh."

Felis tersenyum tipis, segera berlari menuju mobil pick up yang masih belum beranjak dari tempatnya semula. Laki-laki itu segera menumpukan tangannya pada pegangan. Tangan bebas yang satunya menahan dada, seolah takut jantungnya akan terjatuh.

"Gila," bisiknya kecil sembari menggelengkan kepala beberapa kali dengan tempo cepat. Ini baru permulaan, dan Felis sudah merasa tidak sanggup. Bagaimana nanti ke depannya? Bagaimana nanti separuh lebih hidupnya akan ia habiskan di tempat ini?

Jangan-jangan..., nanti lama-lama Felis juga akan menjadi seperti mereka?

"Ngaco!" Felis memukulkan dahinya ke mobil, dan aksi itu malah kebablasan sampai membuat dahinya benjol. "Akh!"

"Felis!" panggil Mama.

Felis menoleh. Di teras sana Mama melambaikan tangan, menyuruhnya mendekat. Sembari tangannya mengelus-elus dahinya yang sakit—Felis bodoh benar, itu pukulan yang terlalu keras, seperti tidak di sengaja—ia menyeret kakinya menuju Mama, atau tepatnya ke arah seorang ibu-ibu desa yang menatapnya ingin tahu.

"Ini anakku, Felis," Mama menarik tangan Felis, memperkenalkan. "udah makin pinter, Bu!"

"Oalah, iki toh Felis!" ibu-ibu yang berdiri di hadapannya menepuk tangannya sekali. "Dulu masih kuecil segini lho," ia menunjuk pinggangnya yang lebar, lalu bergerak melewati puncak kepalanya sendiri. "sekarang lak udah tuinggi pol! Ganteng pisan!"

Felis menggaruk belakang lehernya kikuk. Duh, ia harus bersikap bagaimana?

Mama menyikut pinggang Felis, membuat laki-laki itu sedikit berjengit.

"Ah, i-iya, Bu...?" Felis melirik Mama.

"Suminten," bisik Mama cepat.

"...Suminten!" Felis tersenyum lebar, menyodorkan tangan kanan.

"Iya, iya, thole pinter!" Bu Suminten segera menerima uluran tangan itu, menggoyangkannya kelewat keras. Felis berdoa dalam hati semoga tangannya tidak linu sehabis ini.

"Nah, kalau yang itu Erna sama Pak Rusdi." Mama menujuk ke arah lain. Felis mengikuti arah telunjuknya. Seorang pria yang umurnya kira-kira ada di pertengahan abad berjalan ke arah mereka. Di sebelahnya ada anak perempuan seusianya yang terlihat sibuk membawa dua peralatan sawah di tangan kanan dan kirinya yang Felis tidak tahu itu apa. "Mereka suami dan anaknya Bu Suminten, Fel."

"Maaf, nggih, Bu. Tadi sibuk di sawah sama nduk ayu. Jadi baru bisa ke sini," ujar Pak Rusdi terlihat tidak enak hati.

Pandangan Felis terpaku pada kaki kedua orang yang baru datang itu yang telanjang. Satu pertanyaan seketika muncul dalam benak Felis, apa nggak kedinginan dan sakit?

"Ini Mas Felis?" tanya Pak Rusdi, memandang takjub Felis.

Felis segera mendongakkan kepala. Tatapan matanya dan Pak Rusdi bertemu. "Iya pak," jawabnya tersenyum kikuk.

"Sudah besar, ya? Felis masih ingat Erna? Dulu kalian sering main di sawah loh."

"Apa kabar, Mas Felis?" Erna berinisiatif menyodorkan tangan kanan. Felis menatap tangan yang seperti baru digunakan untuk mengaduk adonan lumpur itu dengan pandangan ragu.

Menjabat demi kesopan santunan, atau cuek demi kesehatan.

Dan Felis memilih cuek, demi kesehatannya. "Erna, sekarang kelas berapa?"

