Prolog
"Ibu tolong membungkuk sebentar, ya, Bu ... saya akan menyuntikkan anastesi ke punggung Ibu. Ini mungkin akan sedikit sakit, tetapi tidak akan lama."
"Saya—tidak bisa membungkuk." Aku gemetar, takut, dengan pusing yang mengganggu. Kepalaku sakit. Rasanya seperti mau pecah. "Perut saya besar sekali, kepala saya sakit, dan ... saya takut. Anak saya tidak bergerak, suami saya—"
"Tenang, Bu, tenang." Seorang perempuan berbusana seperti perawat dengan baju khas ruang operasi merengkuhku. "Bayinya baik-baik saja. Saya bantu membungkuk, ya, agar dokter anastesi bisa segera menyuntikkan anastesi ke Ibu. Operasi akan berjalan sebentar lagi."
Aku menarik napas panjang, meski rasanya sulit. Selang oksigen yang menempel di hidung, rasanya tak terlalu membantu. Aku seperti berada di ambang kematian, di mana ada setitik cahaya terang yang angkuh menantang tatapanku. Aku hanya bisa mengerjap dengan terus melafalkan istighfar dan syahadat, agar jika aku mati saat ini, setidaknya dalam keadaan mengingat Allah. Napasku berat, kepalaku sakit, dan rasanya ... ini adalah saat-saat terakhir.
"Dokter Faris datang." Suara itu terdengar bersamaan dengan pintu yang terbuka.
"Selamat malam." Pria yang tak bisa kulihat wajahnya, menatapku lekat selama beberapa saat. Ia menerima papan dengan kertas yang bertuliskan entah apa, lalu membacanya dengan saksama. Pria itu sudah siap dengan penutup kepala, kaca mata, masker yang menutup hidung dan mulutnya dengan sempurna, serta baju berwarna biru yang juga dikenakan oleh beberapa orang lain di ruang ini.
"Pre-eklamsia berat, Dokter," ucap perempuan yang tadi membantuku membungkuk. "Urine protein tinggi, tetapi kami masih bisa melihat detak jantung janin. Edema paru. HB 8,2 dan tensi terakhir sebelum anastesi, 190 per 120."
"Sudah diberi pereda tensi?"
"Sudah." Perempuan itu mengangguk, lantas kembali menerima papan dengan tumpukan kertas-kertas yang sepertinya berisi laporan kondisiku yang terdengar mengenaskan. Iya, pasti sangat mengenaskan. Aku ini, kan, sedang di ambang kematian.
"Operasi Sectio Cesaria Ibu Jelita Denara, Bersama Dokter Faris Hadinata, Sp, Og dan Dokter Evalia Putri, Sp. A. Senin pukul dua puluh tiga lewat dua puluh, dimulai."
Ah, sudah nyaris tengah malam rupanya. Informasi itu membuatku paham jika saat ini nyawaku berada di tangan mereka. Di tangan pria yang serius menatap perutku. Aku tak bisa merasakan apapun lagi, selain suara-suara mesin di ruang operasi ini. Kakiku seperti hilang, tubuhku seperti melayang. Aku tak tahu ini karena obat bius atau tubuhku yang mengantuk karena memang sudah waktunya tidur.
"Dokter ... saya mau tidur."
"Haemodinamik?" Pria itu bersuara, entah kepada siapa. Fokusnya masih pada perutku yang entah sedang diapakan.
"Stabil, Dok." Pria muda yang tadi menyuntikkan bius di punggungku, bersuara sambil terus memperhatikan alat-alat yang menempel di tubuhku. Lenganku acap kali diremas oleh alat tensi yang rasa-rasanya bekerja otomatis dalam rentang waktu tertentu. Belum lagi, jariku rasanya kaku karena alat entah apa yang menjepit jariku. Dokter muda tampan dan ramah ini selalu memperhatikan alat-alat disekelilingku dan bicara terus, seakan memintaku untuk terus sadar.
Pria itu menatap si dokter muda yang terus berdiri di samping kepalaku, lalu menatapku selama beberapa lama. Di tengah mataku yang rasanya sangat berat, aku bisa melihat matanya menyipit, seakan tengah tersenyum kepadaku. Ya, aku yakin ia tersenyum meski wajahnya tertutup masker biru itu.
"Iya, boleh, Ibu tidur saja."
Terima kasih banyak, Pak Dokter. Aku tak tahu apakah bisa membuka mata lagi jika sudah terlelap. Aku seperti sedang menyambut uluran tangan si cahaya yang ada di atasku, agar menerima ajakannya untuk pergi ke atas awan.
