2. Rutinitas

Hallo!

Sudah Senin, artinya jadwal dr.Faris update! Cerita ini sudah sampai bab 44 di KK dan akan tamat di bab 46. Jadi, buat kalian yang gak mau nunggu lama, bisa langsung cuss ke KK. Naskah ini juga akan tayang di KBMapp mulai bulan depan. 

Oya, takut-takut Hapsari lupa, kalau Senin belum update, boleh dicolek biar keingetan wkwk

*****

"Mbak ada yang mau proses consignment." Lila memberitahuku. "Udah aku cek nomor seri tasnya, kondisi barang, dan semua kelengkapan termasuk dust bag dan kotak. Untuk harga, aku udah deal sesuai yang tertera di form pengajuan konsinyasi itu. Mbak cek lagi, ya, kalau oke, langsung diproses."

Aku mengangguk, lantas membuka form yang Lila katakan. "Aku proses pembeliannya sekarang aja. Kita beli putus. Seri tas ini laku cepat kalau kita post di IG dan live."

"Oke," jawab Lila sebelum kembali ke meja kerjanya.

Lila adalah adikku. Satu-satunya keluarga yang kupunya setelah orangtua kami tiada. Dia sudah menikah dan tinggal tak jauh dari rumahku. Suaminya bekerja sebagai pegawai negeri dan Lila yang belum dikaruniai anak, menyibukkan diri sebagai salah satu admin toko tas bekas milikku.

"Mbak Jeli, jadwal live sebentar lagi, ya." Syifa menginterupsiku yang baru selesai melakukan transaksi. Aku menoleh kepadanya, lalu mengangguk. "Dandan yang cakep, Mbak. Jangan lupa." Ia tersenyum, lalu kembali menuju rak tas yang biasa ia tata sebelum kami mulai live Instagram untuk menjajakan koleksi tas preloved yang kami miliki.

Ini adalah caraku memiliki uang. Membeli tas bermerek dari pemakainya, lalu kujual lagi dengan sistim bagi hasil. Tak semua merek tas kujajakan. Aku hanya menjual merek-merek tertentu yang kukuasai tipe dan kualitasnya. Pangsa pasar pengikut social media tokoku adalah wanita menengah yang menyukai tas layak pakai bermerek dengan harga miring. Aku memfasilitasi kebutuhan mereka dengan bisnis ini.

"Hai Bestie, selamat datang lagi di Lovely Jeli Preloved Bag and Shoes. Sore ini, aku mau kasih lihat koleksi terbaru kami yang baru datang pagi tadi. Ada lima tas dan tiga sepatu yang baruuu banget datang. Kondisinya sembilan puluh persen bagus dan kece banget. Aku juga akan infokan tas-tas yang masih available dan siap kamu adopsi."

Live Instagram yang selalu kugunakan untuk berjualan, dimulai. Syifa membantuku mengambil tas dari rak saat aku mempresentasikan spesifikasi, harga, dan model tas bermerek itu. Sementara Lila, memastikan sambungan internet dan perangkat saat live berfungsi sempurna. Ia juga mencatat pesanan-pesanan yang 'deal' selama live berlangsung.

Durasi kami melakukan live Instagram sekitar satu jam sampai sembilan puluh menit. Aku bicara menggunakan microphone yang terhubung dengan ponselku. Kami melakukan interaksi dengan pelanggan dan dealing beberapa koleksi yang laku saat live.

Setelahnya, Lila akan mengirim tagihan kepada para pelanggan, lalu memberikan rekap pesanan setelah uang masuk ke rekening kami. Rekapan itu akan Syifa pegang, sebagai acuan melakukan pengemasan. Barang akan kami kirim paginya, saat kurir ekspedisi yang bekerja sama dengan kami, mengirim paketan tas yang sudah konsinyasi dengan kami, sekalian mengambil paketan yang kami kirim.

