01. Kekacauan dalam Rumah

Untuk sesaat, Felis tidak bisa mengatakan satu patah kata pun. Ia hancur. Sangat.

.

.

.

Puluhan pasang mata menatap ke arah panggung dengan berbagai macam ekspresi kurang mengenakkan. Kebanyakan di antara mereka meringis. Bahkan seorang wanita dengan lipstick merah darah di meja paling ujung menutup kedua telinganya erat-erat kala mikrofon yang ditarik oleh Tristan berdengung menyakitkan. Laki-laki berkacamata Harry Potter itu segera menoleh panik ke belakang, ke arah teman-temannya yang sudah siap dengan alat musik masing-masing.

Felis melempar tatapan penuh protes kepada Benedikta. Si laki-laki pemegang bass itu membalasnya dengan endikan bahu dan cebikan bibir acuh. Felis ganti melempar tatapan tajam kepada Aleron. Laki-laki yang memegang stick drum itu meringis garing sembari menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan gestur lucu. Tidak lucu di mata Felis sama sekali. Ia kesal.

"Ide lo emang nggak pernah ada yang beres," bisik Felis. Cukup keras, tapi ia bisa memastikan hanya dirinya dan Aleron saja yang mampu mendengarnya.

"Tapi suaranya bagus, kok. Kayak suaranya Nassar." Aleron mengacungkan jempolnya. Namun melihat wajah Felis yang tidak berubah ramah barang sedetik pun, laki-laki itu menambahkan dengan yakin, "Sumpah."

Felis merotasikan bola matanya tidak peduli. "Terserah."

Perdebatan kecil itu memang sudah berakhir kala Tristan menganggukkan kepalanya ke arah teman-teman bandnya. Tapi Felis berjanji, sehabis mereka selesai dengan job ini, ia benar-benar akan mendudukkan Aleron dan mengedukasinya seperti anak kecil yang ketahuan mencuri mangga milik tetangga. Kalau saja Aleron tidak punya ide mengajak Tristan untuk menggantikan Alex yang sedang diare, mungkin beda lagi ceritanya.

Felis akui suara Tristan bagus, tapi ia kurang setuju dengan opini Aleron tentang kemiripan suara si laki-laki nerd itu dengan Nassar. Cukup okelah. Untuk yang satu ini Felis sedikit bangga pada pilihan Aleron. Hanya sedikit. Mungkin sekitar 20 persen dari 100 persen.

Ephypany, nama band mereka, membawakan tiga lagu malam ini. Lagu Mariposa milik Peach Tree Rascals dan lagu Make You Mine milik Public mampu mereka bawakan dengan apik. Para penonton memberikan tatapan memukau. Bahkan sampai ada yang melambaikan tangan dan ikut bernyanyi saking terbawanya mereka ke dalam suasana. Puncaknya, lagu berjudul Rindu karya Felis sendiri menutup penampilan mereka dengan tepuk tangan meriah.

Usai penampilan itu, mereka pergi ke ruang istirahat yang telah disediakan oleh kafe. Namun sayang, Tristan ada bimbingan olimpiade kimia keesokan harinya jadi ia izin pulang terlebih dahulu untuk tidur lebih awal. Ruangan istirahatpun hanya bisa dinikmati oleh Felis, Aleron, dan Benedikta.

Oh, tambah Manisa. Gadis dengan eyeliner tebal itu baru saja masuk setelah mengetok pintu. Felis tersenyum lebar dan menepuk tempat duduk di sebelahnya. Manisa segera mendudukkan diri di sebelah Felis, tak lupa memberikan kecupan singkat ke pipi laki-laki itu.

"Bucin!" seru Aleron melempar kaleng minuman yang telah kosong ke arah Felis. Dengan cepat Felis menghindar.

Benedikta diam-diam memeragakan ekspresi ingin muntah.

"Keren banget!" puji Manisa mengacuhkan Aleron dan Benedikta. Percayalah, ia sudah biasa mendapat respon seperti itu ketika bermesraan bersama Felis di depan mereka. Biasa, jori, jomblo iri.

"Kamu udah makan?" Felis menyelipkan anak rambut Manisa yang mengganggu pemandangannya. Nah, sekarang kecantikan kekasihnya itu bisa ia lihat dengan jelas.

Manisa mengangguk. "Udah tadi makan crepe cake sambil nonton kalian. Oh iya, gue baru tahu si Tristan jago juga nyanyinya. Sampek pangling suer! Gue kira siapa."

Omong-omong soal Tristan, bagaimana bisa Felis melupakan janjinya sendiri untuk mengedukasi Aleron? Laki-laki itu melempar pandang ke arah Aleron yang tengah makan dengan lahap, tidak peka sama sekali dengan tatapan mata Felis yang berubah menajam. Benedikta yang mengertipun segera menyenggol lengan sahabatnya.

"Apaan?!" protes Aleron merasa kesal. Baru ketika Benedikta mengalihkan pandangannya, ia mengerti. Aleron meringis dengan mulut penuh nasi ke arah Felis.

"Ada apa sih?" tanya Manisa tanpa suara kepada Benedikta, yang dibalas dengan gelengan kepala cepat.

Aleron menelan gumpalan nasinya dengan susah payah. "Sorry kali, Bro. Lagian lo juga belom tahu 'kan kalau si Alex diare? Nanti kita jenguk dia deh sambil bawain buah-buahan."

"Ya tapi kita ini satu tim, Ler! Lo nggak bisa dong memutuskan semuanya secara sepihak. Tuh, Dikta juga nggak tahu pas lo milih Tristan. Lagian kenapa harus Tristan sih? Cupu banget di atas panggung tadi. Untung suaranya bagus."

"Nah!" Aleron menjentikkan jari, merasa mendapat celah. "Kata gue juga apa? Suaranya bagus!"

