Regretful Alpha 5
Jangan dibaca saat puasa! Jangan bilang aku ga kasih peringatan.
*
"Bagaimana menurutmu, Vione? Apakah kau merasakan keanehan seperti yang kurasakan?"
Sesaat, Vione hanya terdiam tatkala Usher mengemukan kecurigaannya. Dia tak mengatakan apa-apa dan seolah menjadi patung. Bahkan untuk sesaat sorot matanya tampak kosong.
Usher menyipitkan mata. Masih ditunggu olehnya sejenak, mungkin Vione akan merespons perkaaannya, tetapi nyatanya tidak. Vione tetap membisu setelah lima menit berlalu.
"Vione?" panggil Usher dengan dahi mengerut. Disentuhnya pundak Vione dengan lembut. "Apakah kau mendengarku?"
Vione terlonjak samar. Dia mengerjap beberapa kali sebelum pada akhirnya fokus di matanya kembali. Lalu dia mengangguk. "O-oh ya, Usher. Te-tentu saja aku mendengar perkataanmu tadi."
Sikap Vione membuat Usher bingung. Jadilah kerutan di dahinya semakin bertambah. "Ada apa" tanya Usher kemudian sembari mengamati keadaan Vione. "Apa ada sesuatu yang terjadi? Kau tampak tak seperti biasanya, Vione."
Vione buru-buru menggeleng. "Tidak, Usher. Tidak ada apa-apa. Aku baik-baik saja dan tak ada yang terjadi. Kau tak perlu khawatir."
Di mata Usher, tidak demikian adanya. Jadilah dia berniat untuk bertanya kembali, tetapi sayangnya Vione keburu bangkit dari duduk.
"Aku ada membuatkanmu camilan, tetapi aku lupa membawanya ke sini," ujar Vione sembari memulas senyum. "Kau tunggu di sini. Aku akan mengambilnya."
Usher mengangkat tangan secara alamiah, berniat untuk menahan Vione. Namun, Vione telah beranjak dari kamar. "Vione."
Sikap Vione membuat kecurigaan Usher semakin menjadi-jadi, begitu pula dengan perasaan tak enaknya yang kian tak terbendung. Jadilah dia merenung dengan penuh kehati-hatian, diputuskannya untuk menolak bantuan Rowena.
Usher mengepalkan tangan. Keputusannya telah bulat. Aku tak bisa mempertaruhkan keselamatan Vione. Lagi pula aku tak bisa mempercayai Rowena begitu saja. Tidak. Ini terlalu berisiko.
*
Vione melangkah terburu-buru sembari melihat ke belakang beberapa kali demi memastikan bahwa Usher tak mengikutinya. Lalu langkahnya terhenti di ujung lorong dengan tatapan yang terus tertuju pada kamar mereka dan setelah diyakininya bahwa Usher memang tidak mengikutinya maka barulah dia kembali melangkah, kali ini lebih cepat dari sebelumnya.
Degup jantung Vione meningkat dan penyebabnya adalah kecurigaan Usher. Kala itu disadari olehnya bahwa adalah hal wajar bila Usher mencurigai Rowena. Siapa pun yang berada di posisi Usher pastilah akan merasakan kecurigaan serupa, termasuk dirinya.
Bukan dari sekarang, melainkan Vione merasakan kecurigaan itu dari kemarin. Tepatnya adalah ketika dia melihat Rowena nyaris kehilangan nyawa demi menyembuhkan Usher dari kematian. Diingatnya dengan jelas betapa pucatnya bibir Rowena dan belum lagi tubuhnya terasa dingin persis es, juga terasa begitu lemah.
Nyatanya Vione dan Usher merasakan kecurigaan serupa, terlebih setelah apa yang telah terjadi maka tak ayal sikap penuh antisipasi itu meningkat dengan sendirinya. Alam bawah sadar mereka berjaga-jaga, waspada untuk setiap kemungkinan yang bisa terjadi.
Walau begitu Vione dan Usher mengambil sikap berbeda untuk kecurigaan itu. Bila Usher mencoba untuk menolak bantuan Rowena maka sebaliknya Vione. Hal tersebut justru memberikan kelegaan untuknya dan itulah yang membuatnya buru-buru mencari alasan untuk pergi dari kamar.
Vione segera mencari keberadaan Rowena dan aroma herba yang berputar-putar di udara menuntunnya ke ruang ritual. Dia masuk bersamaan dengan Rowena yang baru saja selesai memasak obat untuk dirinya.
