Bab Tujuh
Friska
Jarum jam sudah menunjukan angka sepuluh tapi dia belum juga datang. Akhir-akhir ini dia memang sering pulang terlambat, kadang sempet jemput, ngajakin makan terus pergi lagi setelah mengantarku. Sesibuk apa sih kerjaannya sampai pulang larut malam begini?
Terus kenapa aku peduli? Harusnya aku seneng dong, sendiri di rumah ini bebas melakukan apa pun yang aku ingin.
Perutku keroncongan, aku belum makan malam. Dia tidak menjemputku tadi jadi aku langsung pulang dan tidak membeli makan untuk makan malam.
Aku pergi ke dapur, membuka kulkas. Susuku habis, kotak serealnya pun kosong. Haahh, makan apa aku sekarang. Beli keluar? Jam segini? Males banget. Aku menghampiri lemari persediaan ada beberapa bungkus mie instan di sana. Aku putuskan untuk membuatnya saja.
Semangkuk mie instan ekstra rawit pun jadi, aku membawa mangkuk beraroma gurih dan pedas itu ke sofa depan televisi. Menyalakannya dan mencari channel yang menarik sebelum aku berkutat dengan mie-ku.
Sesendok demi sesendok aku suapkan ke dalam mulutku sambil sesekali tertawa menonton tayangan televisi yang menyiarkan acara komedi. Hingga tanpa kusadari sepasang tangan kekar melingkar di leherku yang membuatku terlonjak seketika
"Kenapa belum bobo?" ucapnya lemah, terdengar kelelahan. Dia berlutut di belakangku dengan kepala yang ditumpukan di leherku. Dia mengecup pipiku lalu puncak kepalaku dan berpindah duduk di sampingku. Dia merebut mangkuk mie-ku menyuapkan sesendok ke mulutnya.
"Ngghh, pedes banget!" Dia meraih gelas di meja menyeruputnya hingga tandas. Emang segitu pedesnya ya? Padahal tadi cuna nyicipin kuahnya aja.
"Udah makan?" tanyaku padanya yang sibuk melepas dasi dan vest-nya. Selama tinggal dengannya aku jarang melihatnya memakai jas, hanya kemeja panjang dirangkap vest.
"Belum, keburu cape jadi pulang aja," jawabnya dengan melempar dasi dan vest-nya ke atas meja. Menyusul sepatu dan kaus kakinya. "Kamu, kok belum tidur?"
"Belum ngantuk," kataku. Padahal aku kelaparan sama dengannya yang belum sempat makan tadi.
Dan tahu tidak? Aku bisa berbicara santai begini dengannya krena wajahku masih tertutup make up. Aku selalu membersihkan wajahku sesaat sebelum aku naik ranjang. Jam segini? Larut malam begini? Dan aku masih ber-make up? Ya.
"Cha, minta tolong, dong!"
"Apa?"
"Bikinin aku juga," ucapnya memelas sambil bersandar memegangi perutnya. Aku mengacungkan jempol setelah suapan terakhirku. Kasian dia pasti kelelahan plus kelaparan.
***
Galih
Aku pulang larut lagi hari ini. Lelah, letih, penat membebani ragaku. Rasanya ingin sekali menjatuhkan diri di atas kasur. Merebah, melepas lelah yang menumpuk.
Namun niatan itu sirna begitu saja saat aku mendapati dia yang tertawa-tawa menonton siaran televisi. Rupanya dia tidak menyadari kehadiranku. Aku berjalan mengendap-endap, berjongkok dan memeluknya dari belakang. Aku merasakan tubuhnya menegang namun kembali rileks setelah mendengar suaraku.
Aku membenamkan wajahku di lekukan lehernya sesekali mengecupi pipinya yang pasti sudah memerah sekarang. Aku bangkit dengan terlebih dahulu mengecup puncak kepalanya. Lalu duduk di sampingnya menyambar mangkuk mie yang begitu menggoda perut. Namun rasa pedasnya terasa membakar lidah.
Setelah suapan terakhirnya, aku menyuruhnya membuatkanku mie juga. Tak butuh waktu lama, semangkuk mie instan spesial buatan istriku tersaji. Aku tersenyum melihatnya membawa botol kecap. Ternyata dia tahu kesukaanku, hampir semua makanan selalu aku tambahi kecap.
Aku meliriknya, bukan hanya melirik tapi menatap, memandanginya yang terkikik di sampingku. Dia menggunakan piyama berlengan pendek dan celana pendek yang agak tersingkap memperlihatkan setengah pahanya. Aku menelan ludah tanpa bisa beralih dari pemandangan itu. Hanya setengah paha yang tersingkap namun mampu membangunkan cobra dari sarangnya.
Dua bulan aku lewati tidur bersamanya tanpa menyentuhnya. Jangan kira aku bodoh, aku hanya tidak mau memaksanya. Aku ingin dia melakukannya dengan suka rela atas keinginannya sendiri.
"Mau kemana?" tanyaku saat dia bangkit dari duduknya.
