Mora

Malam ini, tidak ada jatah untuknya.

Hari ini, pertunjukan ditiadakan.

Saat ini seharusnya dia sudah kenyang dan siap menyambut mimpi. Namun, dia tidak mungkin tidur dengan gelisah, ditambah perutnya yang terus menjerit minta diisi.

Selagi menunggu pengurus, dia kembali menatap ke luar jendela dengan penuh harap, menggenggam jeruji besi yang menghias jendela, di ruang yang dia sebut sebagai kamarnya.

“Tuan akan memberimu makan dan minum, selalu menjagamu dan memastikan kamu tetap bahagia.”

Begitulah yang diucapkan seseorang di hari dia memilih meninggalkan rawa tempat dia berasal. Sambil menggenggam tangan gadis lugu itu, orang asing ini membawanya masuk ke kereta kuda yang melaju kencang menuju tempat yang belum pernah gadis ini lihat.

Sambil berharap, gadis lugu itu menatap jendela, memandangi jalanan yang asing. Sejak awal dia hidup, belum pernah ada pemandangan lain melainkan pepohonan dan sungai mengalir. Di hutan itu dia hidup berkecukupan, makan apa yang ada, menemukan teman bermain. Namun, kini gadis itu sepertinya menemukan teman baru.

Kereta melewati tempat yang dipenuhi makhluk yang aneh, sama persis seperti sosok yang membawanya ini.

Gadis itu bertanya-tanya. Ke mana sirip mereka? Kenapa kulitnya begitu aneh?  Sambil mengamati, dia pegang sirip yang menghias telinganya, serta tangan yang berlapis kulit kehijauan persis seperti tempat kelahirannya di rawa. Dia tidak tahu dari mana asalnya, tapi dia tahu rawa itu cocok untuknya.

Sekarang, dia menemukan tempat lain. Barangkali akan lebih baik dibandingkan kehidupannya di hutan.

Tirai kereta ditutup.

Gadis itu terkejut dan menatap teman barunya. Dia mengungkapkan kebingungan di balik wajahnya yang berlapis sisik kehijauan.

“Mereka belum siap melihatmu,” ujar sang teman. “Tapi, mereka pasti akan menyukaimu.”

Tidak begitu paham dengan apa yang diucapkan, gadis itu mengiakan dan diam memandangi seisi kereta.

Begitu sampai, tampak sebuah tempat mirip gua yang biasa dia lihat, bedanya yang ini penuh dengan warna dan bentuk atasnya tampak runcing seperti taring. Campuran warna dari semua musim yang dia lalui, tercampur padu dalam satu tempat aneh ini. Inilah rumah baru.

“Ayo, masuk!” Orang itu mendorong si gadis masuk ke gua aneh.

Mereka menjelajahi lorong panjang yang gelap, sebelum akhirnya tiba di tempat yang luas dan terang. Tempat ini layaknya sebuah dasar jurang namun dindingnya terbuat dari kayu serta tampak beberapa celah yang bisa diduduki. Belum lagi yang mereka pijak selama ini terbuat dari pasir. Ada beberapa cahaya nyaris menusuk mata, tapi gadis ini sudah terbiasa dengan sinar mentari yang jauh lebih ganas.

Teman baru menyeru, “Tuan! Aku dapat dia!”

Gadis itu menatap sekeliling, bertanya-tanya siapa gerangan yang dipanggil.

Tidak lama setelahnya, muncul sosok berbaju hitam dan tampak rapi mendekat dan mengamati mereka berdua. Entah kenapa, dia tidak tampak seseram yang dibayangkan. Namun, gadis ini merasa ada yang janggal, tapi tidak tahu harus berbuat apa.

“Jadi, ini yang kamu maksud?” tanya pria berbaju rapi itu.

“Ya, Tuan,” jawabnya. “Tidak disangka, dia begitu jinak.”

Si Tuan mengamati kembali gadis ini, tampak ujung bibirnya melengkung membentuk senyuman tapi tidak begitu menyenangkan hati si gadis. “Dia anak yang baik. Dengan kedatangannya, sudah pasti dia akan memberi kita banyak keuntungan.”

