Bab Dua

Seminggu ini pikiranku tidak tenang, sejak rencana konyol Mama yang mau menjodohkanku dengan duda hingga saat ini Mama selalu saja mengoceh dan memaksaku untuk menuruti kemauannya. Padahal aku masih ingin sendiri, aku masih betah dengan statusku ini. Nggak peduli dengan bibir tetangga yang menggosipkan aku sebagai perawan tua yang nggak laku-laku. Yang penting aku happy, apa urusannya sama mereka.

"Dek!" suara bass Bang Andy mengagetkanku dari lamunan penuh kekesalan. Dia duduk di sampingku, menyandarkan tubuh berototnya di sandaran kursi. "Mama cuma khawatir liat kamu yang betah ngejomblo. Dia sayang lho sama kamu, makanya Mama mau ngejodohin kamu biar bisa move on dari masa lalu."

Aku dan Mama baru saja bertengkar, alasannya apalagi kalau bukan Mama yang terlalu memaksakan kehendak. Tanpa seizinku, tanpa sepengetahuanku dan tanpa meminta pendapatku terlebih dahulu Mama memutuskan untuk segera menyelenggaran acara lamaran dengan si Om duda. Kata Mama, Om duda itu udah setuju dan langsung mengiyakan niatan Mama untuk mempersatukan kami. Dan besok rencananya keluarga kami kecuali aku, janji ketemu dengan keluarga Om duda itu untuk perkenalan.

Hhh! Perkenalan? Mempersatukan? Apaan?!

"Emang kenapa sama masa lalu aku? Biasa aja ah," kataku malas.

"Nggak usah bohong, Dek. Abang tahu rasanya dikhianati. Tapi kan itu udah lama banget udah saatnya kamu buat move on dan lupain semua."

"Aku emang udah lupa kok."

"Kalo iya udah lupa, kenapa masih sendiri sampe sekarang?"

"Pengen aja," ucapku mengangkat bahu menyembunyikan hatiku yang pernah kecewa.

"Let's gone by gone, biarin masa lalu jadi kenangan. Let it flow like a wind blow at winter yang dinginnya nyelecep. Lepasin. Lupain."

"Mulai deh si Abang sok-sok-an pake istilah inggris segala. Pokoknya aku masih pengen sendiri aja, belum mau cari pasangan."

"Berkeluarga tuh enak lho, Dek. Ada temen berbagi suka dan duka. Liat dong Abang sama Fury. Sosok keluarga idaman penuh kebahagiaan, aman, damai, sentosa dan sejahtera." Abang berkata dengan bangganya.

Beuh, kalo wujud bahagia kayak keluarga Abang sih, aku mending milih jomblo seumur hidup aja dah.

***

"Mau kemana? Udah cantik aja," ucap Mama yang sedang membuatkan kopi untuk Papa.

"Ke rumah Olivia, anaknya ulang tahun hari ini."

"Ngapain ke sana?"

"Jadi badut penghibur buat tamu undangan," kataku sewot. "Kalo nggak diundang ngapin juga ke sana atuh Mama."

"Jangan marah lah, becanda aje," ucap Mama terkekeh melihatku mengerucutkan bibir. "Kan yang ulang tahun anaknya, kenapa kamu yang datang?" tanya Mama lagi.

"Lho, emang kalo anaknya yang ulang tahun aku nggak boleh dateng?"

"Biasanya kalo yang ultah anak kecil ya yang diundang anak kecil juga. Atau bawa aja Fahira, biar nggak malu nanti."

"Kenapa mesti malu?" tanyaku dengan menautkan kedua ukiran alisku.

"Ya takutnya ada yang nanya, 'mana anaknya?' gitu."

MAMA! Nggak bakal ada yang nanya kayak gitu, secara semua orang udah pada tahu aku tuh jomblo! Puas?

Aku menahan teriakanku sebatas dalam hati karena tidak mau memperpanjang obrolan yang selalu dengan hasil yang sama.

"Makanya cari jodoh sana biar nggak jomblo," lanjut Mama lagi seakan tahu apa yang ada di otakku. Eh, jangan nyari deng. Udah ada kok.""

Tidak mau berlama-lama dengan Mama yang pasti tidak akan pernah bosan membicarakan tentang jodoh. Aku pun pergi dengan hati dongkol.

Emang salah kalau umur segini belum punya pendamping??

"Jangan lama-lama, ya! Langsung pulang. Malam ini kita ada janji," teriak Mama mengiringi hentakan langkahku menjauh darinya. "Jangan kabur!!" tambah Mama lagi.

Emang niatnya mau kabur, kok.

***

Sampai di rumah besar dengan dekorasi ulang tahun bertema robot Gundam. Ini pasti bapaknya yang pengen alias suami Olivia, dia maniak banget sama Gundam dan robot-robot sejenisnya. Suasananya meriah, meski nggak banyak anak kecil yang hadir kalau dihitung nggak lebih dari lima belas anak tapi ada lebih dari tiga puluh anak berpakaian muslim berwarna putih yang duduk rapi di sisi kanan halaman rumah yang luas. Anak-anak dari yayasan yatim piatu.

Di depan ada meja besar penuh dengan kado-kado berbungkus kertas warna-warni yang lucu juga cake ulang tahun super besar dengan tema serupa, Gundam. Di sana sudah ada Olivia yang menggendong Kenzi kecil di samping suaminya yang terlihat semakin tampan. Dulu aku pernah berniat untuk mendekati Akira, namun kalah telak dengan Olivia.