"Vione," lirih Rowena menyambut kedatangan Vione dengan seuntai senyum tipis. Ditaruhnya kembali ramuan obat di atas meja. "Ada apa kau datang ke sini? Apakah kau mencari Alpha?"
Vione mengerutkan dahi. "Apakah Usher tadi datang ke sini?"
Pertanyaan balasan itu menyadarkan Rowena bahwa tebakannya keliru. Walau demikian dia tak jadi masalah sama sekali untuk menjawab. "Ya, Alpha tadi datang ke sini, tetapi tak lama. Mengapa? Apakah ada sesuatu?"
"Ada," jawab Vione lugas dan tanpa berpikir dua kali. "Namun, sebelumnya aku ingin mengetahui, mengapa Usher kemari?"
"Well, itu." Rowena menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Kedua tangannya saling mengusap satu sama lain dengan ekspresi tak berdaya. "Sepertinya Alpha meragukan kebaikan hatiku. Dia menganggapku memiliki rencana tersembunyi di balik semua pertolongan yang kuberikan dan untuk itu, aku tak bisa berbuat apa-apa."
Vione diam saja mendengar penjelasan Rowena, persis seperti dugaannya.
"Lalu, bagaimana denganmu, Vione?" tanya Rowena menyentak Vione dari lamunan sekejapnya. Dibuatnya Vione mengerjap beberapa kali dengan satu pertanyaan tanpa tedeng aling-aling. "Apakah kau mencurigaiku juga?"
Vione diam sejenak sebelum tersenyum tulus. "Aku tak peduli kau memiliki rencana tersembunyi atau tidak, Rowena. Selagi kau bisa menyelamatkan Usher maka semua adalah pertaruhan setimpal."
"Vione."
"Aku tak peduli," lanjut Vione sembari menatap Rowena dengan penuh kepasrahan. Jadi, dia mendekat dan meraih jemari Rowena. "Seperti yang pernah kukatakan padamu, akan kuberikan semua yang kumiliki agar Usher bisa sembuh kembali. Aku tak berbohong dengan ucapanku waktu itu."
Kali ini Rowena tak bisa berkata-kata. Dia diam saja dengan mata yang terus menatap pada ketulusan Vione.
"Walau begitu kuharap kau bisa membantuku sekali lagi, Rowena."
Rowena mendeham sekilas. "Apa itu? Katakanlah. Aku pasti akan membantumu."
"Aku khawatir Usher tidak akan bersedia berpasangan lagi denganku."
Akhirnya, Vione mengutarakan pula satu kekhawatiran yang terus mengusik pikirannya seharian itu dan Rowena tak perlu penjelasan lebih lanjut, bisa ditebaknya alasan di balik kekhawatiran tersebut. Jadilah Rowena mengangguk sekali, sepenuhnya mengerti.
"Jadi, apa yang kau ingin kulakukan? Kau mungkin tak mengerti, tetapi mantera pengikat jiwa hanya untuk mereka yang terikat. Itulah mengapa sihir ini disebut mantera pengikat jiwa. Kalian harus berpasangan."
"Aku tahu," jawab Vione sembari mengangguk berulang kali. "Jadi, karena kau adalah penyihir, apakah kau bisa membuatkan ramuan untukku?"
Rowena menyipitkan mata. "Ramuan?"
"Ya, ramuan cinta mungkin, aku tak tahu apa namanya. Intinya adalah aku ingin Usher kembali mencintaiku dan bersedia untuk kembali berpasangan denganku."
Sejenak, Rowena hanya terdiam. Hanya terus dipandanginya Vione dengan tatapan yang tak dapat diartikan. "Vione," lirihnya sembari balik menggenggam jemari Vione dengan lembut. "Apakah kau tahu? Aku melihat sesuatu ketika aku menyembuhkan Alpha dari kematian. Tepatnya di saat aku meremas jantungnya dan di sana, jauh di dalam sanubari terdalamnya, dia terus memanggil namamu. Ingatan terakhirnya adalah melihatmu menangis dan itu membuatnya menderita."
Getir hadir di pangkal tenggorokan dan membuat Vione tak bisa bernapas. Diteguknya ludah, lalu dirasakan olehnya sekilas denyutan di dalam dada.
"Dia selalu mencintaimu, Vione."
