Bab Enam_b

Friska

Lama-lama deket dia aku bisa mati kejang. Seenaknya aja main cium. Pagi ini aja dia udah dua kali nyium aku tanpa permisi. Istri sholeha katanya, cih!

Tadi dia bilang apa? Honeymoon?

Bukannya honeymoon cuma buat pasangan menikah? Kami memang menikah tapi bukan 'menikah'. Menikah hanya status. Dan mungkin sampai kapanpun aku tidak akan pernh merasakan apa itu honeymoon. Kalau cuma berlibur sih, sendiri pun aku bisa.

Aku masuk ke ruang editor, tempat aku menghabiskan waktu selama inij. Dan reaksi semua orang yang ada di sana benar-benar heboh. Semua menghampiriku penuh pertanyaan.

"Kok udah masuk lagi," tanya Susan dengan perut siap akan meledak.

"Kangen kamu, San." Jawabku asal sambil lalu menuju meja kerjaku.

"nggak honeymoon dulu?" tanya Tari yang menggantikan Mila setelah tahun lalu dia resign karena tidak diizinkan bekerja oleh suaminya.

"nggak."

"Kasian banget sih, suaminya pasti sibuk, ya?"

"Ho-oh."

"Maklumlah dapet suami pebisnis furniture nomor satu gitu, loh!" Mulai deh mereka meledekku. Dulu aku diledek karena kelamaan jomblo sekarang setelah dapet suami masih aja diledek.

"Ngomong-ngomong, suami kamu ganteng abis. Keren banget,' ucap susan dengn genit. Semenjak hamil dia menjadi sainganku, suka melihat pria tampan. Padahal sebelumnya dia anti banget begituan malah sering mengejek kelakukanku yang tak pernah bosan menatap pria.

"Inget suami, inget perut tuh, kalo bayinya keluar trus ngeliat kelakuan emanknya kaya begitu minta masuk lagi dia dalam perut!"

'Yee... sinis amat sih Non. Kalem aja sih, aku nggak doyan rebut suami orang. Gitu ja cemburu!"

"Dih siapa yang cemburu?" kataku semakin kesal. Untungnya Pak Tino keburu datang jadi perdebatan kami bisa berhenti cukup sampai di sini.

Aku kesal bukan karena cemburu, tapi aku kesal karena membahas dia. Aku masuk kerja karena ingin lepas dari dia, tidak berkubang terus di rumah yang setiap sudutnya seakan menjelma menjadi dia. Meski pun sejak hari kedua kami menikah dia sudah kembali bekerja seperti biasa tetap saja tinggal di rumah itu sendiri membuatku merasa tidak nyaman. Tidak ada sesuatu yang bisa aku kerjakan.

***

Galih

Terhitung dua minggu kami menikah dan selam itu dia belum mau menerima kenyataan bahwa dirinya sudah menikah. Aku perhatikan setiap hari dia hanya menghabiskan waktu di depan televesi atau tenggelam dalam majalah-majalah fashion.

Kebiasaannya memakai masker saat tidur pun masih berlangsung. Sepertinya dia anti untuk memperlihatkan wajahnya padaku. Kata Mama mertua, itu sudah kebiasaannya sejak lama. Orang lain tidak boleh melihat wajahnya yang polos tanpa make up, kecuali keluarganya sendiri.

Selama kami tinggal bersama tidak banyak yang kami bicarakan. Apalagi setelah dia memutuskan untuk kembali bekerja dan aku dengan kesibukanku waktu bertemu kami menjadi lebih singkat. Hanya pagi hari saat sarapan dan malam, itupun jika saat aku pulang dia masih terjaga.

Hari ini aku memutuskan untuk menjemputnya sepulang kerja. Ada sesuatu yang sudah aku siapkan di rumah untuk menyambutnya pulang. Dia pasti akan senang sampai rumah nanti. Meskipun aku harus jaga karena kalau tidak, aku bisa bersin-bersin tanpa henti.

"Lho kok, ada di sini?" tanyanya heran karena ini memang tidak biasa. Ini pertama kalinya aku menjemputnya selama dia kembali bekerja.