Erna terlihat terkejut. Gadis itu seketika menarik tangannya kembali. Felis boleh tersenyum lebar seperti Cheshire Cat, tapi Mama sudah memelototkan mata tanpa sepengetahuannya. Untung Pak Rusdi dan Bu Suminten ini orangnya sangat ramah dan baik hati. Semoga saja mereka memaklumi sikap Felis yang tidak sopan.

"Erna kelas berapa sekarang?" ulang Felis ingin dianggap akrab dengan berbasa-basi. Ia benar-benar tidak tahu telah melempar pertanyaan yang salah.

Memang benar, untung saja Pak Rusdi dan Bu Suminten orangnya ramah dan baik hati. Perubahan raut muka Erna yang tidak bisa Felis baca pada akhirnya diwakilkan jawab oleh ibunya, "Erna cuma tamatan SMP, Felis. Sekarang bantu ibunya di dapur, kadang bantu juga ayahnya di sawah."

Mampus. Felis menelan ludah. Seketika senyumannya lenyap. "O-oh begitu. Maaf."

"Halah, ndak apa-apa, orang Felis ndak tahu!" Bu Suminten mengibaskan tangan sembari tertawa ala kadarnya. Felis semakin tidak enak dibuatnya.

Mama segera menyelamatkan keadaan itu, "Eh, monggo ayo semuanya pada masuk. Kita bicara lebih banyak lagi di dalam. Aku juga wis kangen sama Ibu. Ayo, Fel."

Felis menghindar ketika Mama hendak meraih tangannya. "Felis mau di sini dulu, Ma. Mau lihat pemandangan."

Mama mengerutkan dahi.

Pak Rusdi menimpali, "Aku sama Erna pulang dulu, mau mandi. Nanti kami ke sini lagi."

Setelah kepergian Pak Rusdi dan Erna, Mama menggiring Bu Suminten untuk masuk ke dalam rumah. Sesaat, Mama mendelikkan mata padanya, seperti menaruh kecurigaan yang besar.

Tapi Felis tidak peduli.

***

"Sialan."

Entah sudah berapa kali Felis mengumpat selama bermenit-menit duduk di kursi lebar berbahan dasar bambu milik neneknya—atau milik mendiang kakeknya, terserah. Laki-laki itu berulang kali mengangkat tangan, menggoyang-goyangkan ponselnya, berharap ada sinyal lewat yang mampir untuk menyenangkan hatinya. Namun sampai tangannya pegal, jaringan yang ada di ponselnya tetap menghilang tidak tahu kemana.

Belum lagi kekesalannya usai, gerombolan anak-anak yang sepertinya baru selesai bermandikan lumpur datang menghampirinya dan duduk di kursi yang sama dengannya. Felis seketika menutup hidung.

Anak-anak itu memandang ponsel di tangan Felis seperti memandang mutiara di dalam mulut kerang. "Hape!" seru mereka bersamaan.

Felis yang bingung bagaimana menanggapi mereka, bergeser semakin menjauh. Anak-anak itu juga ikut bergeser semakin mendekat. Felis memejamkan mata, memohon pada Tuhan supaya emosinya tetap ditahan kuasa Ilahi. Jangan sampai ia mengumpati anak-anak kecil menyebalkan itu.

Tangannya dicolek. Felis melotot ganas melihat tangannya yang tadinya bersih tiba-tiba kotor terkena lumpur. "Heh! Cuci tangan dulu sana!"

Anak laki-laki dengan gigi depan ompong satu yang tadi mencoleknya mengabaikan teriakan Felis, "Hape itu buat apa?"

Buat mukul lo! "Embuh!" geram Felis sambil melotot. Oke, ia sudah siap meledak.

"Masku juga punya hape," kata anak perempuan yang wajahnya belepotan ingus. "Ada ularnya."

"Di situ ada ularnya nggak?" tanya anak yang terlihat lebih kecil lagi di antara mereka berdua.

"Ular, ular, ular!" seketika beberapa anak yang lain ikut berseru.

"Ya ampun, nggak ada!" Felis bangkit berdiri, berlari menjauh.