"Untung suaranya bagus!" suara Felis meninggi. Manisa memejamkan mata mendengarnya, sementara Benedikta pura-pura mengecek ponsel. "Kalau misalkan tadi benar-benar kacau gimana? Lo mau tanggung jawab sendiri? Nggak, 'kan? Oke, kali ini gue nggak bakal ninju muka lo. Lo termaafkan karena suara Tristan bagus. Lain kali kalau sampek lo ngulangin hal yang sama, gue bener-bener bakal bikin lo nemenin Alex di rumah sakit."

Aleron terdiam. Napsu makannya seketika hilang.

Benedikta melirik Manisa, memberi kode untuk segera menyelamatkan suasana itu. Manisa menghela napas panjang.

"Sayang udah dong!" ujarnya sembari menggoyang-goyangkan lengan Felis manja. "Lagian aku setuju sama Aleron, suaranya Tristan keren!" Felis melirik kekasihnya. Seketika Manisa mengembungkan pipi. "Ya, ya, ya? Jangan marah ih! Aku nggak suka lihat kamu marah-marah gini. Jangan berantem dong kalian."

Benedikta memang selalu tahu, rumus meluluhkan hati seorang Felis Leo tiada lain dan tiada bukan adalah bujukan Manisa Anggraini seorang. Laki-laki itu menghela napas panjang, kemudian melempar senyum kepada Manisa, mengucapkan terima kasih. Manisa membalas senyuman itu dengan anggukan pelan.

Felis terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya meminta maaf kepada Aleron. Sederhana. Pertengkaran dalam pertemanan memang pasti terjadi dan tidak akan bisa dihindari. Hanya saja apa yang akan dipilih setelah bertengkar, mengalah atau tetap mengeraskan hati, itu yang menentukan titik finalnya. Dan Felis memilih untuk mengalah.

Ia memang kecewa terhadap sikap Aleron. Namun ia juga tahu, Aleron ingin yang terbaik untuk Ephypany, untuk mereka semua. Buktinya Tristan bernyanyi dengan baik, meski penampilan dan cara bersikapnya seperti orang bodoh.

Benedikta berdeham keras, sengaja. Laki-laki itu bangkit berdiri sembari menepuk-nepuk kedua pantatnya padahal tidak ada kotoran yang menempel, kursi kafe juga sangat bersih. "Nah, siapa yang setuju kita pesan makanan lagi? Masih laper nih! Gue yang traktir deh!"

Manisa ikut berdiri sambil berseru heboh, "Mauuuuu!"

Dan sisa malam itu mereka habiskan dengan canda gurau, seolah tidak terjadi suasana panas sebelumnya.

Namun Felis tidak tahu, suasana ini adalah suasana terakhir yang bisa ia nikmati bersama teman-teman dan kekasihnya.

***

Jarum jam di pergelangan tangan kiri Felis sudah menunjuk ke angka sepuluh. Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Seperti biasa, Felis mengantar kekasihnya pulang dengan selamat. Begitu sampai di depan rumah Manisa, Felis menahan lengan gadis itu saat hendak keluar.

"Besok habis pulang sekolah nonton yuk? Ada film bagus."

Manisa tersenyum seraya menganggukkan kepalanya mantap. "Siap, Pangeran!"

Felis terkekeh pelan. Tangannya terulur untuk mengacak-acak rambut ikal itu. "Udah sana, udah malem."

"Tahu kok, nggak buta," ejek Manisa memeletkan lidah. Gadis itu keluar dari mobil dan melambaikan tangan. "Hati-hati di jalan!"

Semua terasa seperti rutinitas bagi Felis. Sekolah, berkencan, manggung. Hidupnya berjalan secara teratur sedemikian rupa. Bahkan ia tak peduli nanti ketika pulang ia tidak akan menemukan kedua orang tuanya yang mungkin saja tidur di dalam toko baju berselimutkan baju yang baru datang dari pabrik.

Menemukan Papa yang menunggunya pulang di ruang tamu sembari membaca koran? Lupakan.

Menemukan Mama yang ada di dapur menyiapkan makan malam untuknya? Felis ingin tertawa.

Namun, kerutan di dahi Felis nyata adanya ketika memarkirkan mobil di garasi. Ada mobil kedua orang tuanya di sana. Banyak pertanyaan berkecamuk dalam pikiran laki-laki itu. Udah balik? Kok cepet? Tumben.

Sungguh, Felis ingin mengendikkan bahunya tak acuh dan segera berlari ke arah kamar untuk tidur. Ia sudah lelah dan tidak ingin terlambat menjemput kekasihnya esok pagi. Ia hanya ingin melepas penat dan memikirkan hal lain yang lebih menyenangkan, dari pada sibuk memikirkan apa dan bagaimana bisa kedua orang tuanya yang super duper sibuk kini tengah duduk di ruang tamu dengan kondisi menyedihkan.

Tunggu, menyedihkan?

Mama menangis sesenggukkan sembari memeluk perut Papa erat-erat, menyembunyikan wajahnya di perut buncit milik suaminya itu. Felis menatap Papa yang tak kalah menyedihkan. Pipinya ungu lebam dan ada sedikit darah di pelipisnya. Jantung Felis seketika berdegup dengan irama tak menentu.

Papa menyadari kehadiran Felis. Anak tunggalnya itu datang menghampirinya dengan muka pucat.

Felis tidak ingin bertanya, tapi Papa mengatakannya. Mengatakan sesuatu yang membuat dunia Felis runtuh dalam hitungan detik.

"Maafkan Papa. Kita bangkrut."

.

.

.

Terima kasih sudah membaca. See you on the next chapter! Jangan lupa meninggalkan jejak hehehe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top