Degree 1.3

Mungkin ada baiknya jika Alle berhenti saja dari pekerjaannya saat ini. Meski sudah merasa pas dengan segala yang sudah dicapainya, tapi begitu bertemu dengan Aryan-klien serba ceriwis-yang selalu saja mengubah keputusan baru setelah desain selesai... Alle merasa dunia kerjanya tak lagi bagus.

"Dari sini, nih! Saya maunya lebih diperluas. Kamar saya nyatu aja sama ruang baca. Tapi ruang kerja nggak jadi di kamar." Pria itu kembali berpikir. "Apa sebaiknya kita pakai meja khusus buat ditaruh di kamar, ya?"

Alle iseng-iseng menambahkan, "Kenapa nggak bapak perluas seluruh rumah bapak? Jadi, pas nanti nikah rumah ini bisa ditinggali istri dan anak-anak bapak kelak."

Aryan langsung mengarahkan tatapan pada Alle. "Gitu? Kamu sudah siap nikah emangnya?"

"Huh?"

Keduanya saling berpandangan. Alle benar-benar tak paham, tapi Aryan sepertinya berbeda tabiat.

"Yakin kamu mau tinggal di sini, Al?"

Aduh! Kenapa sekarang Alle memiliki dua panggilan yang berbeda dari dua lelaki yang aneh dan hadir dalam hidupnya ini? Memikirkan ucapan aneh Ryan, perempuan itu mengambil botol mineralnya dan menenggak habis isinya.

"Al? Kamu mikir saya serius lamar kamu?" tanya Ryan. Sontak Alle mengangguk, dan tawa pria itu menggema.

Kesimpulannya, Alle sudah dikerjai oleh pria itu. Rasa kesal dan malunya bertambah. Dia pikir, Alle memang ada kandidat ketertarikan dengannya karena selalu membuat Alle kesal. Namun, melihat betapa jahilnya pria berusia tiga puluh lebih itu bersikap, Alle tak jadi membawa kemungkinan tersebut. Fix Ryan tak bisa menjadi kandidat pria dengan ketampanan dan kekayaan yang bisa Alle-mungkin saja-sayangi.

"Ish... bapak ini!" protes Alle. Bisa apa dia kalau kliennya yang aneh itu mendatangkan pundi-pundi uang segar.

"Sori, sori. Yaudah, deh. Mending kita makan siang dulu. Saya lapar."

"Oke. Kalo gitu meeting nya kita lanjut besok, ya, Pak? Dari pagi kita udah bicara banyak-"

"Siapa bilang udahan? Jadwal kamu hari ini, dari pagi sampai jam kerja habis adalah meeting sama saya, Al."

"Huh?"

Ryan tidak menanggapi kebiasaan Alle yang suka spontan saja mengucap 'huh' ketika bingung atau terkejut. Pria itu tertawa pelan dan membawa Alle keluar dari sana untuk mengajak perempuan itu makan siang bersamanya.

"Pak saya bisa jalan sendiri!" Alle berusaha menyingkirkan lengan Aryan dari bahunya, tapi malah tubuhnya yang semakin merapat dengan pria itu.

"Kamu selalu kelihatan nggak nyaman kalo sama saya, Al. Kenapa? Saya ini masih muda, belum om-om, apa sebegitu malunya kamu sama saya?"

"Huh? Aduh... bukan gitu, Pak. Tapi baiknya kita nggak sedekat ini. Apa kata orang kalo lihat kita jalan dempetan? Bapak, kan bukan siapa-siapa saya."

"Saya klien kamu."

"Ya, itu nggak jamin bapak bisa pegang-pegang saya sembarangan!" balas Alle agak memekik.

Menghentikan langkahnya, Ryan tahu dirinya sudah keterlaluan membuat Alle dekat dengannya. Tak seharusnya pria itu mengakrabkan diri seperti itu.

"Maaf, Al."

"Huh?"

Mata sedih Aryan justru membuat Alle kebingungan. Seharusnya Alle yang meminta maaf karena sudah membentak pria itu secara tak langsung, tapi justru Ryan-lah yang mengucapkan kata maaf lebih dulu.

"Pak Ryan saya yang-"

"Udah, Al. Ayo, berangkat makan siang."

Dipotong dengan cepat, Alle tahu kalau mood pria itu sudah rusak siang ini. Duh, kok malah gue yang ngerasa bersalah, sih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top