*
Vione mencoba untuk menenangkan diri, tetapi ucapan Rowena terus terngiang-ngiang di dalam kepala. Jadilah dia tak mampu menahan terjangan emosi dan nyaris saja dia benar-benar menangis andaikan Ayla tidak datang.
Ayla menghampiri Vione dengan perasaan khawatir. "Vione, ada apa? Mengapa kau menangis?"
"Tidak," ujar Vione seraya menggeleng. Dia segera menghapus genangan air mata yang siap menetes. "Aku belum menangis karena kau datang tiba-tiba, Ayla."
Ayla mengerang. "Vione."
Tawa kecil berderai dari bibir Vione. "Aku baik-baik saja. Aku hanya sedang merasa ..." Dia menarik napas dalam-dalam dan mengangkat kepala, lalu barulah lanjut bicara. "... sangat senang, Ayla."
"Well, untuk kategori orang yang senang maka kau mengekspresikannya dengan cara yang membuatku justru merasa khawatir."
Vione tersenyum geli. "Aku baik-baik saja. Aku hanya sedang menyiapkan camilan malam untuk Usher."
Alya melirik pada tampan berisi camilan dan secangkir teh di atas meja. Jadilah dia menarik napas dengan satu kesadaran bahwa memang Vione akan selalu mencintai Usher. Bisa dipastikan olehnya bahwa Vione akan tetap berada di sisi Usher tak peduli apa pun yang terjadi, bahkan bila itu harus mengorbankan nyawanya.
Dilema pun terbit di benak Ayla. Di satu sisi, dia tak ingin mengambil risiko dengan keselamatan Vione, terlebih bahwa dia telah berjanji kepada mendiang kedua orang tua angkat Vione. Namun, di sisi lain, tak ada cara lain yang tersedia untuk memperbaiki semua peristiwa buruk yang telah terjadi.
Lamunan sesaat Ayla terusik ketika mendadak saja Vione memeluknya dengan hangat. Selain itu turut dirasakan olehnya belaian Vione di punggungnya.
"Tak ada yang perlu disesalkan, Ayla. Semua telah terjadi dan aku melakukan ini dengan sukarela."
Ayla memejamkan mata. "Maafkan aku, Vione."
"Tak perlu meminta maaf, Ayla. Sebaliknya, aku justru sangat berterima kasih padamu untuk semua yang telah kau lakukan. Jadi, biarkan aku menjalani tugasku kali ini."
Ayla tak bisa mencegah keputusan bulan Vione. Satu-satunya yang bisa dilakukan olehnya adalah mendoakan semoga rencana Rowena bisa berjalan dengan lancar. Dia tak ingin melihat Vione dan Usher harus mengalami penderitaan berulang kali. Untuk itu disadari olehnya bahwa tak pernah dia ingin mendapatkan penglihatan lebih besar dibandingkan saat ini. Dia ingin mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi Dewi Bulan tak memberikan petunjuk apa pun. Jadilah dia hanya bisa berpegang pada penglihatannya di masa lalu dan cukuplah itu untuk menenangkan kegelisahan hati.
Vione meninggalkan dapur sesaat kemudian dengan diiringi oleh tatapan pilu Ayla. Dilangkahkannya kaki dengan tegar dan ketika dia masuk ke kamar maka senyum penuh cinta yang diberikannya pada Usher.
"Usher."
Usher berpaling dan bisa merasakan ada yang berbeda pada Vione, tetapi dia tak bisa menemukan asalnya. Jadilah dia hanya diam saja ketika Vione duduk kembali di hadapannya setelah menyajikan camilan malam tersebut.
"Coba kau cicipi. Kuyakin kau pasti akan menyukainya."
Insting Usher menyala. Nalurinya memberikan peringatan agar dia berjaga-jaga. Namun, ini adalah Vione dan orang terakhir yang terbersit di benaknya akan menyakiti dirinya adalah Vione. Jadilah dia tak ragu sama sekali ketika mulai menikmati camilan itu, lalu meminum tehnya.
Sesuatu terlintas di benak Usher tepat setelah tegukan teh yang terakhir. Dia membeku dengan ingatan memuakkan yang terbayang dengan serta merta, yaitu Mireya mengendalikan dirinya melalui teh, Mireya menyihirnya melalui teh.
Cangkir sontak terlepas dari jemari Usher. Jatuhlah ia, lalu pecah berderai di lantai.
