3. Permintaan Hati

Hallo, selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin. Hapsari posting bab 3 More Than Love, ya. Kalau mau baca full sampai tamat, sudah ada di Karyakarsa dan tinggal cuss ke sana. Versi full 46 bab sudah ada di KK dengan harga 92.000 rupiah. yang mau beli pecah bab juga ada dan bisa diakses semua di sana. Thankyou

******

Aku memahami pemikiran Lila yang masih berat menerima rumah tangga baruku. Ia menyayangiku, aku yakin itu. Lila hanya ingin yang terbaik bagiku, yaitu pria yang akan menemaniku dalam kondisi apapun. Hanya saja, kadang hidup tak seperti ekspektasi kita. Aku pun tak menyangka jatuh cinta pada Mas Faris, mengaguminya, menjadikannya panutanku, dan mau menjadi istrinya meski rentang usia kami cukup jauh.

Mas Faris adalah spesialis kandungan senior. Aku belum tahu tentangnya, sampai kami bertemu pada saat aku harus melakukan operasi cecar untuk melahirkan Bintang. Saat itu, aku yang masih terpukul atas kelahiran anakku sendiri, ditemani oleh Lila dan Liana, sahabatku. Dari Lianalah aku tahu banyak tentang Mas Faris dan kepada Lianalah aku menceritakan apa yang kurasakan saat itu.

"Kamu ... suka Dokter Faris? Yakin, Jel? Dia itu tua, Sayang. Setahuku, usianya sekitar lima puluh."

Aku tak bisa menjawab pertanyaan Liana. Rasa malu mendominasiku saat itu, tetapi aku tak mau memendamnya sendiri. Aku bingung dengan kondisiku yang kerap menangis, memukuli Bintang, emosional, dan merindukan pria yang memperhatikanku saat masa perawatan. "Aku ... selalu memikirkan dia dan membayangkan wajahnya. Kurasa, aku jatuh cinta. Dia ... tidak beristri, kan?"

Liana mengangguk menjawab pertanyaanku. "Dia tidak punya istri, tapi punya dua anak. Mantan istrinya di luar kota, ikut suaminya. Yang kudengar dari suamiku, paska mereka cerai, hak asuh anak jatuh ke tangan Dokter Faris."

"Aku ... rasanya aku tak pantas juga mengharapkan dia." Aku meremas tanganku yang terkait di atas pangkuan. Meski informasi Liana membuat lega, tetapi jika aku melihat kenyataan, tentu aku harus menelan fakta jika aku dan pria yang kusuka, tak akan pernah bisa berjalan. "Aku bukan orang medis kayak kamu dan Dokter Nino. Aku kan hanya pedagang tas bekas dan Dokter Faris itu ...."

"Dokter senior yang cukup terkenal di dunia kebidanan," lanjut Liana. "Aku selalu datang di nyaris semua seminar kebidanan yang narasumbernya adalah dia."

Aku tersenyum getir. "Makanya itu, rasa-rasanya aku gak pantas suka dan harapin dia." Aku menatap Liana malu-mali. "Orang medis seperti Dokter Faris dan Dokter Nino, biasanya dapat pasangan orang medis juga, kan? Jadi, aku gak boleh terlalu berharap. Cintaku sudah pasti bertepuk sebelah tangan."

Liana hanya mengangguk, lalu mengusap punggungku lembut. "Hyuk, kita fokus besarkan Bayu dan Bintang bersama. Kamu tahu, kan, kemana harus datang kalau lagi gak kuat? Aku dan Mas Nino akan membantu kamu dengan apapun yang kami miliki."

"Iya. Aku berutang banyak sama kamu dan Dokter Nino."

"Tidak ada utang budi dalam persahabatan, Jeli. Aku dan Mas Nino melakukan semuanya untuk kamu dengan tulus. Aku sayang kamu dan Mas Nino juga sayang sama anak-anakmu." Liana memelukku. "Jangan pernah merasa sendiri. Gak ada suami, bukan berarti semua beban jadi milikmu seorang. Ada kami yang akan selalu bantu kamu. Soal Dokter Faris, itu hanya ujianmu saja. Kamu tetap akan baik-baik saja, meski tak memiliki dia."

Suara pintu kamar mandi yang terbuka, membuatku tersadar dari ingatan saat aku bicara kepada Liana tentang perasaanku pada Mas Faris. Aku kini menatap Mas Faris yang baru keluar kamar mandi dan tersenyum kepadaku sambil mengeringkan rambutnya yang basah.

