Regretful Alpha 3
Semua terasa seperti tak nyata, serupa khayalan atau mimpi indah yang kerap didoakan ketika akan tidur. Persis demikianlah yang tengah dirasakan oleh Vione. Dia nyaris tak percaya dengan yang matanya lihat kala itu, nyaris berpikir bahwa itu adalah halusinasinya saja, tetapi suara Usher menyadarkannya untuk kenyataan yang tak bisa dibantah.
"Vione."
Suara itu laksana nyanyian surgawi yang menerbitkan ketenteraman untuk Vione. Semua kesedihan dan keputusasaan sontak berubah menjadi butiran debu yang ditiup oleh angin malam, menghilang seketika tanpa ada sisa sama sekali.
Vione menggigit bibir bawah. Kenyataan itu menerbitkan kebahagiaan yang tak terkira. Jadilah semua lenyap dari dalam pikirannya dan satu-satunya yang bertahan adalah keinginan untuk mendekap Usher sekuat mungkin. "Usher."
Pelukan Vione memerangkap Usher. Sempat tubuhnya terlonjak dan dia tampak semakin bingung. Namun, pada akhirnya dia membalas pelukan Vione sesaat kemudian.
Usher memejamkan mata. Agaknya persis Vione maka dia pun mengira bahwa semua yang tengah terjadi bukanlah kenyataan. Pikirnya, itu adalah mimpi indah yang diberikan oleh Dewi Bulan sebagai pengantar kematiannya. Namun, tak akan ada khayalan yang terasa senyata itu. Sebabnya bukan hanya erat pelukan yang dirasakan olehnya, melainkan juga tetasan air mata dan juga isak tangis.
"Aku merindukanmu, Vione."
*
Rowena tak tahu entah sudah berapa lama dia terperangkap dalam kegelapan. Satu hal yang diketahuinya adalah tubuhnya begitu lemah ketika dicobanya untuk kembali sadar. Membuka mata saja membutuhkan begitu banyak perjuangan, apalagi ketika dia berusaha untuk bangkit dari tidur.
Seluruh tubuh Rowena menjeritkan rasa sakit yang tak terbayangkan olehnya selama ini, sakit yang tak pernah dirasakan olehnya selama hidup. Jadilah dia tak mampu menahan erangan sakit tatkala kembali mencoba untuk bangun.
"Rowena!"
Seruan panik Ayla disusul oleh derap langkah yang dengan cepat menghampiri Rowena. Dia segera meraih tubuh Rowena dan membantunya untuk duduk bersandar pada kepala tempat tidur.
Rowena mencoba untuk menenangkan diri, dimulai dari mengatur ritme napasnya yang kacau. "A-Ayla."
Ayla memastikan Rowena bersandar dengan posisi tepat. "Bagaimana keadaanmu, Rowena?" tanyanya dengan nada yang menyiratkan kekhawatiran tak terkira. "Kau baik-baik saja bukan?"
"Tentu saja. Aku baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir."
Sebaliknya, Rowena menyadari bahwa keadaannya tak baik-baik saja. Dia terluka, kekuatan sihirnya terganggu. Walau begitu dia tak akan mengatakannya pada Ayla, juga Vione.
Bola mata Rowena. Benar, Vione.
Rowena mengulurkan tangan. Ditahannya Ayla yang berniat untuk beranjak demi mengambil segelas air. "Bagaimana dengan Vione?" tanyanya cepat dan lalu menyadari sesuatu. "Apa yang terjadi pada Alpha?" Sontak saja punggungnya menegap, bersiap untuk turun dari tempat tidur. "Aku harus melihat keadaan Alpha. Malam ini masih purnama. Aku bisa—"
"Alpha baik-baik saja, Rowena," potong Ayla cepat. Lantas diraihnya tangan Rowena demi meremas jari-jari tangannya dengan penuh perasaan. "Terima kasih. Kau telah menyelamatkan Alpha. Aku dan Kawanan Frostholm sangat berterima kasih kepadamu."