"Bobo," jawabnya singkat sambil kembali melangkah.
Aku mengikutinya masuk kamar, dia menuju kamar mandi untuk membersihkan make up lalu menutupi wajahnya dengan benda lain. Seperti itulah kesehariannya, begitu rapat menutupi wajah polosnya berpikir kalau wajahnya begitu buruk hingga tidak mau orang lain melihatnya.
Dia sudah terlelap saat aku selesai mengganti baju dan membasuh badanku membersihkan keringat yang menempel. Aku naik ke atas kasur, menyelimuti tubuhnya yang berbaring miring membelakangiku tapi tak lama dia berubah posisi menjadi telentang.
Perlahan -sangat perlahan- aku melepas masker yang menempel di wajahnya dengan hati-hati. Hingga kini aku masih bertanya-tanya alasan dibalik dia menyembunyikan wajahnya seperti ini. Wajahnya mulus tanpa noda atau jerawat tidak perlu ada yang harus disembunyikan apalagi sampai malu.
Dia begitu menggoda, wajah cantik dengan bentuk tubuh proporsional, tinggi semampai dan sangat menawan. Sejak pertama bertemu aku sudah menyukainya, apalagi bibir mungilnya yang sering mengerucut lucu menggodaku untuk mendaratkan bibirku di sana.
Cup!
Aku mengecup lembut bibirnya hingga membuatnya memberengut mengerutkan alisnya dengan bibir mengerecut. Aku menahan tawaku melihat ekspresi wajahnya. Hanya itu yang bisa aku lakukan setiap malamnya, mengecupnya diam-diam dengan menekan jauh-jauh rasa yang begitu mendesak di bawah sana. Hanya sebatas itu dan aku pun terlelap menyusulnya ke alam mimpi berharap bertemu dengannya dan menyalurkan apa yang tertahan.
***
Friska
Sabtu ini sepertinya hanya akan kami habiskan di rumah saja. Tidak ada rencana keluar atau kemana pun. Pagi ini begitu cerah, matahari sudah bersinar terik di langit yang tanpa awan. Aku sedang duduk santai di kursi malas dekat kolam renang.
Menikmati hangatnya matahari sambil membolak-balik majalah di temani secangkir the hangat. Rasanya tenang sekali tanpa gangguan siapapun. Biasanya kalau di rumah dulu hari libur begini selalu jadi hari paling riweh sepanjang masa. Penuh dengan teriakan mama, belum lagi ponakan-ponakan yang merengek ditambah nyanyian tidak jelas yang keluar dari pita suara Aya.
Di sini sepi, tenang, damai dan yang pasti aku bisa beristirahat tanpa suara berisik. Tapi lama-kelamaan aku merasa bosan. Entah kenapa tiba-tiba aku kangen Mama. Aku kangen di cereweti setiapa pagi olehnya, aku kangen omelan Mama yang selalu sama setiap paginya. Yaah, walaupun secara teknis aku selalu mendengar cerewetnya setiap pagi hingga hari ini.
Bagaimana tidak. Mama selalu membangunkan aku setiap paginya, jam lima subuh dia sudah menelepon dan memberikan kuliah subuh. Sebal sih, tapi kangen juga. Dua bulan lebih aku belum ketemu Mama.
Lamunanku tentang Mama dan rumah buyar oleh suara benda jatuh ke air. Pandanganku langsung tertuju ke kolam renang. Dia sedang berenang, meliuk-liukan tubuhnya di dalam air dengan lincah. Mirip kayak kodok ... oops ... ikan deh, ikan duyung. Dugong, dong!
Aku mengintip gerakannya dari balik majalah, setelah beberapa kali putaran dia naik. Tubuhnya berkilau terterpa sinar matahari, warna kulitnya tidak terlalu putih agak kecokelatan. Garis-garis tubuhnya tercetak jelas dan dia hanya memakai celana pendek ketat yang menempel di pinggang hingga setengah pahanya.
Wow. Aku menelan ludah melihat pemandangan indah di hadapanku. Dia begitu eksotis, tubuhnya ramping namun kekar berotot. Aku terpesona olehnya hingga rasanya seperti terhipnotis. Dan tanpa kusadari makhluk berkilau itu sudah berdiri di depanku dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya.
"Aku emang ganteng, kok. Nggak usah segitunya ngeliatin aku."
Untuk kesekian kalinya aku tertangkap basah sedang memandanginya. Aku memalingkan wajahku yang sudah semerah tomat busuk. Tangan basahnya menahan wajahku dan menghadapkan kembali ke arahnya yang berjongkok di sampingku.
"Liatin aja sepuas yang yang kamu mau. Im yours!"
Sumpah, aku nggak bisa berpaling darinya. Tatapannya membuatku beku tak bergerak. Dan saat dia mendekatkan wajahnya pun aku hanya diam tanpa bisa berpikir. Sedikit lagi, aku tak bisa bernapas seiring semakin dekat wajahnya. Dia menutup mata, aku pun begitu. Aku merasakan hembusan napasnya yang mengenai wajahku.