Usher mengangkat wajah dan melihat Vione dengan mata membesar. Kala itu disadari olehnya ada sesuatu yang terjadi pada tubuhnya. Rasa panas mulai hadir dan membuat darahnya menggelegak. Dia menggeleng. "Vione, kau tak mungkin melakukan ini bukan?"
"Maafkan aku, Usher," pinta Vione sembari menangkup satu pipi Usher. "Aku tahu kau pasti akan melakukan berbagai cara untuk tak lagi berpasangan denganku, tetapi aku tak akan membiarkannya."
Usher berusaha untuk kembali bicara, tetapi gelegak darahnya semakin menjadi-jadi. Jadilah sekujur tubuhnya terasa panas seolah ada api yang tengah membakarnya. Kulitnya memerah, wajahnya mengeras, dan urat-urat mulai bertonjolan di dahi, bersamaan dengan timbulnya rintik keringat di mana-mana.
"Jadi, aku tak memiliki pilihan lain. Hanya ini yang bisa kulakukan, Usher. Kuharap kau memaafkanku."
Pada saat itu suara Vione tak lagi terdengar jelas di telinga Usher. Semua indranya menjadi kacau balau, tak lagi bisa dikendalikannya. Dicobanya untuk menutup mata serapat mungkin sebagai pertahanan terakhir, tak ingin dilihatnya Vione, tetapi sentuhan lembut di bibirnya membuat dadanya bergemuruh seketika.
Usher membuka mata dan mendapati Vione menciumnya dengan kelembutan yang bisa melelehkan apa pun di dunia. Jadilah hati dan sekujur tubunya bergetar. Keteguhannya goyah dan terlupakan olehnya semua keputusan yang telah dibuat.
Tangan Usher bertindak. Diraihnya tengkuk Vione dan disambarnya pinggang Vione, lalu mulutnya pun membuka, menyambut ciuman itu dengan penuh gairah.
Kelegaan seketika menyeruak di dada Vione. Pikirnya, ramuan Rowena telah bekerja. Jadi, sekarang satu-satunya hal yang harus dilakukan olehnya adalah menuntaskan semua rencana.
Vione mengalungkan kedua tangan di leher Usher tatkala dirinya digendong. Usher membawanya ke tempat tidur dan membaringkannya dengan terburu. Bahkan Usher tak sempat memberikan kesempatan untuknya benar-benar bernapas. Usher langsung menciumnya lagi.
Detik demi detik berlalu dengan amat mendebarkan. Baik jantung Vione maupun Usher berdetak dengan degup yang amat riuh. Suaranya bertalu-talu, tak ubah genderang yang dipukul terus-menerus.
Vione terasa pening dalam hantaman gairah. Bola matanya berputar, tak lagi fokus. Dia terengah dan dibiarkannya Usher melucuti pakaian yang melekat di tubuhnya. Jadilah sesaat kemudian mereka berada dalam keadaan sama-sama polos.
Jemari Vione meremas seprai. Matanya terpejam rapat dan digigitnya bibir bawah. Telah lama dia tak disentuh oleh Usher dan dirasakan olehnya bahwa semua tetap sama. Bukan hanya fisiknya yang disentuh oleh Usher, melainkan jiwanya pula.
Perasaan bahagia memenuhi dada Vione, meluap tak terkira. Diserahkannya semua yang dimilikinya pada Usher tanpa terkecuali, jiwa dan raga, serta kesetiannya. Lalu semua menjadi sempurna ketika dia merasakan gigitan Usher di lehernya dan bersamaan dengan itu ada hunjaman yang teramat kuat menyentaknya.
Rasa bahagia bersatu dengan kenikmatan murni. Pekikan Vione menjelma jadi gigitan balasan di leher Usher.
Gelenyar yang tak asing merambati sekujur tubuh Vione, sesuatu yang pernah dirasakannya dulu, sesuatu yang sempat menemani hari-harinya dan sekarang dia merasakan itu kembali. Dia telah terikat kembali secara batin dengan Usher. Mereka telah menjadi satu dan jadilah bisa dirasakan olehnya semua emosi yang Usher rasakan. Ada penyesalan, kesedihan, rasa bersalah, dan juga cinta.
Vione membuka mata dan tatapan mereka beradu seketika. Saat itu dilihat olehnya ada kabut di mata Usher.
Usher membelai rambut Vione yang berantakan dengan sorot penuh sesal. Diciumnya dahi Vione, lalu dia berkata. "Maafkan aku, Vione."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top