03. Kekasih yang Menghilang
Ia menghilang. Dan yang bisa Manisa lakukan selain mencari adalah menangis.
.
.
.
Line!
Tepat ketika ia membuka pintu kamar mandi, ponsel yang ia charge di atas nakas berbunyi. Senyum Manisa merekah. Ia menggosokkan handuk ke rambutnya yang basah cepat-cepat, tak sabar untuk segera melihat sapaan manis pangerannya yang tampan itu. Belum lagi jika disertai foto selfie yang membuatnya tambah berbunga-bunga.
Melempar handuknya yang lembap ke atas kasur dengan sembarangan, tangannya lantas menyambar ponsel, tak lupa melepas colokannya terlebih dahulu. Ia kemudian membanting punggung ke kasur, sembari jempolnya menggeser-geser layar dengan tempo luar biasa.
[Prince Felisia]
05:43
Maaf, Nis, hari ini aku lagi sakit, gak bisa keluar rumah.
Senyuman Manisa seketika luntur. Jempolnya mengambang di atas layar.
Felis sakit? Kenapa tiba-tiba sekali? Sepertinya tadi malam ia terlihat sehat. Apakah ini alasannya ia tidak aktif setelah pulang dari kafe?
Sebenarnya pesan itu hanya pesan biasa, jika dilihat secara sekilas. Tidak ada yang aneh dari segi apapun.
Namun Manisa tahu, ada yang tidak beres.
Apakah Manisa melakukan kesalahan? Kenapa Felis terlihat begitu jutek?
Gadis itu segera menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak, tidak. Tidak mungkin pangerannya seperti itu. Ini pasti karena Felis memang sedang sakit betulan. Ya, pasti. Manisa berulang kali memikirkan kemungkinan positif itu dalam benaknya dan lekas mengetikkan balasan.
[Manisa Anggraini]
05:55
Iya nggak papa
Jangan lupa minum obat dan istirahat yang cukup ya pangeran!
Nanti sepulang sekolah aku ajak anak-anak buat jenguk kamu, owkeyyy?
Manisa mematikan ponsel dan melemparkannya ke samping. Gadis itu terdiam selama beberapa saat, menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih.
"Nggak pa-pa," lirihnya, menenangkan dirinya sendiri. "Nggak pa-pa."
***
Terus mensugesti dirinya sendiri dengan nggak pa-pa, adalah kegagalan besar yang Manisa rasakan seharian penuh. Dampak yang terjadi adalah ia tidak bisa fokus selama pembelajaran berlangsung. Untung saja tugas rumahnya sudah selesai dan hari ini tidak ada ulangan mendadak, jadi sudah dapat dipastikan nilai-nilai Manisa aman. Terlebih lagi, untungnya guru-guru tidak menyadari ada satu wajah murung yang terus menerus melamun di dalam kelas.
Mulai dari pelajaran matematika yang ia sukai, hingga pelajaran olahraga yang menyenangkan, tak ada satu pun yang dapat mengobati kegelisahan dalam diri Manisa. Pikirannya hanya diliputi oleh Felis Leo, sebagian besar dikuasai rasa khawatir, dan ada sedikit rasa takut.
Astaga, Manis, udah dong! Manisa memejamkan mata erat-erat. Batinnya meneriaki jasmaninya sendiri. Felis tuh nggak pa-pa! Alay lo!
"Nis, awas!"
Tepat ketika teriakan itu ia dengar, bahunya didorong dengan tenaga ekstra dari arah samping kiri. Untung saja ia tidak sampai jatuh tersungkur ke lantai lapangan yang kasar. Manisa membuka mata, nyaris mengumpat pada orang yang mendorongnya ketika ia sadar kenapa ia berdiri di tengah-tengah lapangan basket, tepatnya di tengah anak-anak kelas yang tengah bermain basket.
"Maaf," ujarnya lirih, segera menyingkir.
"Lo nggak pa-pa?" Lala, teman satu kelasnya datang menghampiri. "Muka lo pucet banget. Lo sakit, Nis?"
Manisa memaksakan senyuman. "Nggak pa-pa. Mungkin lagi banyak pikiran aja."
"Astaga jangan bilang lo begadang buat nyelesaiin tugas biologi tadi malem? Kan gue bilang juga apa, dicicil!"
Tugas biologi yang tidak manusiawi itu diberikan oleh Bu Listy, guru biologinya yang super galak dengan tompel sebesar lalat hijau di atas mulut. Dan Manisa tahu, ia tidak mungkin gila memaksakan dirinya begadang semalaman demi tugas laknat itu. Tentu saja ia sudah mencicilnya sekitar lima harian.
Tapi karena Manisa tidak ingin percakapan itu melebar ke mana-mana, ia lantas membalas dengan senyum kecil. "Mungkin."
Dan berharap Lala segera menyingkir dari hadapannya. Entahlah, Manisa sedang tidak dalam suasana hati yang bagus. Kehadiran Lala malah membuatnya semakin sebal. Namun namanya Lala, sudah pasti orangnya tidak peka. Gadis yang rambutnya dikucir dua itu menggeser tubuhnya makin dekat dengannya. Bergaya ibu-ibu kompleks perumahan yang gemar bergosip di tukang sayur kaki lima, ia lantas berbisik kecil, "Lagi nggak berantem sama Leo, 'kan?"