"Ken Ken, selamat ulang tahun ya!" Aku memberikan ucapan selamat pada Kenzi, mencium pipi tembamnya yang putih, matanya sipit mirip bapaknya. Umurnya baru dua tahun tapi ketampanan sudah tercetak jelas di wajah orientalnya.

"Makin kinclong aja kamu," Aku beralih cipika cipiki dengan Olivia. Wajahnya bertambah ceria setelah kehadiran putra pertamanya.

"Masa, sih. Makanya cepet nikah biar tambah bahagia jadi awet muda," sindir Olivia yang sangat tahu kegalauanku.

"Ck! Jangan samaan kayak Mama deh." Aku memberengut kesal.

"Liat tuh!" Olivia menyikutku dan menunjuk dengan dagunya ke arah sekumpulan lelaki grade A plus. "Ganteng-ganteng ya?" lanjutnya sambil menaik turunkan alis.

"Bisa pesen satu yang kayak gitu nggak? Buat pajangan di rumah," ucapku menghela napas dengan mata menjelajah menelusuri satu demi satu lelaki-lelaki itu.

Aku sama sekali tidak memungkiri kalau lelaki itu adalah makhluk menggiurkan. Apalagi ditambah dengan otot-otot yang menghiasi tubuh tegap mereka yang membuat semakin sedap dipandang. Hanya sebatas pemandangan indah yang menyegarkan mata.

Tak lama teman-temanku yang lain datang. Mila dengan suami dan anaknya yang masih berusia sepuluh bulan. Susan juga hadir bersama suami dengan perut buncit hasil suntikan suaminya. Semua teman-temanku sudah memiliki pasangan hidup mereka masing-masing. Hanya aku. Cuma aku. Tinggal aku sendiri yang masih melajang. Kadang terselip rasa iri melihat mereka yang sudah berkeluarga, memiliki pasangan hidup berbagi suka dan duka.

Tapi saat aku ingin maju, hati, otak dan tubuhku menolak untuk menerima kehadiran seorang lelaki. Menikmati keindahan mereka terasa lebih baik dibanding harus memasukkan dalam hidupku karena mereka cuma akan mengotori hatiku. Saat ini hatiku sudah cukup bersih dan aku tidak mau ada noda hitam lagi di sana.

***

Tuhan, please kabulkan permintaanku sekali ini aja. Aku ingin menghilang sekarang ke negeri antah berantah yang nggak ada seorang pun di sana. Biar aku terbebas dari keinginan gila Mama.

Hhhh

Di sinilah aku sekarang. Di restoran mewah berbintang dengan design antic era victoria, bersama the big F dan keluarga Om duda tanpa Om duda. Katanya dia bakal datang telat karena urusan pekerjaan yang belum selesai. Yah, whatever lah. Aku sih berharap kalau dia sama sekali nggak datang dan tiba-tiba batalin rencana pernikahan konyol ini. Jadi, aku nggak usah repot beradu argument lagi sama Mama.

Mama begitu semangat membicarakan tema pernikahanku nanti bersama Tante Mala, the next Mama mertua yang juga terlihat sangat antusias. Mama sesekali bertanya tentang pendapatku dan aku hanya menjawab terserah Mama, lagipula apa pendapatku akan didengar olehnya, pasti ujung-ujungnya seperti biasa pendapat Mama lah yang terbaik.

"Nah, tuh dia datang," ucap Tante Mala sambil melambai pada seseorang di belakangku.

Di saat semua orang berdiri menyambut kedatangannya, aku hanya diam di tempat, sama sekali tidak beranjak dari tempat dudukku. Ini sebagai bentuk protesku yang terakhir, berharap semoga dengan begini si Om duda melihat ketidaksetujuanku kemudian membatalkan rencana ini karena kasian kepadaku.

"Hai," katanya sambil mengulurkan tangan ke hadapan wajahku yang tertunduk enggan menatapnya. Spontan aku mendongkak dan bertatapan langsung dengannya.

Mataku sama sekali tidak bisa berkedip melihatnya. Pria ini yang katanya duda berumur 36 tahun? Tapi sama sekali tidak terlihat seperti Om-om dalam bayanganku yang sudah kisut keriput berbadan tambun. Dia

"Fabio Galihardja," ucapnya lagi yang seketika mengembalikan kesadaranku. "Panggil aja Galih." Dia terkikik geli melihat aku tak berkedip menatapnya.

Sialan, hari pertama ketemu dia udah berani nertawain aku. Bukan salah dia sepenuhnya sih, salah mataku juga yang dengan seenaknya menikmati pemandangan yang seharusnya tidak dilihat. Kan aku jadi malu.

Dan dimulai lah acara ramah tamah perkenalan dengan calon suamiku. Suamiku? Terdengar lucu dan menyedihkan.

Dia terlihat antusias juga saat membicarakan rencana yang diajukan Mama dan Tante Mala. Sedang Papa dan Om Pras membicarakan soal bisnis, mereka bergerak di bidang yang sama yaitu furniture dan Papa begitu tenggelam dengan obrolannya bersama Om Pras. Hanya aku yang melamun dengan wajah tertekuk. Berbagai makanan yang terhidang di hadapanku teronggok begitu saja, sama sekali tidak tersentuh dan aku pun tidak berniat menyentuhnya.

Malam ini begitu membosankan meski terpampang pemandangan indah di depan mata.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top