Senyap, meski aku mendengar percakapan antara tim medis yang menangani operasiku. Aku tak bisa memahami apa yang mereka bicarakan, karena aku tak bisa memusatkan konsentrasi. Aku hanya ingin terlelap lalu melupakan kejadian hari ini.
"Ibu Jelita Denara, selamat atas kelahiran putranya." Suara itu terdengar antusias dan riang. Suara perawat entah bidan yang tadi membantuku membungkuk dan menenangkanku.
Aku baru saja meraih tangan si cahaya dan ingin menaiki tangga ke nirwana, tetapi gagal karena suara tangis bayi yang pecah dan membuat jantungku seketika berdegup kencang. Apa ini? Apa yang terjadi hingga ada suara bayi menangis sekeras ini di tengah prosesku untuk lelap dan tenang?
"Sudah ada nama bayinya, Bu?" Pria itu menatapku sesaat, lalu kembali fokus pada perutku. Denting alat-alat medis terdengar, membuatku takut dan gugup.
Aku menggeleng pelan. Nama? Aku bahkan lupa jika aku saat ini sedang melahirkan seorang anak. Sebentar, yang menangis itu ... anakku? "Belum tahu, Dokter."
Pria itu mengangguk, masih fokus pada perutku. "Bintang. Sepertinya bagus, karena dia datang saat bintang-bintang sedang bersinar." Ia menatapku sesaat, dan menyipitkan matanya dengan sorot teduh.
Aku menarik kedua sudut bibirku, meski rasanya berat. Setidaknya, aku harus menghargai usaha dokter tua ini untuk membantu dan menghiburku, kan? Aku yakin dia melihat jelas pergolakan batin dan rasa tak nyaman yang menggangguku.
"Terima kasih, Dok, tapi ... kalau boleh ... saya minta tolong."
"Apa, Bu?" Dokter muda yang beberapa kali menyuntikkan cairan di selang infusku, menimpali. "Ada yang bisa kami bantu?"
"Tolong minta anak itu untuk diam. Saya mau tidur tenang, tetapi tangis anak itu sangat mengganggu. Saya ... tidak menyukai dia."
Ruangan ini hening, senyap, dan beku seketika. Hanya hawa dingin yang kurasa, bersamaan dengan suara tangis yang berangsur hilang. Baguslah, mereka menuruti pintaku agar aku bisa beristirahat dengan tenang. Aku menyukasi senyap dan ketenangan. Rasa lelah ini sangat menyiksa. Aku ingin pergi jauh, menyendiri, dan hilang.
"Tolong pastikan pasien merasa nyaman selama perawatan. Saya ingin dia tenang sebelum mulai memberikan asi kepada bayinya. Berikan pudding dan makanan lembut."
"Baik, Dok," jawab seseorang entah siapa, yang jelas bukan perempuan yang tadi membantuku menunduk. "Akan saya sampaikan kepada nutrisionist perihal pesan Dokter."
"Ibu Jelita. Nama ibu Jelita, kan?"
"Iya." Aku mengangguk pelan.
Dokter itu kembali menyipitkan matanya, tapi kali ini ... kurasa durasinya lebih lama. "Ibu akan baik-baik saja. Saya yakin, hati Ibu sejelita nama Ibu." Ia mengangguk pelan, masih dengan mata yang menyipit, dengan sorot menenangkan. "Operasinya sudah selesai. Saya tinggal ya, Bu. Proses selanjutnya akan ditangani oleh bidan. Jangan lupa makan yang banyak sebelum minum obat dan katakan saja kepada perawat apa yang ingin Ibu konsumsi agar merasa nyaman. Saya permisi dulu, ya, Bu."
Aku mengangguk lagi dengan mata mengerjap pelan, memindai langkah tegapnya meninggalkan ruangan dingin ini. Entah mengapa, kepergiannya dari ruangan dingin ini, membuatku seperti ... kehilangan seseorang yang berarti.
******
Halooo ... Ini cerita baru dari Hapsari. Sedang on going di Karyakarsa, dengan fast update dan sudah sampai bab 25. Akan publish di Wattpad seminggu sekali, setiap selasa/senin, dan akan menjadi dua minggu sekali jika sudah tamat nanti. Seperti As White As Yor Love, ini akan tamat di sini meski dengan jadwal posting yang lama.
Cerita ini rating dewasa menurutku, karena konflik yang tersaji agak sedikit berat (menurutku lagi) dan menguras emosi. Jadi, mohon bersabar kalau ada yang bikin misuh-misuh nanti wkwkwk
Udah segitu aja dulu infonya, nanti dikabarin lagi. Jangan lupa ramaikan, Bestie ... muaacchh!
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top