Kami sudah selesai makan malam bersama Bayu dan Bintang. Setelah makan malam, Bayu pamit tidur dan Bintang dibawa Syifa kembali ke kamarnya. Syifa sudah hapal, jika Mas Faris datang, anak-anak akan tidur dengannya karena aku akan bermalam di rumah ini bersama Mas Faris. Awalnya, Bayu kerap bertanya mengapa aku tak tidur dengan adiknya saat Mas Faris datang. Aku memberikannya penjelasan dengan sangat pelan dan sederhana, hingga ia mengerti jika saat ayahnya pulang, aku harus mendampingi ayahnya.

Mas Faris mendekatiku, lalu mengusap lembut kepalaku yang masih mengenakan jilbab. Iya, aku yang dulu menggerai rambut, kini menutupnya dengan jilbab, karena Mas Faris yang meminta. "Belum salat, kan? Siap-siap. Saya imami salat."

Aku mengangguk, lantas beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Ini yang kusyukuri dari pernikahanku dengan Mas Faris. Aku semakin dekat dengan-Nya, dibawah bimbingan dan arahan Mas Faris. Ia adalah pria yang sangat lembut dan menyenangkan. Senyumnya selalu membuatku merasa dimengerti dan dilindungi. Bersama Mas Faris, aku seperti kehilangan keberanian dan amarah. Aku selalu patuh dan tunduk pada semua arahan dan perintahnya. Apapun yang ia katakan, seperti perintah dan jalan takdir yang harus kulalui.

Kami salat bersama dengan khusyuk, aku berdoa kepada Allah, agar diberikan bahagia dalam rumah tangga ini, pun semoga suamiku panjang umur dan sehat selalu. Aku mencintai Mas Faris dan ingin bersamanya selama mungkin. Selamanya, sampai aku menutup mata yang panjang.

Seperti biasa, setiap Mas Faris datang ke rumah ini, aku akan memakai ranjang kami untuk bercinta. Di usianya yang lima puluh, Mas Faris cukup baik memberikanku nafkah yang satu itu. Benar apa yang kudengar dari Liana, bahwa pria tak memiliki kadaluarsa untuk urusan seksual. Selama pria itu tak memiliki masalah kesehatan yang berarti, mereka akan terus mampu memberikan wanita keturunan.

Percintaanku dengan Mas Faris selalu menyenangkan. Aku menikmati keintiman kami dan setiap sentuhan Mas Faris dalam penyatuan kami. Rasanya seperti utuh dan lengkap. Aku memiliki teman hidup dan seseorang yang bisa kuungkapkan cinta dan kerinduan.

"Mas." Aku memanggilnya lirih saat kami baru selesai bercinta. Kami masih saling memeluk setelah pelepasan indah yang kami dapatkan bersama.

"Ya?" Mas Faris mengusap lembut punggungku. Salah satu hal yang kusukai saat bercinta dengannya. Ia selalu memperlakukanku dengan lembut dan baik.

"Kapan—kita bisa tinggal bersama setiap hari?" Seharusnya aku tak boleh menanyakan hal ini. Namun, aku tidak tahu sampai kapan bisa bersabar dengan ritme rumah tanggaku yang tak seperi umumnya. "Mas hanya datang kepadaku satu minggu sekali. Selebihnya, Mas akan pulang ke rumah Mas bersama anak-anak. Kapan Jeli bisa menjadi ibu mereka?"

Mas Faris tak menjawab. Hening merajai kami selama beberapa saat, sampai akhirnya Mas Faris melepas pelukan kami dan beranjak menuju kamar mandi. "Rapikan kembali ranjangnya, Jelita." Ia bahkan tak menatapku saat memerintahkan itu. Langkahnya konstan meninggalkanku.

Melihat gelagatnya, aku hanya bisa menarik napas panjang, mengumpulkan kesabaran dan percaya kepadanya bahwa ini adalah yang terbaik. Mas Faris memang meminta waktu untuk menjelaskan pelan-pelan kepada anaknya, bahwa kami menikah dan meraka akan menjadi anakku. Hanya saja, aku tak tahu bagaimana sikap anak-anak Mas Faris, hingga sampai saat ini, mereka tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di rumah ini atau Mas Faris mengajakku ke rumahnya.

Aku turun dari ranjang, menarik sprei dan selimut yang tadi menemani kami melepas rindu, lalu memasukkan ke ranjang pakaian kotor. Bertepatan saat aku selesai mengganti sprei baru, ponsel Mas Faris berbunyi. Zia menghubungi. Dia adalah anak pertama Mas Faris.