“Ya, dia akan menari dan bermain untuk pengunjung sirkus ini.” Orang itu menepuk bahu gadis itu. “Dia pasti akan memberi kita banyak uang. Jika dilatih dengan benar, maka sirkus ini akan laku keras!”

Gadis itu tidak paham maksudnya, tapi dia merasa telah diberikan tugas yang diemban untuk waktu yang lama. Tidak tahu apa dan mengapa harus dijaga amanat aneh ini. Hendak bertanya tapi tidak tahu bagaimana cara bicara, gadis ini lagi-lagi hanya diam dan patuh.

“Sekarang, kita beri dia nama.” Sosok yang disebut Tuan ini kemudian menatapnya. “Bagaimana kalau ‘Gadis Rawa’ atau mungkin ‘Monster Rawa’ saja?”

“Pilihan kedua lebih keren, menurutku,” komentar teman baru ini. “Kita singkat saja jadi si ‘Mora’ lalu tulis di papan ‘Mora si Monster Rawa’ pasti langsung penuh sirkus ini!”

Kini, dia punya kata yang harus dia tanggapi, “Mora.” Sepanjang hidup, belum pernah dia memiliki kebiasaan seperti itu. Dia bahkan tidak tahu fungsinya nama. Kini, dia harus ingat bahwa kini ada perubahan baru untuknya.

“Ayo, Mora! Kubawa ke kamarmu!” Teman membawanya berjalan menuju lorong gelap lagi, meninggalkan Tuan di ruang penuh cahaya itu.

Mora yang kini punya julukan baru terus menatap Teman. Ya, itu panggilannya untuk sosok ini. Meski pertemuan mereka berawal dari sebuah kebetulan.

Ketika itu, Mora sedang asyik mengamati tumbuhan yang menarik selagi dia memainkan jari. Saat itulah dia terkesiap melihat sosok besar bersembunyi di balik pohon, tidak kalah kagetnya. Mereka saling tatap, sebelum akhirnya pria aneh ini mendekat.

“Siapa namamu?” tanyanya. “Di mana orang tuamu?”

Mora jelas bingung. Dia tidak punya nama, apalagi orang tua. Dia jawab dengan keheningan.

Sosok itu tertegun. “Di mana kamu tinggal?”

Tanpa ragu, Mora menarik tangannya dan mengajak tamu aneh ini menuju rawa tempat tinggalnya. Gadis itu langsung melompat dan berenang sambil tertawa. Dia kemudian menatap sosok baru itu, tampak hendak mengajaknya bermain.

Tapi, dia hanya mengamati, lalu kembali bertanya.

“Kamu tinggal sendiri?”

Mora mengiakan dan kembali berenang.

Sosok itu terus mengamati gerak-gerik Mora, mulai dari cara dia berenang hingga kembali ke darat dan bermain bersama apa saja yang lewat, mulai dari dedaunan hingga kelinci.

Tamu aneh ini kemudian menghampiri Mora yang sedang mengelus kelinci. Tapi, binatang itu lari begitu melihat makhluk asing.

“Kamu suka menari, ya?”

Mora mengangguk.

“Aku punya tempat di mana kamu akan terus menari dan bermain,” katanya. “Kamu tidak perlu khawatir, karena kami akan merawatmu dengan baik.”

Mora hanya tersenyum, mengira ini sekadar tawaran dari sosok yang baik hati.

Dari situlah, keduanya saling kenal dan kini Mora tinggal di tempat yang dimaksud.

Kamarnya terdiri dari jerami yang empuk, sekiranya dia bisa tidur dengan nyaman. Teman juga memberinya makanan ikan mentah, sama enaknya dengan yang biasa Mora tangkap.

“Ingat, Mora,” pesan Teman sebelum pamit. “Besok kamu harus menari untuk kami, kalau mau makan enak.”