Pekerjaan ini sudah kugeluti lebih dari tiga tahun. Sejak mendiang suamiku sakit-sakitan, kehilangan pekerjaan, dan aku harus mau menjadi tulang punggung keluarga demi Bayu. Apalagi, saat tahu aku hamil Bintang, aku semakin menggencarkan penjualan dan bisnis ini demi pendapatan. Hidup di Jakarta itu tidak mudah. Mencari uang di kota ini, nyaris tak kenal waktu. Saat aku hamil Bintang, aku bahkan tidur hanya tiga sampai lima jam saja. Aku sibuk memposting, menyiapkan paketan, dan pembukuan sendiri. Syifa belum ada saat itu dan Lila belum tinggal di rumah yang berdekatan denganku. Ia masih hidup bersama mertuanya dan sulit mengunjungiku karena jarak yang cukup jauh.

"Oke, terima kasih untuk yang datang live hari ini. Ada informasi juga untuk kalian, kalau Lovely Jeli akan menambah dua merek tas yang bisa kami jual di sini. Buat kalian yang mau titip jual tas branded kalian, silakan hubungi admin penjualan. Nomornya tertera di bio Instagram. Untuk yang mau beli, silakan hubungi admin pembelian. Sampai bertemu di live selanjutnya."

Kamera mati, aku mengembuskan napas lega, lalu meminta Syifa mengembalikan tas-tas yang kupegang ke raknya. Live selesai tepat pukul tujuh, sesaat sebelum Bayu pulang mengaji. Aku melirik jam dinding dan menghitung bahwa anak sulungku akan sampai rumah kurang dari sepuluh menit lagi.

"Live hari ini sebentar banget. Gak sampai satu jam." Lila berkomentar saat aku menghampiri Bintang yang sedang bermain di area berpagar plastic depan tivi. "Mbak kayak buru-buru banget."

"Capek, Lil. Lagian, udah cukup kok pembelian dari live-nya. Iya, kan? Deal berapa barang tadi?"

"Tujuh," jawabnya sambil terus menuliskan detail pesanan sambil memeriksa mutase rekening penjualanku. "Mbak ada masalah sama Mas Faris?" Ia menatapku sambil meletakkan pulpen dan ponsel. Sorotnya tajam dan penuh selidik, seakan mengulitiku demi menemukan kebenaran yang tak pernah kusembunyikan. "Aku masih mendukung Mbak, kalau Mbak mau lepas dari pernikahan konyol Mbak dengan dokter itu."

"Tidak ada pernikahan yang konyol, Lila. Dia suamiku, aku cinta dia, dan kami memang butuh waktu untuk menata hidup baru kami." Aku menggendong Bintang yang terlihat mengantuk. "Dia membantuku mengasuh dua anakku. Dia membantuku untuk tetap kuat dan punya harapan baru. Dia pria yang kucinta dan memberikanku semangat untuk bangkit setelah keterpurukan itu. Hubungan kami bukan hal konyol. Aku menganggap serius pernikahan ini, begitupun dia."

Lila mengembuskan napas kasar, sebelum memanggil Syifa dan memberikan catatan penjualan yang ia kerjakan tadi. "Aku masih gak setuju dengan pernikahan Mbak. Pernikahan aneh yang gak efisien. Mbak punya suami, tapi kayak masih janda. Pernikahan apa yang tinggal di rumah masing-masing dan jarang komunikasi. Mbak itu ... apa, ya? Aku merasa kalau Dokter Faris menikahi Mbak hanya karena kasihan dan ... aji mumpung, mungkin? Aku masih suka merasa tersinggung kalau pemikiranku bercokol di kepala."

Aku mengulas senyum tipis. Lila harus paham bahwa pernikahan kedua tak pernah sama dengan pernikahan pertama. Apalagi, pernikahanku dengan Mas Faris memang beda dari kebanyakan orang. "Aku cinta dia, dia bertanggung jawab atas aku. Itu udah cukup. Dia kasih aku nafkah untukku dan anak-anak. Perkara dia pulang ke sini seminggu sekali, itu hanya teknis. Dia masih punya anak yang harus dia temani setiap malam."

"Dan kenapa kalian tidak satu rumah saja?"

"Anaknya masih belum siap untuk itu."

