Bab Tiga_a
Pagi ini aku terlambat bangun karena semalam tidurku sangat tidak nyenyak. Bayangan Om duda selalu melintas di mataku menghadapi kenyataan bahwa sebentar lagi aku melepas masa lajangku dengan paksa. Dengan orang yang tidak aku kenal dan baru pertama kali bertemu.
Sebenarnya nggak ada yang salah sama penampilannya. Aku akui dia keren, keturunan Mexico dari kakeknya, hidung mancung, rahang tegas, berbadan tinggi tegap dengan kepala licin alias botak. Benar-benar botak tanpa sehelai rambut pun. Berkilau. Terlalu tampan untuk ukuran lelaki berumur 36 tahun dengan status duda.
"Stop mikir tentang Si Om duda, Cha. Udah siang ini!!" kataku pada bayangan diriku sendiri di cermin sambil memoles bibirku.
Dengan kecepatan the Flash aku berlari menuruni tangga, kakiku terhenti saat mendengar suara asing dari arah dapur. Suara lelaki tapi bukan suara Papa atau Bang Andy. Terus suara siapa? Tamu? Siapa yang dateng pagi-pagi gini?
Tersulut oleh rasa penasaran, aku melangkah menuju dapur berniat berpamitan dengan Papa dan Mama, namun aku hanya diam di ambang pintu menuju dapur saat melihat siapa tamu yang datang.
"Ngapain diem di situ? Sini atuh, duduk!" ucapan Mama sontak membuat dia menoleh ke arahku. Dengan senyumannya dia menyambutku dan mengisyaratkan dengan mata agar aku duduk di sampingnya.
Seperti kerbau dicocok hidung, aku menuruti isyaratnya untuk duduk di sampingnya. Wangi tubuhnya sangat jelas tercium, aroma woody yang menenangkan. Membuatku lupa seketika kalau aku harus segera berangkat kerja. Aku meraih cangkir kosong dan mengisinya dengan teh hangat, menyeruput isinya, merasakan hangatnya teh yang menjalar di dalam perutku.
"Mulai sekarang Galih anter jemput kamu ke kantor," ucap Mama yang membuatku tersedak hingga terbatuk-batuk.
"Hah! Nggak ah, nggak mau!" Aku menolak dengan tegas ucapan Mama.
"Galih yang pengen anter jemput kamu, bukannya makasih kok malah ditolak, sih."
"Enggak! Aku bisa berangkat sendiri." Aku tetap menolak.
"Daripada desek-desekan naik bis, mending duduk manis di mobilnya Galih," ucap Mama nggak mau kalah.
"Enggak pokoknya enggak! Kayak anak kecil aja pake jemputan segala."
Aku beranjak dari dudukku dan berlalu. Aku memilih untuk berangkat kerja saja dan memang semestinya begitu. Aku berjalan menghentakan kakiku dengan kesal.
Selalu aja, Mama tuh suka seenaknya gitu. Mutusin hal tanpa persetujuanku.
Aku udah gede, udah dewasa, tapi kenapa Mama nggak pernah ngebiarin aku ngambil keputusan sendiri, semua pasti gimana Mama. Apa-apa harus Mama yang nentuin. Kesel!!
***
Galih
Berawal dari sebuah foto yang mama kirimkan padaku seminggu yang lalu. Foto perempuan cantik yang mama bilang akan menjadi pendampingku jika aku menyukainya. Aku melihat foto itu, mengamatinya dan langsung menentukan keputusanku bahwa aku menyukainya.
Siapa yang akan menolak perempuan secantik dia? Hanya lelaki bodoh yang akan menolaknya dan aku bukan termasuk lelaki bodoh. Dan setelah bertemu dengannya untuk pertama kali, aku semakin menyukainya. Meski dia hanya diam saja sambil menundukan kepala dengan wajah tertekuk namun tidak mengurangi kecantikannya.
Aku mengerti kegelisahannya yang tidak mau dijodohkan dengan pria asing, apalagi dengan status duda. Aku mengerti tapi aku tidak akan mundur. Aku akan tetap melanjutkan perjodohan ini, meski bersikeras menolak namun dia tidak bisa menghindar.
Di sinilah aku sekarang, di rumah calon istriku dan melihatnya marah karena kesal dengan calon mama mertua yang seenaknya. Dia menolak kedatanganku yang berniat mengantarnya ke tempat kerja. Dia pergi begitu saja sambil menghentakan kakinya, tanda kekesalannya.