Rowena tertegun sejenak. Ucapan Ayla sedikit membingungkannya. Jadilah dahinya agak mengerut. "Apa maksudmu, Ayla? A-apakah Alpha telah sadar? Dia telah sembuh?"
Ayla mengangguk. "Ya, Rowena. Alpha telah sadar. Dia sadar sesaat setelah kau jatuh pingsan."
Informasi itu mengejutkan Rowena. Bukan berarti dia tak senang, tetapi ada sedikit keanehan yang membuatnya jadi bingung. Sebabnya, dia tak mengira bahwa ritualnya semalam akan berhasil mengingat dirinya pun tak menyelesaikan ritual itu sebagaimana mestinya. Tenaganya telah habis terkuras sehingga tak menghirankan bila dirinya terpental. Sihirnya menyadari bahwa keselamatannya pun terancam bila dia terus memaksakan diri.
Rowena terus memikirkan beberapa kemungkinan yang bisa menjadi jawaban, tetapi kebingungannya justru semakin menjadi-jadi. "A-aku senang mendengarnya. Kalau begitu aku akan menemui Alpha nanti."
Ayla mengangguk. Lalu dia pun keluar dari kamar Rowena.
Sepeninggal Ayla maka ekspresi bingung Rowena tampak dengan amat nyata. Terus saja dia bertanya pada diri sendiri. "Sebenarnya, apakah yang sedang terjadi?"
Semua keanehan itu tak ubah teka-teki yang membuat terus memenuhi benak Rowena. Jadilah tak aneh bila dibutuhkan waktu sesaat untuknya menenangkan diri dari terpaan geram untuk ketidaktahuannya. Setelah itu barulah dia turun dari tempat tidur dengan perlahan. Tangannya berpegang pada dinding dan kakinya melangkah dengan penuh kehatia-hatian.
Rowena berniat untuk ke toilet, sekadar untuk membasuh wajah. Namun, kakinya goyah dan dia nyaris terjatuh. Beruntung dia buru-buru berpegangan pada lemari kecilnya.
Lemari kecil itu bergoyang. Pintunya terbuka. Lalu jatuhlah sebuah kotak hitam dari dalam sana, mendarat di lantai.
Rowena tertegun. Ditatapnya kotak hitam itu untuk sejenak sebelum akhirnya dia memberanikan diri untuk mengambilnya. Napas tertahan di dada dan sebuah firasat muncul dengan begitu tiba-tiba. Jadilah dia segera merapalkan mantera sebelum membuka kotak tersebut dengan terburu-buru.
Kotak hitam seketika terlepas dari tangan Rowena. Terpantullah ia beberapa kali di lantai sebelum berhenti bergerak.
"Tidak mungkin," lirih Rowena sembari menggeleng sekali. Gelenyar asing yang membuat tubuhnya meremang seketika menyebar dengan begitu cepat. Dia meneguk ludah, mencoba untuk memberanikan diri dan kemudian menundukkan wajah. Kembali dilihatnya kotak hitam itu hanya untuk memastikan bahwa matanya tak salah melihat. "Oh, Tuhan. Bagaimana mungkin?"
Wajah Rowena lebih memucat dari sebelumnya. Kali ini dia bukan hanya seperti kehilangan banyak darah, melainkan seolah tak lagi memiliki darah. Sebabnya adalah dia ingat betul bahwa beberapa waktu lalu dia dikejutkan dengan penemuan sebuah kalung berliontin separuh bulan di hutan. Pulangnya, dia justru semakin dikejutkan dengan fakta bahwa kotak hitam yang menjadi tempat penyimpanan sepasang kalung bulan itu kosong, tak ada isi apa-apa di dalamnya. Jadilah dia berpikir bahwa sepasang kalung itu telah hilang dari sana entah sejak kapan. Lalu sekarang dia malah dibuat amat kebingungan ketika melihat bahwa sepasang kalung berliontin separuh bulan itu ada di dalam kotaknya.
Rowena buru-buru memejamkan mata ketika dirasakan olehnya dunia kembali berputar-putar. Dipegangnya lemari dan dicobanya untuk bertahan agar tidak pingsan. Dia menghirup udara dalam-dalam hingga satu pemikiran melintas di benaknya. Ini pasti ada hubungannya dengan semua kekacauan yang tengah terjadi sekarang.