Lala memang suka mengganti nama panggilan Felis sesuka hatinya. Katanya kalau Felis terlalu feminin. Apaan.
"Nggak."
"Gue nggak lihat Leo di sekolah. Lagi sakit?"
"Iya."
"Berarti lo mau jenguk ntar? Bareng dong, gue mau—"
"La, gue pusing. Gue mau balik ke kelas dulu aja deh kayaknya."
Lala dengan sigap menahan lengannya. "Ke UKS aja jangan ke kelas biar bisa tidur. Gue temenin, deh!"
Emosi Manisa sudah ada di puncak ubun-ubun, tapi ia tidak ingin mencari ribut, terlebih dengan Nabila Lolita yang mulutnya meleber ke mana-mana. Gadis itu menyingkirkan tangan Lala perlahan. "Nggak pa-pa gue mau istiahat di kelas aja. Lo bantu gue izinin ke Pak Rahmat, ya?"
Dengan begitu, Lala mengangguk. Manisa menghela napas lega dan segera kembali menuju ke kelas. Beberapa kali ia menolehkan kepala ke belakang, takut kalau Lala mengikutinya. Dasar Lala gadis tidak peka terhadap segala situasi. Manisa beruntung menolak ajakannya untuk belajar bersama di rumah gadis itu sewaktu awal-awal menjadi murid baru di SMA. Kalau tidak, bisa jadi Lala sudah nempel padanya seperti tempelan kulkas ke mana-mana.
Pintu kelasnya sudah terlihat. Manisa mempercepat langkah kaki. Namun beberapa meter dari pintu, ia mengerutkan dahi ketika melihat ada sosok Aleron berdiri melongokkan kepala ke dalam kelasnya, seolah mencari-cari orang. Ia pun menepuk punggung tinggi tegap itu diam-diam.
Aleron terkejut. Laki-laki itu berjengit, menoleh sembari tangannya mengelus-elus dada. "Sialan! Gue kira guru!"
Manisa terkekeh kecil. "Nyari gue? Mau nanyain Felis?"
"Kelihatan banget, ye?" mendapat endikan bahu, Aleron melanjutkan, "Mendadak banget soalnya, disuruh tampil di kafe yang semalem lagi. Gue cari ke kelasnya nggak ada. Dia nggak masuk?"
"Sakit," jawab Manisa. Tungkainya melangkah lesu ke dalam kelas. Aleron mengekori di belakang. "Line gue juga nggak dibales dari tadi pagi," lanjutnya, saat menatap pesan Line yang belom kunjung ada pemberitahuan terbaca. Manisa menghela napas panjang.
"Lo bilang sakit. Lagi tidur kali. Kenapa tiba-tiba banget? Kualat sama si Tristan apa gimana?" Aleron tertawa, membayangkan Felis terbungkus selimut tebal dengan termometer di mulut.
Manisa melirik teman laki-laki kekasihnya itu dengan panangan malas. Sudah bisa ia tebak. Tidak ada satu orang pun yang mengerti betapa anehnya keadaan ini. Katakan saja dia lebay, alay, atau apapun. Terserah. Hanya Manisa yang tahu Felis itu seperti apa.
Hanya dia saja.
***
Dan firasat buruk Manisa memang terbukti sungguh-sungguh.
Manisa, Aleron, dan Benedikta berdiri berjejer di depan gerbang besi besar yang tertutup. Gerbang rumah keluarga Felis terkunci. Fokus mata mereka bertiga tertuju pada gembok besar dan rantai yang melilit di sekitarnya.
Seketika kaki Manisa terasa lemas. Pikirannya tambah kacau. Aleron dan Benedikta saling melempar pandang satu sama lain.
"Telepon dia, Dik!" perintah Aleron pada Benedikta.
Benedikta segera mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana, mencoba menghubungi Felis. Namun beberapa kali mencoba, nomornya tetap tidak aktif. Aleron mendesah berat saat Benedikta menggelengkan kepala padanya.
"Gua coba lagi—"
Manisa menyela dengan ponsel sudah menempel di telinga, "Gue aja yang telepon."
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif—"
Pip
Manisa mengulanginya lagi.
"Nomor yang Anda tuj—"
Pip
Lagi.
"Nomor yang Anda—"
Pip
Dan lagi.
"Nomor—"
Pip
"Hiks..." Manisa mulai sesenggukkan. Tangannya melemas. Ponselnya hampir saja jatuh kalau tangan Aleron tidak dengan sigap menangkapnya. "Dia kemana?"
"Nis—"
"Dia nggak pernah kayak gitu sebelumnya, Ben, Ron! Kenapa dia nggak ada cerita apa-apa ke gue?! Dia sempat baca spam gue tapi nggak bales! Dia ngilang gitu aja! Sekarang gue gimana?"
Sepanjang hari itu, Manisa menangis sesenggukan di depan gerbang besi tinggi yang terkunci. Aleron dan Benedikta tidak dapat melakukan apa-apa selain terdiam dan menemani. Mereka juga bingung. Felis bahkan tidak muncul di grup chat Ephypany semalaman. Mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi.
"Kamu di mana, Pangeran?" Manisa menatap nanar pesan terakhir yang Felis kirimkan tadi pagi padanya. "Kamu di mana?"
.
.
.
Apakah alay? XD
Jejak ges~
Tengkyuuu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top