Bab Enam_a

Hari menjelang sore saat dia memboyongku ke sebuah rumah yang cukup besar. Kebesaran sebetulnya kalau hanya ditinggali kami berdua.

Rumah ini berlantai satu dengan halaman yang luas dipenuhi rerumputan. Masuk ke dalam ternyata rumah ini terlihat lebih luas lagi, tiap ruangan hanya disekat dengan buffet lemari kaca yang besar di penuhi dengan pajangan antic. Masuk lebih dalam di sebelah kanan, kamar utama yang besarnya tiga kali kamarku. Tapi dengan perabot yang tidak banyak, hanya ranjang yang menghadap kaca pintu besar yang tembus langsung ke kolam renang di samping rumah. Meja berlaci di tiap sisi ranjang. Dan pintu besar dan lebar di salah satu tembok, boleh kutebak itu adalah walk in closet. Dan satu pintu lagi itu pasti kamar mandi.

Dia mengajakku berkeliling di rumah besar miliknya. Aku akui sangat indah, simple tidak banyak perabot dan nyaman untuk ditinggali. Yang jadi pertanyaannya sekarang, apa aku akan merasa nyaman tinggal di sini? Bersama om duda yang sekarang berstatus suamiku?

Aku rasa jawabannya TIDAK!

***

Tepat jam tujuh aku telah siap dengan setelan kantorku. Celana bahan berwarna krem, kemeja putih dengan tali yang melingkar di kerah baju dengan warna senada dengan celana yang aku ikat berbentuk pita di leherku. Heels hitam kesayanganku menjadi pelengkap kostum yang kupakai membuat tubuhku jenjangku semakin terlihat semampai.

Aku keluar dari kamar menuju dapur, di sana sudah ada Om duda yang sedang menyeruput kopi. Dia menatapku agak lama, menilik penampilanku.

"Mau kemana?" tanyanya dengan alis yang berkerut.

"Kerja lah Om. Bosen di rumah mulu." Aku menghampiri kulkas mengambil susu cokelat menuangkannya ke dalam gelas dan meminumnya dengan sekali teguk.

"Aku berangkat dulu," ucapku sambil lalu melewati Om Duda. Tapi dia berhasil menngkap pergelangan tanganku dan menghentikan langkahku. "Apa?"

"Aku anter, sekalian aku juga mau ke kantor." Dia berdiri lalu merangkul pinggangku setengah menarikku untuk mengikutinya.

"Tapi kita kan beda arah, Om." Tiba-tiba dia berhenti dan menghadapkanku ke arahnya.

"Kita udah nikah, kan?" tanyanya yang otomatis aku angguki tanpa perlawanan di bawah tatapan matanya yang begitu dekat.

"Trus, apa pantes kalo pasangan yang udah nikah nyebut suaminya 'Om'?" Aku menggeleng dan memalingkan wajahku dari tatapannya. "Trus?" Dia mengangkat wajahku dengan jarinya. "Kenapa masih manggil 'Om'?"

"Belum biasa," ucapku dengan napas yang tercekat. Indera penciumanku penuh dengan aroma kopi yang menguar dari tubuhnya.

"Biasain dong. Coba deh, sebut namaku!" O-ow. Kenapa aku ngerasa mukanya makin deket, ya?

"Galih, Come on. Try it!"

"Ga...lih." Aku memundurkan kepalaku perlahan sejurus dengan majunya kepala si botak.

"Once more!" Suaranya terdengar begitu lembut, seperti menghipnotisku.

"Galih."

"Good." cup!

What??! Dia menciumku! Dia mencium bibirku. Haahh!!

Tubuhku kaku seketika saat dia berhasil mendaratkan bibir seksinya di bibirku tanpa seijinku. Hanya satu detik namun efeknya sanggup membekukanku. Dia tersenyum menggoda melihatku diam tak bergerak dengan mata terbelalak. Sepertinya dia merasa puas telah membuatku shock menerima perlakuannya yang begitu tiba-tiba.

Tangannya kembali menyusup ke pinggangku, merangkul lalu menuntunku ke dalam mobilnya. Kami pun berangkat denagn dia yang tersenyum puas.

***

Galih

Aku tak sanggup menahan diri melihat bibir merahnya yang mengucap namaku dengan sangat lembut. Yah, setidaknya begitulah yang aku dengar. Dia kembali shock mendapat kecupan tiba-tiba dariku. Hanya sebuah kecupan satu detik tapi kenapa membuatnya begitu tegang? Tidak mungkin rasanya kalau ciuman itu pertama kalinya untuknya.

Dalam perjalanan pun dia hanya diam, entah apa yang dipikirkannya. Dia terlihat gugup dan tidak mau melihat ke arahku. Apa karena ciumanku tadi?

"Aku minta maaf karena kita belum sempat honeymoon," kataku memecah keheningan. Kami memang belum sempat merencakan bulan madu karena kesibukkanku yang tidak mengizinkan aku untuk libur. Hari kedua pasca menikah aku langsung kembali ke kantor. Keterlaluan memang.

"Ohh... nggak apa," ucapnya dengan senyum kaku.

"Mungkin kita bisa ngerencain dari sekarang, kalo ada waktu kosong kita langsung berangkat."

"Nyantei aja lah. Lagian aku juga banyak kerjaan di kantor," ucapnya seakan enggan membahas tentang segala rupa yang menyangkut pernikahan.

"Ngerencain aja nggak ada salahnya, kan?"

"Iya sih, tapi nanti-nanti aja deh."

"Oke, terserah kamu deh." Benar kata Mama mertua kalau dia perempuan yang keras kepala. Mungkin nanti aku akan tahu seberapa keras kepalanya dan cara untuk melunakannya.

Aku menghentikan mobilku di pelataran parkir tempat dia bekerja. Dia bersiap turun dengan membuka seat belt terlebih dahulu dan sebelum dia membuka pintu aku menahan tangannya hingga dia berbalk menatapku siaga.

"Sun tangan dulu." Aku menyodorkan tangan kananku ke arahnya dan dia hanya menatapnya. "Istri sholehah mesti cium tangan suami sebelum berangkat kerja," ucapku dan dia menurut meraih tanganku dan menempelkannya di keningnya.

"Aku bilang sun tangan, kalo sun itu kan pake bibir, bukan pake jidat." Dia mendengus dan mencium tanganku dengan bibirnya meski setengah hati tapi dia mau melakukannya. Aku mendekat dan mencium keningnya dengan kecepatan yang tidak bisa dihindarinya. Lagi-lagi dia shock. Sepertinya aku punya hobi baru sekarang, membuat istriku shock.


***

iisshh... Galih punya hobi baru kayaknya.

ngerjain Icha sampe mati kutu ^^

hallo, makasih udah baca.

jangan lupa klik bintang, ya!!

sankyu...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top