Tanganku sedikit gemetar saat mengambil ponsel Mas Faris. Aku bingung apa yang harus kulakukan, hingga akhirnya memberanikan diri menekan ikon hijau.

"Ha—halo?"

"Ah, sundal sialan! Apa yang kamu lakukan kepada Papi hingga ia mengemudikan mobilnya ke neraka milikmu dan lupa pada anak kandungnya?" Suara itu melengking penuh amarah.

Ucapannya yang kasar membuat bibirku gemetar dan tubuhku panas dingin. "A—aku—maksudku, papimu sedang di—" Bukan ide yang bagus mengatakan kepada Zia jika ayahnya sedang mandi usai bercinta denganku. Meski dalam pernikahan hubungan seksual adalah hal yang lumrah, tetapi pernikahanku bukanlah pernikahan seperti milik orang kebanyakan. Aku taky akin Zia bisa menerima informasi tentang apa yang ayahnya lakukan barusan bersamaku, meski status kami adalah pasangan suami istri yang sah di mata hukum dan agama.

"Jangan pernah bermimpi memiliki papiku. Kamu hanya perempuan penggoda yang menjebak Papi hingga terpaksa menikahimu."

Sebuah pelukan hangat kurasakan saat aku nyaris kehilangan control diri. Zia memang selalu frontal menunjukkan ketidaksukaannya kepadaku. Sebelum aku dan Mas Faris menikah, kami pernah bertemu untuk perkenalan. Zia menghinaku, menghardik, lalu menangis dan mengatakan tak akan pernah setuju dengan pernikahanku dan ayahnya. Namun, pernikahan itu tetap terlaksana dengan kondisi Mas Faris tetap tinggal Zia dan Zayn, anaknya.

Tangan itu mengambil ponsel yang menempel di telingaku. Aku meyandarkan tubuhku pada dada Mas Faris yang masih setiap memelukku dari belakang.

"Im coming home, Zia. Papi hanya mengecek ibumu dan adik-adikmu."

Aku tak tahu apa yang Zia katakana kepada papinya. Yang jelas, Mas Faris terlihat sedikit tegang. Aku berbalik dan menatap wajahnya yang terlihat seperti tengah mendengar amarah. Matanya terpejam dengan rahang mengeras. Control diri Mas Faris memang luar biasa. Dia bisa tetap tersenyum dengan sorot teduh, meski dalam dirinya menahan banyak amarah.

"Right now, Zia. Tunggu Papi pulang. Papi jalan sekarang."

Satu sisi hatiku nyeri. Ini memang bukan hari Kamis, jadwal Mas Faris menginap di sini. Hanya saja, sungguh dia baru pulang, makan malam bersama anak-anakku, lalu bercinta denganku. Sungguh dia ingin pergi lagi meninggalkanku?

"Saya harus pulang." Mas Faris mematikan ponselnya, lalu menuju lemari mengambil pakaian. "Zia belum bisa menerima perniakahan kita. Anak perempuan memang selalu posesif kepada ayahnya."

"Sampai kapan, Mas?" Suaraku parau, mataku memanas, tetapi aku berusaha untuk tetap tersenyum dengan wajah tenang. "Sampai kapan kita menjalani pernikahan dengan ritme yang tak normal seperti ini?"

Mas Faris menghampiriku lagi setelah selesai mengaitkan semua kancing kemejanya. "Saya butuh waktu untuk membuat Zia menerima pernikahan kita."

"Sampai kapan?"

"Saya tidak tahu." Mas Faris menggeleng. "Saat ini, kamu yang bisa mengalah dan memahami kondisi kita. Zia belum cukup usia untuk memahami tentang pernikahan kedua."

"Tetapi ibunya sudah melakukan itu lebih dulu! Mengapa hanya pernikahan kita yang ditentang olehnya?"

Mas Faris menatapku dengan sorot tajam. "Kamu tahu saya tidak suka jika kita membahas tentang Imelda." Suaranya pelan, tetapi ada teguran keras yang bisa kurasakan. "Ini murni tentang pernikahan kita, bukan hubungan orang lain. Saya punya anak yang menjadi prioritas saya selain kamu."

Aku mengusap pipiku yang basah air mata. "Jelita minta maaf, Mas. Mas Benar, kita yang harus bersabar meminta anak-anak menerima pernikahan kita."

Mas Faris mengangguk, masih dengan wajah tegas. Ia lantas mencium keningku dengan lembut dan lama, lalu melumat bibirku sesaat. "Saya pulang dulu. Kamu jangan tidur terlalu larut." Ia berbalik, mengambil kunci mobil dan tas kerjanya, lalu meninggalkanku di kamar kami sendiri.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top