Bab Lima_a
Galih
Tiga hari terakhir sebelum D-day mengharuskan aku berjauhan untuk sementara waktu dengan dia. Tidak boleh bertemu dengannya, sebutannya mesti di pingit. Dan selama itu aku hanya bisa menghubunginya lewat telepon atau mengiriminya pesan meski jarang di balas olehnya.
Dan akhirnya hari itu tiba. Hari di mana aku mengucap sumpah suci, ber-ijab qabul di hadapan penghulu juga sejumlah saksi. Hari di mana aku mengubah status dudaku dengan wanita pilihanku. Semoga saja pilihanku kali ini tidak salah, karena aku menikahinya bukan karena nafsu sesaat yang pernah menjerumuskanku. Aku menikahinya dengan niatan baik. Memang belum ada cinta di antara kami, tapi apalah arti sebuah rasa yang disebut cinta jika sebuah hubungan bisa dijalani tanpanya.
Aku yakin semua akan baik-baik saja.
***
Friska
Saat seperti ini ingin sekali rasanya mempunyai pintu kemana saja milik doraemon. Ingin menenggelamkan diriku di samudra Hindia. Menguburkan diri hidup-hidup dalam es di antartika. Menghilang ke planet lain. Atau apa pun lah asal aku bisa lari dari sini. Kabur di hari pernikahanku.
Dua orang penata rias sedang memoles wajahku dengan handal. Kalu saja suasana hatiku tidak buruk mungkin aku kan mengamati pergerakan tangan kedua orang itu kemudian menirunya nanti. Sayangnya, aku malas memperhatikan apalagi untuk mencuri ilmu tata rias mereka. Yangn aku lakukan sekarang hanya duduk di depan meja rias penuh dengan lampu di sekelling cermin besar di hadapanku.
Wajahku tertekuk sempurna membuat Nilam yang bertugas mendadani wajahku berkata "Senyum, dong!" berulang kali. Dan aku hanya menarik bibirku ke samping tanpa minat sama sekali.
Voilla!! Aku selesai di dandani dengan hasil yang sangat luar biasa. Kebaya indah yang melekat di tubuh rampingku, riasan wajah yang tidak terlalu tebal tapi terlihat pas dengan wajahku, menojolkan bentuk wajah ovalku dan rambut yang di sanggul ala pengantin Sunda begitu mengagumkan. Minus senyum di wajahku yang tidak pernah muncul sejak beberapa hari terakhir.
"Cha! Ayo, mempelai pria udah siap di depan," ucap Mama dengan bibir yang terus tersenyum lebar. Mama orang paling sibuk menyiapkan acara ini, dia semangat sekali menyambut hari kehancuranku. Ini sih namanya bersenang-senang di atas penderitaan anak sendiri.
"Senyum Dong, Cha! Malu banyak tamu ngeliatin, entar disangkanya kawin paksa lagi," ucap Mama sambil menuntunku menuju pelaminan, memaksaku tersenyum.
Emang iya kawin paksa! Mama kan yang pengen aku nikah sama orang asing yang nggak aku kenal. Mama yang seenaknya bikin rencana super duper gila kayak gini.
Emosiku serasa sudah sampai puncak kepala, siap meledak. Mataku terasa panas luar biasa, ingin mengeluarkan air mata untuk mendinginkan kedua bola mataku. Hanya beberapa langkah lagi aku sampai di hadapan penghulu, duduk di samping lelaki yang akan mengucapkan ikrar suci, sumpah seumur hidup. Semoga aja dia salah sebut bacain sumpah pemuda.
Dengan sekali tarikan napas, dia mengucap ijab qabul dengan lancar. Kayaknya dia udah ngapalin kata-kata itu berhari-hari sampe nggak ada salahnya sedikit pun. Bahkan ngucapain namaku yang lumayan belibet juga dia bisa tanpa cacat.
Seluruh tamu undangan yang hadir sebagai saksi pernikahanku menghela napas lega dan berucap syukur berbarengan. Membuatku semakin tertekan karena mulai detik ini aku sudah sah menjadi istrinya. Di hadapan Tuhan dan secara hukum. Aku adalah seorang istri. Status baru yang belum ingin aku sandang.
Tiba saatnya acara sungkeman, meminta doa restu demi kelanggengan pernikahan kami. Aku menangis sejadi-jadinya. Mengeluarkan uneg-uneg yang mengganjal sedari tadi.
Mungkin orang lain melihat aku menangis bahagia karena sudah sah menjadi pasangan suami istri dari lelaki yang aku cintai, namun berbanding terbalik dengan apa yang aku rasakan. Aku menangis pilu, meratapi nasib burukku yang berakhir tragis. Sebutlah aku berlebihan menilai hidupku sendiri, tapi kenyataannya memang seperti itu.
Wanita mana yang akan bahagia kalau dipaksa menikah dengan orang yang tidak pernah kita kenal sebelumnya. Wanita mana yang terima dijodohkan seperti ini. Aku nggak bisa ngebayangin hidupku ke depan bakal seperti apa. Entahlah...entah.
***
Galih
Sepanjang acara dia hanya diam setengah melamun, menyalami tamu setengah hati dengan senyum yang amat dipaksakan. Mama mertua berulang kali memarahinya karena tidak mau tersenyum dan hanya menampilkan wajah cemberut dengan bibir yang maju.
Hingga acara berakhir pada malam hari, ekspresinya semakin kacau. Enggan, lelah, penat, bete, kesal, sebal dan lainnya bercampur aduk membuat wajah cantiknya terlihat kusut masai. Dia sama sekali tidak menyentuh makanan, hanya minuman yang berhasil masuk ke perutnya.
Saatnya masuk kamar. Mungkin jika dia bisa memilih dan bersuara, dia akan memesan kamar yang berbeda denganku tapi dia sadar kalau hal itu sangat tidak mungkin dilakukannya. Mengingat betapa ketat penjagaan Mama mertua yang mengantarnya hingga ke depan kamar VIP hotel ini sebagai saksi malam pertama kami. Dan aku tidak yakin dia akan menyerahkan tubuhnya begitu saja pada pria asing sepertiku, meski status kami sekarang sudah resmi sebagai suami istri.
Begitu masuk kamar, dia langsung menuju kamar mandi, membersihkan diri terlebih dahulu dengan membawa koper kecil yang sudah disiapkan oleh Mama mertua. Tiga puluh menit pertama berlalu tanpa suara di dalam kamar mandi. Menit berikutnya terdengar suara air mengalir. Dan lama setelahnya dia tidak juga keluar dari kamar mandi.
Tok. Tok. Tok.
"Kamu baik-baik aja di dalem?" tanyaku khawatir, takut terjadi apa-apa pada dirinya.
"Ya!" Terdengar jawabannya setengah berteriak, mungkin kesal. Dan itu tandanya dia baik-baik saja hanya perlu waktu untuk mempersiapkan diri.
Bermenit-menit berikutnya, dia keluar dengan memakai bath robe yang menutupi tubuhnya dan handuk putih yang menutupi kepala hingga wajahnya. Seakan bersembunyi, tidak ingin aku melihat wajahnya. Aku tersenyum geli, tapi tak lama aku segera masuk ke kamar mandi bergantian dengannya untuk membersihkan tubuhku yang lengket. Aku membiarkannya berkutat dengan pemikirannya sendiri. Malam ini aku tidak akan mengganggunya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top