Kemungkinan itu menerbitkan kekhawatiran baru untuk Rowena. Diputuskannya untuk segera bertindak walau belum pasti apa yang harus dilakukan olehnya. Namun, dia yakin bahwa semua kebingungan itu bermula dari Usher.
*
Tak henti-hentinya Vione memandangi wajah yang selama ini dirindukannya dengan teramat sangat. Jadilah dia tak beranjak sedikit pun dari sisi Usher bila tak ada hal penting yang harus dilakukan olehnya.
Vione menyadari bahwa Usher terluka parah. Ironisnya adalah Usher baru saja kembali dari kematian. Keadaan Usher masih sangat mengkhawatirkan sehingga dia dan Ayla pun berusaha untuk mengobati sebisa yang mereka lakukan.
Perban menutupi semua luka di tubuh Usher. Kala itu disyukuri oleh Vione bahwa dirinya adalah serigala tanpa cakar. Berkat kekurangan itu maka dia pun sedikit banyak mengenai ilmu pengobatan. Sebabnya adalah tak jarang dulu dia terluka ketika dirundung oleh manusia serigala lain.
Vione membuang napas lega ketika perban terakhir telah selesai dipasangnya dengan baik. "Kau hanya perlu beristirahat beberapa hari, Usher. Kau pasti akan segera sembuh."
Tuntas bicara maka Vione pun berniat untuk merapikan sisa perban dan yang lainnya. Namun, Usher tiba-tiba memegang tangan Vione. Dicegahnya Vione yang menunjukkan tanda-tanda akan beranjka dari sana.
"Vione."
Vione berpaling. "Ya?"
Usher menarik tangan Vione, isyarat agar Vione kembali duduk. Diambilnya kotak pengobatan dari tangan Vione, lalu ditaruhnya di meja kecil yang berada di dekatnya. Setelahnya dia menatap Vione dengan penuh keseriusan, juga dengan penuh penyesalan.
"Maafkan aku, Vione."
Usher yakin, dirinya telah mengatakan hal serupa ketika berada di ambang kematian. Namun, dirasanya itu belumlah cukup. Menyedihkannya adalah ucapan maafnya pasti tidak cukup untuk menghapus semua rasa sakit dan kesedihan yang telah dia berikan pada Vione. Dia merasa begitu bersalah hingga tak mampu untuk berlama-lama menatap Vione.
"Aku sangat bersalah padamu, Vione," lirih Usher dengan suara tercekat, seolah ada yang menyumbat pangkal tenggorokannya, jadilah dia susah untuk bicara. "Aku tahu, aku tak pantas untuk mendapatkan maafmu, tetapi kumohon, maafkanlah aku."
Vione menarik udara dan menahannya di dada. Bisa dirasakan olehnya betapa besar rasa bersalah Usher padanya, bahkan mungkin jauh lebih besar lagi dari yang dirasakan olehnya. "Usher," ucapnya sembari tersenyum. Diulurkannya tangan demi menangkup satu pipi Usher. Dia membelai dengan lembut seolah ingin meyakinkan Usher bahwa dirinya tak keberatan sama sekali dengan permintaan tersebut. "Aku sudah memaafkanmu, Usher. Aku sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi selama ini."
Usher memberanikan diri untuk mengangkat wajah dan kembali menatap Vione. "Kau sudah mengetahuinya?"
"Ya." Vione mengangguk sekali, lalu lanjut bicara. "Ayla sudah menceritakannya padaku. Selama ini kau berada dalam pengaruh sihir Mireya. Itu sebabnya mengapa kau mengabaikan kami semua."
Usher terdiam. Sejujurnya, dia tak tahu apa yang tengah terjadi padanya terlepas dari keanehan yang disadari olehnya belakangan ini. Namun, sekarang dia telah mendapatkan jawaban untuk kebingungannya.
Mata Usher memejam dengan dramatis. Rasa bersalah dan penyesalan yang dirasakan olehnya langsung saja tercemar oleh kemarahan yang tak terkira. Jadilah tangannya mengepal dengan kuat dan Vione menyadarinya.