"Tentu." Lila mengangguk. "Anak-anaknya gak akan pernah siap, karena mereka gak terima Mbak sebagai ibu sambung. Mbak hanya dianggap perempuan yang butuh belas kasihan karena menderita masalah mental paska melahirkan, lalu Dokter Faris entah angin dari mana melamar Mbak dan kalian menikah begitu saja. Ini masih terlihat konyol bagiku. Lalu, kalian hidup seperti pasangan selingkuh yang hanya tidur bersama seminggu sekali." Lila menggeleng dengan wajah yang terlihat prihatin. "Mau sampai kapan kalian begini?"

Ini mulai membuatku tak nyaman. Aku tak suka orang lain, termasuk adikku atau keluargaku, mencampuri urusan rumah tanggaku. Sudah kubilang berulang kali kepadanya, bahwa apapun di dunia ini membutuhkan proses. Pun pernikahanku yang masih seumur jagung ini. Aku dan Mas Faris baru terhitung bulan menjadi suami istri. Kami masih menata masa depan dan aku percaya kalau Mas Faris membutuhkan banyak waktu untuk merangkul berbagai pihak.

Duda cerai sepertinya memiliki banyak urusan dan tugas sebelum kembali menata hidup. Ada dua anak, mantan istri, dan keluarga lainnya yang pasti ikut rembuk dan berkomentar jika Mas Faris ingin menarikku satu rumah dengan anaknya. Belum lagi ... apa yang tadi Lila katakan tentang anak Mas Faris yang masih butuh waktu menerimaku.

Jujur saja, kondisi ini membuatku miris sendiri. Aku ingin diterima dan belajar menjadi ibu mereka. Namun, Mas Faris masih membatasiku dengan memintaku agar tak bertemu anak-anaknya dulu. Kami akan tinggal bersama suatu hari nanti, setelah ia berhasil merangkul dan menyadarkan bahwa ayahnya sudah memiliki istri lagi.

"Lil, gak usah bahas rumah tanggaku, ya. Ini hidupku, dan aku nyaman dengan itu." Setengah dusta, tetapi setengahnya lagi aku sunggung-sungguh. Meski aneh dan seringkali menyesakkan, aku nyaman dengan pernikahan ini. "Kamu tahu, aku cinta dia. Aku jatuh cinta ... bahkan pada pandangan pertama. Gak ada pria yang bisa bikin aku merasa terlindungi seperti dia. Kamu tahu, dia yang ada saat aku ingin menyerah saja dengan hidupku."

Lila tak menjawab. Ia hanya mengangkat bahu tak acuh, lalu membereskan buku, pulpen, dan ponsel yang tergeletak di meja lipat. Setelahnya, ia beranjak ke meja kerjanya, mengambil tas dan pamit kepada Syifa. Lila selalu begitu. Saat aku ingin kami berhenti berdebat tentang pernikahanku, ia akan bersikap ketus. Seperti anak-anak Mas Faris, Lila juga butuh waktu untuk menerima pernikahanku dengan pria itu.

Bersamaan dengan Lila yang membuka pintu rumahku untuk keluar, mobil Mas Faris melintas dan terdengar berhenti di rumah sebelah. Aku lantas berlari kecil membuka pagar rumah sebelah dan memberikan akses untuk Mas Faris masuk dan memarkir mobilnya.

Senyumku melengkung dengan hati berbunga, melihat suamiku turun dari mobil dan tersenyum kepadaku. Pernikahan kami mungkin terlihat aneh di mata orang lain, tetapi aku yakin kami saling memiliki ikatan cinta. Aku melirik motor Lila yang keluar dari rumahku dan pergi begitu saja. Biarlah, lambat laun adikku akan menerima Mas Faris dan pernikahanku ini.

"Tumben pulang?" Aku mengambil tas kerjanya, Mencium punggung tangannya dengan khidmat, lalu menggandeng tangannya setelah menerima kecupan ringan dari Mas Faris di keningku, dan masuk rumah bersama. "Saya cuma masak sup bakso dan perkedel. Ada ayam goreng, sih. Kalau Mas mau makan, saya buatkan sambal dulu."