Hacchih!
Tiba- tiba dia bersin yang sontak mengembalikanku ke alam sadarku sekarang sambil menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Dia tak henti-hentinya bersin sambil menutupi hidungnya.
Miiiaaww...
Grey... aku mendesah kecewa dalam hati karena kedatangan Grey yang tiba-tiba meloncat ke pangkuanku. Eh, kecewa? Nggak, nggak. Maksudku, aku lega karena dia menjauh dariku dan aku bisa bernapas normal lagi sekarang.
Dia alergi pada bulu kucing, tapi kenapa dia membawa Grey kemari kalau dia tidak tahan terhadap bulunya? Aku tidak pernah menanyakan alasan dia menggiring Grey kemari, yang jelas aku terhibur dengan adanya makhluk berbulu ini di sini.
***
Galih
Gagal!
Gara-gara kucing itu aku gagal menciumnya. Aku melihatnya menutupi mulut dengan sebelah tangannya dan sebelah lagi memegangi perut menahan tawa melihatku tidak berhenti bersin.
"Seneng banget liat aku menderita," ucapku memelas lalu duduk di kursi sebelahnya setelah Grey dia usir masuk ke dalam rumah.
"Parah banget, sih. Sampe nggak berenti bersin gitu," ucapnya masih menahan tawa.
"Nggak kuat sama bulunya."
"Terus kalo nggak kuat kenapa bawa Grey ke sini?"
"Biar kamu seneng. Terbukti sejak Grey di sini kamu lebih banyak ketawa, aku seneng ngeliatnya."
"Tapi, kan kamu jadi bersin-bersin." Terselip nada menyesal dari ucapannya.
"Nggak apa-apa. Asal kamu seneng, nggak masalah."
"Makasih, ya." Dia menunduk, dengan ekspresi yang berubah menghilang senyum di bibirnya.
Sayang, jarakku dengannya agak jauh, terhalang meja kecil yang membatasi kursi yang kami duduki. Kalau tidak, mungkin aku akan mengulang kembali kejadian yang sempat gagal tadi.
***
Aku baru selesai mandi ketika melihatnya duduk di sofa depan televisi. Memindah-mindah channel tanpa minat. Aku duduk di sampingnya yang bersandar malas.
"Nggg..." gumamnya yang seakan ragu untuk mengutarakan isi hatinya.
"Bilang aja. Mau apa?"
"Aku pengen ke rumah Mama, boleh?" tanyanya ragu dengan suara kecil.
"Tentu boleh dong, Sayang." Pipinya memerah mendengar panggilanku. Aku putuskan aku akan memanggilnya dengan sebutan 'sayang'. "Mau berangkat sekarang?" dia mengangguk semangat dengan senyyum mengembang.
Dia pasti sangat merindukan keluarganya.
***
Friska
Kami sampai di depan rumah Mama yang disambut oleh ponakanku yang sedang bermain di pekarangan rumah. Tak lama Mama muncul dengan wajah semringahnya. Rasanya sudah lama sekali tidak melihat wajahnya.
"Ma, baru sebentar aku pergi dari rumah ini kok Mama keliatan tambah tua, ya?" candaku yang dibalas dengan tepukan keras di pantatku dengan mata melotot.
"Kok kesini nggak ngasih tahu dulu? Mau ngasih surprise, ya? Apaan? Udah isi ya?" wajah Mama semakin semringah sambil mengusap perutku yang rata.
"Udah. Tadi pagi..."
"Haaa... baru di test tadi pagi langsung ke sini?" Mama memotong ucapanku yang di salah artikan olehnya.
"Test apaan sih, Ma. Nih perut udah isi nasi uduk tadi pagi, makanya nggak usah nawarin lagi makan." Mama mendengus kesal dengan jawabanku.
"Kalian rajin 'eo-eo', kan?" ucap Mama tanpa tahu malu di depan kami semua yang disambut gelak tawa dari dia yang berdiri di sampingku.
"Apaan sih, Ma?" Aku mencolek perut Mama agak sedikit keras. Mama tuh kalau ngomong nggak pernah disaring.
"Tenang, Ma. Cucunya nyusul, ya. Kita masih pengen menikmati waktu berduaan." Dia berkata sambil merangkul pundakku.
"Penganten anyar, Ma. Lagi hot-hotnya!" Eh si Abang nyambung aja.
"Bener banget, Bang!" Dia tidak berhenti tertawa menanggapi ucapan Bang Andy.
"Kalo kita sih setiap hari hot ya, Say!" Kak Fury nyambung lagi. Di balas tatapan mesum Bang Andy yang langsung menyambar bibir Kak Fury dengan liar.
"Iyuuuhh!! Bang, liat sikon, dong! Banyak anak kecil ini!!" Aku berlalu meninggalkan pasangan mesum dengan menuntun kedua anaknya, si bungsu masih terlelap.
Nyesel datang ke sini kalo cuma disuguhin pemandangan begituan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top