"Usher."
Usher menggeram. Wajahnya tampak mengeras. Suaranya terdengar berat, menyiratkan amarah yang membludak. "Aku sama sekali tidak mengira kalau Mireya adalah dalang dari semua kejadian ini. Dia telah membuatku mengabaikan kawanan. Dia telah membuatku melupakan semuanya dan ...."
Tidak hanya sekadar itu. Usher menyadarinya dan jadilah ucapannya terhenti seketika. Sebabnya, semua peristiwa yang telah terjadi sontak berputar-putar di dalam benaknya. Teringat jelas olehnya bagaimana dia mencampakkan Vione demi cinta kosongnya pada Mireya. Belum lagi dengan fakta bagaimana dia yang mengabaikan semua pihak dan itu dilakukannya atas perintah Mireya.
Usher tertegun ketika rasa dingin yang entah muncul dari mana mulai merambati sekujur tubuhnya. Jadilah dia merasa seperti tengah diiris-iris oleh sembilu, di hati dan juga di jantungnya.
"A-aku ..." Usher merasakan getir memenuhi mulut dan tenggorokannya. Jadilah pahit terasa di mana-mana, tepatnya ketika dia menyadari hal terburuk yang terjadi akibat dirinya. "... aku membuat Mama dan Garth mati."
Wajah Vione berubah. "Usher."
"Me-mereka mati karena aku, Vione," lirih Usher dengan kengerian yang luar biasa. Sontak saja napasnya berubah kacau ketika semua kematian itu membayang di dalam kepalanya. "Tidak. Bukan cuma Mama dan Garth. Aku juga membuat Cora, Berg, dan Storm mati karena aku. Aku membuat kawanan mati sia-sia karena aku."
Usher menjerit ketika bayangan kematian itu terus menghantuinya. Dia mengerang, tiba-tiba saja hadir rasa sakit yang membuat tubuhnya menjerit. Jiwa raganya tersiksa oleh penyesalan yang teramat besar. Matanya memanas, terbakar oleh api frustrasi yang menghanguskan, merobek-robek hatinya yang hancur tak berbentuk lagi berkat rasa bersalah yang menggunung.
Tudingan tertuju pada diri sendiri. Usher tak bisa mengelak ketika kenyataan menamparnya dengan amat telak. Setiap langkah yang telah dilakukannya di masa lalu tak ubah kutukan maut untuk orang-orang yang dicintainya.
Usher histeris sampai-sampai menjambak rambutnya sendiri. Air matanya mengalir dengan begitu deras sehingga matanya berubah menjadi merah. "Aku membunuh mereka semua."
"Usher." Vione buru-buru meraih tangan Usher, berusaha untuk mencegahnya menyakiti diri sendiri. "Tidak. Kau tidak membunuh mereka, tetapi Mireya. Kau di bawah kendali sihirnya."
Ucapan Vione tak berarti apa-apa untuk Usher yang diterjang oleh besarnya gelombang penyesalan. Dia terpental, lalu terperangkap dalam labirin emosi yang amat gelap, tak ada cahaya yang bisa meneranginya.
Usher tenggelam dalam lautan penuh rasa bersalah. Dia tak berdaya untuk tudingan dan tuduhan yang secara alamiah diberikan oleh diri sendiri. Jadilah dia memejamkan mata serapat mungkin, berharap agar semua bayangan menyakitkan itu bisa enyah dari dalam ingatannya. Namun, sebaliknya, semua peristiwa menyakitkan itu justru tampak makin jelas. Darah Garth yang memercik di wajahnya, ringik kesakitan Jemma yang menggema di telinganya, lalu tubuh Cora, Berg, dan Storm yang tercabik-cabik tepat di depan matanya, semua bergantian muncul sehingga membuatnya semakin menderita.
"Aku benar-benar tidak berguna. Aku membiarkan mereka mati. Aku ..."
Usher tak mampu meneruskan ucapan ketika napasnya tercekat. Penyesalan dan rasa bersalah itu amat menyiksa sehingga dirasakan olehnya sakit yang teramat perih tengah meremas jantungnya. Jadilah dia memukul dadanya, berharap agar itu bisa meredakan sesaknya.