"Emang kenapa? Nggak boleh aku jemput istri sendiri? Masuklah, ngapain diem di situ." Dia menurut dan masuk ke dalam. "Mau makan di rumah apa di luar?"

"Terserah."

"Oke, makan di luar aja. Mau di mana?"

"Terserah."

"Gimana kalo seafood kaki lima?"

"Terserah."

"Kok jawabannya terserah mulu sih, kasih pendapat dong." Setiap kali berbicara denganya, dia seperti menguji batas sabarku. Sayangnya, dia salah kalau mengira aku akan marah. Aku justru senang beradu argument dengannya dan melihatnya manyun-manyun kesal.

"Terserah ajalah, mau kemana dimana makan apa. Nasi goreng pinggir jalan juga jadi!"

"Oke!" Aku melihat ke sekeliling dan menghentikan mobilku di depan tenda penjual nasi goreng.

"As your wish, nasi goreng pinggir jalan." Aku turun dengan menahan tawa melihat wajah kesalnya yang siap menghantamku dengan heels-nya.

Dia pun ikut turun dan duduk di kursi panjang di sampingku. Aku memesan dua porsi nasi goreng, manis untukku dan pedas untuknya. Tak lama dua porsi nasi goreng pun tersaji, aroma bawang goreng menguar membuat air liur tak bisa berlama-lama diam di mulut. Aku segera menyuapkan sesendok demi sesendok nasi goreng ke dalam mulutku. Tapi tidak dengan dia yang sibuk memisahkan bawang goreng tabur di atas nasi gorengnya.

"Kenapa kok dipisahin?"

"Nggak suka."

"Kenapa nggak bilang kalo nggak suka bawang?"

"Mana kutahu kalo nasi gorengnya pake bawang!"

Aku menarik piringnya mendekat, membantunya memilih bawang goreng yang bertaburan dan memindahkannya ke piringku. Aku mencari hingga potongan terkecil bawang goreng, setelah yakin tidak ada aku menyodorkan piringnya kembali dan dia pun mulai memakan nasi goreng dengan lahap. Sepertinya dia kelaparan.

Satu lagi yang aku tahu tentangnya, dia tidak suka bawang goreng. Aku mencatatnya dalam ingatanku.

Aku menyuapkan sendok terakhir nasi goreng pedas miliknya yang tidak habis dia makan ke dalam mulutku. Meskipun tadi dia terlihat semangat menyendokkan nasi goreng tapi ternyata kapasitas ususnya tidak besar. Dia hanya mampu menghabiskan dua per tiga porsi sisanya aku yang menghabiskan. Aku tidak suka pedas tapi aku tetap menghabiskan isi piring miliknya. Bukan karena sayang tapi perutku masih terasa lapar, siang tadi aku tidak sempat makan siang.

***

Sesampainya di rumah, aku menyuruhnya masuk duluan. Dan seperti yang aku duga dia berteriak histeris melihat apa yang bawa untuknya. Suaranya melengking sambil setengah berlari menghampiri binatang berbulu yang tiduran di sofa dengan riang.

"Grey!!" Dia memeluk kucing yang bermana Grey itu, mengusap-usap bulunya yang berwarna abu-abu. Kucing itu pun mengeong seakan menyambut rasa rindu dari pemiliknya. Wajah layunya berubah seketika.

"Ihh, bau! Mama nggak mandiin kamu ya? Mandi dulu yuk!" Dia membuka heels-nya dan melempar tas kerjanya sembarang demi menggendong Grey ke kamar mandi.

Aku mengikutinya, memperhatikan cara dia memandikan Grey, mengandukinya lalu menyalakan hair driyer untuk mengeringkan rambut lebat Grey. Begitu telaten hingga detail, bahkan telinga hidung dan mata Grey pun tak luput dari jamahan tangannya.

"Ngeliatin Grey kok aku jadi iri, ya. Pengen dimandiin juga sama kamu," ucapku sambil lalu setelah berhasil membuat wajahnya merah. Hahahaha...

***

tuuh kaaan... lagi-lagi bikin Icha mati kutu

wkwkwkwk

makasih udah mampir dan baca

bintang kecilnya jangan lupa diklik ya, guys!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top