Lebih menyebalkannya lagi, anak-anak itu ikut mengejarnya. Mereka tidak tahu semenjengkelkan apa mereka di mata Felis. Mereka justru menganggap Felis sengaja mengajak bermain kejar-kejaran. Felis semakin panik. Ia menolehkan kepala ke sana dan ke mari, berharap menemukan tempat persembunyian. Namun ia tidak menemukan apa-apa selain pohon besar yang rantingnya terlihat kokoh.

Felis menelan ludah. Sekali dipandang mata, pohon itu terlihat menyeramkan, seperti ada penunggunya. Ia menolehkan kepala lagi. Anak-anak itu semakin dekat padanya.

Tidak punya pilihan, Felis pun memilih berlari ke arah pohon itu dan cepat-cepat memanjat ke atasnya. Begitu sampai di atas, ia melihat ke bawah. Anak-anak itu berusaha ikut naik tetapi tidak mampu dikarenakan ukuran pohon yang terlalu besar bagi tubuh kecil mereka. Menyerah, merekapun akhirnya bubar satu per satu. Felis memeletkan lidah sembari tertawa penuh kemenangan.

"Oh iya!"

Felis tiba-tiba teringat Benedikta. Kawannya itu pernah kehilangan sinyal saat mereka study tour ke Bali, kemudian sinyal itu ia dapatkan kembali saat Dikta naik ke atas pohon. Felis sekarang ada di atas pohon—walau bukan puncak paling atas. Siapa tahu di sini ia bisa mendapatkan sinyal. Sumpah ia begitu merindukan Manisa dan ingin cepat-cepat mendengakan suaranya yang manja lagi.

Senyum Felis luntur begitu menatap layar ponselnya. Tanda silang di pojok kiri atas layar itu benar-benar membuat hati Felis panas.

"Tempat apaan nih sinyal aja nggak ada?" Felis mendengkus kasar. "Bisa mati gue lama-lama kalau gini caranya."

Felis terus mencoba menggoyang-goyangkan ponselnya. Namun hasilnya tetap nihil. Paling mentok sinyal yang lewat adalah huruf E besar yang membuat bahu Felis seketika merosot. Ia pasrah. Sepertinya ini adalah akhir dari kebahagiaan yang selama ini Felis yakini tetap akan bersama dengannya sampai mati.

Ttak!

Felis terkesiap mendengar bunyi itu. Apaan tuh?

Ttak!

"Aduh!" Felis mengelus lengannya yang terkena lemparan. "Apa-apaan ini?"

Ttak!

Felis menatap ke arah bawah. Di bawah sana ada seorang laki-laki dengan pakaian sedikit lusuh tersenyum kepadanya. Laki-laki setengah botak itu hampir melempar kerikil di tangannya lagi kalau Felis tak segera melotot.

"Aku Budi!" teriaknya pada Felis.

Felis mendesah kasar, sebelum kembali mendudukkan dirinya dengan posisi nyaman, mengabaikan Budi.

"Rumahku deket sama rumah nenekmu!" Budi berteriak lagi. "Inget ndak sama Budi yang dulu pernah ngajakin kamu main kelereng?! Ayo main kelereng lagi!"

"Ini udah abad keberapa mainnya kelereng," dengkus Felis terkekeh kecil.

"Mau main ndak?!"

Felis memutar bola matanya. "Nggak!"

"Seru, loh! Erna juga ikutan!"

Felis berdecak. "Ck, nggak pengen!"

"Iya! Nanti kamu nyusul aja, ya! Sampai ketemu, Felis!"

"Ogah," lirih Felis, lebih kepada dirinya sendiri. Sekali lagi ia melirik ke bawah. Punggung Budi mulai menjauh darinya. "Siapa juga yang mau main gituan? Sial, nggak ada yang bener semua perasaan."

Sekali lagi, Felis memandang layar ponselnya. Huruf E di pojok layarnya nyaris membuat laki-laki itu melempar ponselnya jauh-jauh.

Tangan laki-laki itu mengepal, hingga buku-buku jarinya memutih.

"Sialan."

Semua ini terasa membosankan, bahkan lebih menjengkelkan dari apa yang Felis duga. Entah sampai kapan ia akan dapat bertahan. Semoga saja ia tak memiliki keinginan untuk kabur di saat sedang miskin-miskinnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top