Vione menangkap tangan Usher. "Usher, kumohon. Hentikan. Kau menyakiti dirimu sendiri." Dibutuhkan usaha yang besar untuknya bisa menghentikan tindakan Usher. Didekapnya tangan Usher sekuat tenaga, lalu dicobanya untuk menenangkan Usher. "Semua ini terjadi di luar kendalimu, Usher. Jadi, kumohon, berhenti menyalahkan dirimu sendiri."
Erangan Usher terdengar amat memilukan. "Aku tak bisa, Vione. Seharusnya, aku mati pula bersama mereka. Untuk apa aku tetap hidup di dunia ini? Dosa ini tidak bisa kutanggung seumur hidup, Vione. Aku bersalah padamu dan mereka."
Usher bisa membayangkan bagaimana hidupnya akan berjalan. Hari-hari akan dilaluinya dengan penuh rasa sesal. Waktu yang terus berputar tak ubah penghakiman tanpa akhir. Penderitaannya akan terus berlanjut.
Semua itu amat berat. Usher yakin tak mampu menanggungnya. Lagi pula ada satu hal mengerikan yang terbersit di benaknya. "Mungkin dengan kematianku bisa menebus dosaku pada mereka."
Vione menggeleng dengan wajah pucat. "Ti-tidak, Usher. Jangan katakan itu. Kumohon, jangan. Kau—"
"Apakah kau ingin menyia-nyiakan pengorbanan Vione yang memohon padaku untuk menyembuhkanmu?"
Tiba-tiba saja Rowena muncul dan langsung memotong ucapan Vione. Bersama dengannya ada Ayla yang berusaha menahan air mata. Ayla bisa merasakan keputusasaan dan penyesalan Usher.
"Apakah kau tahu? Vione rela menukarkan nyawanya agar aku bersedia untuk menyembuhkanmu. Lalu inikah balasanmu kepadanya?"
Usher mengerang. Tak bisa dijawab olehnya pertanyaan itu. Dia terhimpit oleh rasa bersalah dan juga harapan Vione. "Aku tak bisa. Aku tak bisa hidup seperti ini. Aku tak mungkin bisa hidup di bawah bayang-bayang kematian mereka semua."
Semua yang berada di sana diam seketika. Mereka mengerti, paham betul untuk yang dirasakan oleh Usher. Namun, kematian Usher tidak akan pernah menjadi jawaban.
Vione mengusap air mata Usher. "Ada aku bersamamu, Usher. Aku akan menemanimu melewati ini semua. Jadi, kumohon, tetaplah hidup."
Usher tahu pasti bahwa Vione akan selalu bersamanya, tetapi menyeret Vione ke dalam pusaran gelap itu bukanlah hal yang diinginkannya. Sebaliknya, ingin rasanya dia meminta Vione untuk meninggalkannya. Dia benar-benar hancur dan tak memiliki apa-apa lagi. Jadilah hal terakhir yang paling tidak ingin dilihatnya menjadi kenyataan adalah mengajak Vione untuk turut menderita bersamanya.
Keputusan Usher sudah bulat. Dia akan meminta Vione untuk meninggalkannya walau bisa dipastikan olehnya bahwa hal itu akan membuat penderitaannya semakin menyakitkan. Namun, dia harus melakukan itu. Dia tak ingin membuat Vione semakin nelangsa bersamanya, lagi pula mereka bukanlah pasangan lagi.
Usher menarik napas dan menguatkan diri. Dia berniat untuk bicara, tetapi di luar dugaan, Rowena justru lebih dahulu bersuara.
"Bagaimana bila ada satu kesempatan untukmu, Alpha?"
Usher berpaling. "Apa maksudmu?"
"Kutanya padamu, Alpha," ujar Rowena sembari menatap Usher lekat-lekat. Dia begitu serius ketika mengulang pertanyaannya. "Bagaimana bila ada satu kesempatan untukmu, Alpha? Apakah kau ingin mengubah semua yang terjadi?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top