Mora tanpa ragu mengangguk, dia pun ditinggalkan di kamarnya.

***

Begitu mentari bersinar kembali, Mora dibangunkan oleh Teman dan disuruh memakai kain aneh yang menghias kulitnya yang bersisik. Kain ini terbuat dari bahan nyaman dan berwarna seperti daun di musim gugur. Rambut hijau pucatnya juga disisir lalu diikat dua sisi membentuk jeruk. Mora tampak manis hari ini.

“Nah, Mora, silakan menari dan jangan kecewakan kami!”

Teman pun menggandeng Mora menuju gua aneh yang disebut “sirkus” itu. Setelah melewati lorong gelap yang panjang, dia tidak menyangka akan disambut dengan jeritan memekakkan telinga.

“Inilah Mora si Monster Rawa!”

Suara aneh yang menggema sontak membuat Mora gemetar, ditambah lagi jeritan dan kericuhan dari atasnya. Puluhan orang yang menyerupai Teman dan Tuan menatap dan tampak hendak mengusirnya.

Dia tahu karena biasanya binatang akan menjerit dan mendesis jika tidak ingin dia mendekat. Mora kira dia telah ditolak. Sakit hati, Mora berlari sambil terisak.

“Hei, kembali!”

Seruan Teman dia abaikan. Terus saja berlari sambil menahan derai air mata. Dia ketakutan, tidak tahu mengapa ini terjadi.

“Akh!” Mora terjatuh ketika benda yang begitu ringan menyayat kakinya.

Begitu menoleh, Mora melihat tangan Teman memegang benda menyerupai sulur panjang yang mengeluarkan suara layaknya dahan patah. Ketika benda itu berayun ke arahnya dan mengenai badan mungil Mora, gadis itu menjerit.

“Diam!” bentak Teman.

Mora tersentak dan terisak. Dia tidak mengerti mengapa dia dimarahi.

“Kamu merusak acaranya!” kesal Teman. “Kamu membuat kami bangkrut!”

Teman menyeretnya dengan kasar kembali ke kamar.

Mora terlempar dan kamarnya langsung dikunci. Dia gemetar mendengar geraman dari luar. Mengingat kembali jeritan serta sulur menyakitkan itu, membuat tangis Mora pecah saat itu juga.

Mora menjerit, meluapkan segala yang menjanggal di hati. Kesal, malu, takut, dan sakit. 
Mora roboh dengan isak tangis di kamarnya.

***

“Maklum, Mora hanya anggota baru.” Terdengar suara Teman dari kejauhan, terdengar jelas oleh Mora di kamarnya. “Dia perlu belajar.”

“Kalau begini terus, kita bisa bangkrut!” bentak Tuan. “Carikan aku makhluk aneh lain! Pastikan dia tidak pengecut seperti bajingan tadi!”

“Baik, Tuan.”

“Jangan beri Mora makan! Dia harus belajar untuk berusaha baru bisa makan enak.,” tambah Tuan.

“Baik, aku mengerti.”

Hanya dengan itu, suasana kembali hening.

Mora menatap dari dalam kamar, lantas duduk dan mengamati bekas luka di kaki. Apa dia harus melawan para makhluk aneh yang menjerit itu? Atau sekadar menari? Tapi, apa mereka suka dengannya? Jika mereka tidak suka, maka Mora tidak bisa makan.

Katanya, mereka akan merawat Mora dengan baik.

Tapi, di hari pertama malah seperti ini.

Dia harus menurut, agar bisa menikmati ikan mentah yang enak. Tapi, apa dia akan selamanya harus menari untuk makhluk menjerit itu?

Mora menatap jendela, membayangkan dirinya terbebas dari kurungan ini.

Membayangkan dirinya harus melakukan apa pun yang mereka inginkan, demi melangsungkan hidup. Jika tubuhnya terlalu rapuh, bagaimana dia bisa makan? Apa mereka akan membuangnya?

Dalam keheningan malam, Mora memeluk lututnya.

Berharap kebebasan akan menghampiri.

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top