Aku mengejarnya, meraih tangannya, menggenggamnya dan seketika dia menghentikan langkahnya. Dia berbalik dengan wajah siap meledak. Sebelum dia meledak aku sudah menariknya, mendorong pelan tubuh semampainya ke dalam mobil yang terparkir di halaman. Lalu setengah berlari aku menuju sisi kemudi, bersiap untuk menjalankan roda empatku.
"Aku anter sampe halte bis," ucapku saat dia menatapku ingin protes. "Cuma sampe halte aja, kalo nggak mau aku anter sampe kantor nggak apa-apa."
Jarak dari rumahnya sampai ke halte bis lumayan jauh, dan itu harus ditempuh dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih lima ratus meter.
"Aku tahu kamu nggak suka, tapi kamu nggak bisa mundur. Aku rasa waktu sebulan cukup buat kita saling kenal sebelum menikah."
"Sebulan?" reaksinya tepat seperti dugaanku. Shock sekaligus marah dicampur kesal. Aku mengangguk.
"Mamaku juga mamamu udah sepakat kalo acara pernikahan kita bakal diadain bulan depan, tepatnya empat puluh hari lagi." Dia semakin shock. Dan itu membuat wajahnya semakin lucu dan menggemaskan. Bibirnya maju ke depan dengan alis mengkerut. Rasanya ingin sekali melumat bibir tipisnya yang nampak begitu menggoda.
Dia sibuk dengan pikirannya hingga tidak menyadari kami sudah sampai di tempat dia bekerja. Aku sengaja mengajaknya mengobrol tentang rencana pernikahan kami agar pikirannya teralih.
"Kita udah sampe," ucapku membuyarkan lamunannya dan menatap bingung ke luar, sepertinya dia berpikir bagaimana bisa sampai kantornya tanpa dia sadari. Dia langsung turun begitu saja tanpa kata tanpa pamit dan segera menghilang dalam gedung berlantai lima itu.
Aku merogoh saku jasku, mengambil handphone, mencari kontak lalu menelepon. Tak lama terdengar sapaan dari seberang.
"Ma, majukan tanggal pernikahan kami jadi bulan depan. Aku nggak mau nunggu lama."
***
Tepat pukul lima sore waktunya dia pulang. Aku sudah standby di depan kantornya sejak sepuluh menit yang lalu. Dia pasti tidak suka aku ada di sini apalagi berniat untuk menjemputnya. Tapi aku yakin dia tidak akan bisa menolak.
Dari kejauhan aku melihatnya berjalan sendiri dengan gontai. Sepertinya dia kelelahan dan kehadiranku di sini pasti membuatnya semakin lelah. Dia berjalan semakin dekat, aku membunyikan klakson sekali untuk memberitahunya bahwa aku ada di sini. Dia menoleh ke arahku, menatap sekilas lalu kembali lagi berjalan dengan tidak peduli.
Tiin. Tiin. Tiiin.
Aku kembali membunyikan klakson berkali-kali dan berhasil membuatnya menghampiriku dengan wajah kesal. Aku menurunkan kaca jendela saat dia berdiri di sampingku.
"Masuk," ucapku menahan tawa melihat wajahnya.
"Nggak usah. Bilang aja mau ngapain!" ucapnya ketus.
"Aku jemput kamu. Ayo masuk."
"Nggak usah. Makasih," ucapnya sambil membalikkan badan dan pergi menjauh.
Aku menyusulnya, sama seperti tadi pagi namun dengan hasil yang berbeda. Dia menangkis tanganku, menolak untuk aku sentuh. Oke, aku tidak akan memaksanya. Aku mengerti, ini terlalu tiba-tiba untuknya.
"Apaan sih, Om?" bentaknya dengan suara tinggi.
Aku terkikik mendengar panggilannya untukku. Om?
"Aku cuma mau jemput aja, kok. Yuk!"
"Nggak!"
"Emang nggak cape pulang naik bis, desek-desekan di dalem sana. Udah panas, gerah, keringatan, bau lagi. Aku anter aja." Dia diam mendengar bujukanku. Mungkin dia sedang menimbang-nimbang karena perkataanku ada benarnya.
"Yuk!" Aku menarik tangannya pelan, menuntunnya masuk mobil, tanpa protes dia duduk, memasang seat belt dan menyandarkan tubuh lelahnya dengan nyaman.
Slow but sure. Sepertinya aku harus pelan-pelan melakukan pendekatan dengannya. Dia tipe perempuan yang agak sedikit keras kepala. Harus banyak bujuk rayu.
***
haiiii... makasih udah mau mampir and baca.
minta bintangnya, bolehh?! ^^
oiyaa...menurut kalian om dudda gimana, ya??
coretannya doongg...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top