Mas faris mengangguk santai. "Sudah selesai kerja?" Ia duduk di sofa ruang tamu kami, menumpuk kedua kakinya dengan santai, dan merentangkan kedua tangannya di atas punggung sofa. Gestur yang membuatku merasa ia menganggapku sebagai rumahnya.

"Sudah, tinggal Syifa kemas pesanan, tapi tadi malah ke kamar sama Bintang. Mungkin kelonin Bintang dulu." Aku menuju dapur setelah meletakkan tas kerja suamiku, lalu membuatkannya teh hangat. Mas Faris penyuka kopi, tetapi aku berkeras ia harus istirahat saat petang. "Mas tumben sudah pulang? Bukannya ini jadwal poli sampai jam sembilan?"

Ia mengangguk sebelum menerima cangkir teh dariku. "Aku majukan jam poli khusus hari ini. Jadi selesai sebelum pukul tujuh." Wajahnya terlihat teduh dan berwibawa. Ia selalu berhasil membuatku merasa berguna sebagai istri, hanya dengan melihatnya menyeruput minumanku dan menikmatinya.

"Kenapa memajukan jadwal?" Aku duduk di sampingnya, dan menikmati wajahnya yang membuatku nyaman.

Mas Faris meletakkan cangkir di meja, lalu menatapku dengan senyum tipis. "Saya mau pulang lebih cepat. Rindu istri."

Alasan sederhana, tetapi berhasil memorakporandakan pertahananku. Jantungku seketika berdegup kencang dan wajahku menghangat. Anehnya, tubuhku justru panas dingin dengan rasa asing yang menyenangkan.

"Mas mandi dulu. Jelita siapkan baju ganti, setelah itu Jeli ke rumah sebelah untuk siapkan makan malam kita." Aku mengulum bibir dengan kegugupan yang masih saja selalu menyerang. "Kalau Bintang sudah tidur, apa Bayu boleh ikut makan malam sama kita?"

"Tentu boleh." Mas Faris mengangguk. "Dia harus mengenal ayahnya, kan?"

Rasanya seperti mendapa kesegaran setelah panas yang menganggu selama berjam-jam. Yang Mas Faris ucapkan membuatku merasa hidupku kini sempurna. Aku memiliki pria yang menjadi ayah dari anak-anakku dan akan melindungiku. Ia bahkan sosok yang sangat kupuja dan panutanku untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.

Aku mengulum bibirku lagi, dan sedikit menggigit bibir agar tak terlihat salah tingkah. "Jeli ke kamar dulu, siapin baju."

"Kamu gak rindu?"

Aku yang sudah berdiri dan hendak ke kamar, berbalik dan menatap Mas Faris penuh tanya. Lalu, saat Mas Faris mengubah posisi pahanya dengan duduk tegap, aku tahu ialah tempatku bersandar.

"Tentu rindu, Mas. Rindu banget." Aku melepas malu-maluku dan duduk di atas pangkuannya. "Mas gak pulang minggu lalu. Saya sedih." Kepalaku bersandar di bahunya dan tanganku melingkari tubuhnya yang tinggi besar.

"Saya minta maaf." Rengkuhan Mas Faris terasa melindungiku. "Imelda datang dan memberitahu bahwa dia dan suaminya pindah ke kota ini. Melda membuka praktiknya sendiri dan suaminya bekerja di rumah sakit swasta ternama." Pelukan Mas Faris mengerat. Ia menyurukkan wajahnya di leherku dan bersandar di sana. "Kita akan lebih sering bersama. Saya janji."

"Jelita tunggu." Aku memberanikan diri mencium pipinya.

Mas Faris melepas pelukan kami, lalu menatapku dengan binar dalam selama beberapa saat. Aku tak tahu apa yang sedang ia pikirkan, tetapi saat wajahnya mendekat, aku hanya bisa menutup mata dan membalas pagutannya dengan rasa cinta yang kupunya.

**** 



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top