Regretful Alpha 29

Segalanya terjadi dengan begitu cepat. Agaknya baru semenit yang lalu serigala emas itu datang dan sekarang para warrior Kawanan Frostholm sudah terpental ke mana-mana. Semua mendarat di tanah dengan keadaan menyedihkan walau mereka tak mengalami luka sama sekali. Serigala emas itu dengan pergerakan yang tepat dan terukur mampu merobohkan para warrior tanpa melukai sedikit pun.

Semua terhenyak. Mata-mata membelalak tak percaya tatkala melihat betapa tak berdayanya para warrior di hadapan serigala emas itu.

"Kau," geram Mireya dengan satu kemungkinan yang langsung terlintas di benak. Tebakannya mengatakan bahwa serigala emas itu adalah pria misterius yang ditemui oleh Addy. Namun, ada sesuatu yang membuat jantungnya berdetak dengan tak nyaman. Ada firasat tak menyenangkan yang membuatnya bertanya-tanya. "Siapa kau?"

Serigala emas itu menatap tajam pada Mireya. Dia menggeram dan matanya tampak semakin menyala-nyala seiring dengan semakin lamanya dia menatap Mireya. Persis seperti ada kemarahan tak terkira yang tengah menguasainya.

Di lain pihak, tatapan tajam serigala emas itu membuat tubuh Mireya dirayapi rasa dingin yang menusuk-nusuk. Seolah ada belati yang menghunjam hingga ke titik terdalam tulang belulangnya. Dia tak berkutik, nyaris tak bisa mengendalikan diri sendiri ketika satu ketakutan membuatnya bertanya pada diri sendiri. Tak mungkin dia adalah Usher. Itu mustahil.

Mireya menyingkirkan kemungkinan itu sejauh mungkin. Diingatkannya diri berulang kali bahwa saat itu Usher berada di Istana. Usher memberikan wewenang penuh untuknya mengurus perihal keluarga Munest. Selain itu, Usher tak lagi memiliki kepedulian terhadap Vione berkat teh sihir yang kerap diberikannya selama ini.

Kemungkinan mustahil itu tersisihkan. Fokus Mireya sekarang tertuju pada hal lain yang lebih mengkhawatirkan. Kalau dia adalah pria misterius yang dibicarakan oleh Torin maka sepertinya hal ini tidak bisa dianggap remeh. Kedatangannya untuk menolong keluarga Munest dengan mengabaikan segala macam risiko adalah pertanda buruk.

Mireya melirik sekitar. Dicermatinya keadaan sekeliling dengan cepat demi memastikan bahwa tak ada warrior yang tengah bersembunyi dan siap menyerang mereka. Setelah yakin maka dia pun beralih pada Storm. "Apa yang kau tunggu, Storm? Cepat tangkap dia! Aku yakin, dialah pria misterius di foto itu."

Storm tersentak oleh bentakan Mireya. Walau demikian dia tak langsung melaksanakan perintah tersebut. Sebabnya, tubuhnya serasa membeku oleh ketakutan yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. Persis rasa ngeri yang mustahil bisa menyergapnya mengingat dia adalah pemimpin warrior. Tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa menakutinya, membuatnya gentar. Tak ada, kecuali satu orang.

Mustahil, pikir Storm. Tak mungkin kalau dia adalah Alpha, tetapi ....

Sayangnya itulah satu-satunya alasan paling masuk akal yang membuat Storm merasa tak berdaya di hadapan serigala emas itu. Tubuhnya melemas, keberaniannya terusik. Selain itu tatapan tajam serigala emas berhasil membuat jiwa serigalanya tak berkutik sama sekali.

"Sialan kau, Storm!" bentak Mireya berang. Didekatinya Storm dengan langkah cepat. Lalu disambarnya pistol yang tergantung di pinggang Storm. "Kau benar-benar pemimpin warrior yang tak bisa diandalkan!"

Tuntas bicara maka Mireya pun mengarahkan muncung pistol pada serigala emas itu. Ditekannya pelatuk dan sebuah peluru perak meluncur dengan mulus di udara.

Suara berdesing terdengar, menciptakan sensasi ngilu yang memberikan bayang kesakitan bila peluru perak itu sampai merobek kulit dan menembus daging. Jadilah semua menahan napas. Sebabnya, sebagai manusia serigala, jelas saja mereka menyadari bahwa peluru perak adalah salah satu kelemahan vital mereka. Tak pelak, sekali saja peluru perak itu mengenai serigala emas maka bisa dipastikan dia akan lumpuh seketika.

Namun, ternyata tidak segampang itu untuk Mireya bisa melumpuhkan serigala emas. Bidikan pertamanya mampu dielak hanya dengan satu lompatan tak berarti, begitu juga dengan bidikan kedua atau ketiga.

Mireya geram. Diremasnya pistol dan terus saja ditekannya pelatuk bahkan tanpa perhitungan sama sekali. Bidikannya asal-asalan, peluru perak pun meluncur ke mana-mana. Jadilah semua yang berada di sana turut bersiaga pula, tak ingin mengambil risiko menjadi korban salah sasaran.

Napas Mireya memburu. Matanya menyorotkan kemarahan, juga frustrasi. Lalu seuntai senyum licik tersungging di wajahnya dan kembali dia menekan pelatuk.

"Tidak."

Storm mengulurkan tangan. Dicobanya untuk menghentikan Mireya, tetapi terlambat. Pelatuk pistol telah ditekan. Peluru perak kembali meluncur. Namun, kali ini bukanlah serigala emas yang menjadi sasaran Mireya, melainkan Addy.

Serigala emas menggeram, lalu melompat cepat ke arah Addy. Namun, peluru perak meluncur dengan begitu cepat dan langsung menembus dada Addy.

"Addy!"

Pekik Hilary pecah seiring dengan ambruknya tubuh Addy di tanah. Dia histeris sementara serigala emas tertegun dengan ketidakmampuannya dalam menyelamatkan Addy.

Hilary tak mampu menahan diri. Refleks membuatnya segera berlari pada jasad Addy. Diraihnya jasad Addy, lalu ditekannya luka itu dengan tangan gemetar. Dicobanya untuk menghentikan pendarahan sembari merintih. "Tidak. Tidak, Addy. Ini tidak boleh terjadi. Kumohon."

Kesedihan menyeruak ketika isak tangis Hilary menggema dengan amat memilukan. Semua membisu, tak ada yang bicara sama sekali. Pemandangan itu membuat mereka terhenyak oleh rasa ketidakpercayaan.

"Kau tak seharusnya melakukan itu."

Mireya memelotot pada Storm. Ditepisnya tangan Storm ketika berusaha untuk mengambil kembali pistol. "Aku tak akan melakukan ini kalau kau bisa bekerja dengan baik. Jadi, anggap saja sekarang aku sedang memberimu pelajaran," balasnya tanpa ragu sedikit pun. Lalu kembali diangkatnya pistol tersebut. "Sekarang, perhatikan baik-baik."

Persis seperti sebelumnya, Mireya kembali menekan pelatuk tanpa keraguan sama sekali. Dimanfaatkannya situasi ketika perhatian orang-orang masih tersita oleh kesedihan Hilary.

Tak ada yang menduga bahwa Mireya akan bertindak sejauh itu. Jadilah mereka terperangah ketika peluru perak kembali memakan korban, termasuk serigala emas.

Isak tangis Hilary terhenti, tergantikan oleh erangan kesakitan. Tubuhnya ambruk di atas tubuh Addy. Dia menggelepar untuk sesaat sebelum akhirnya tak bergerak sama sekali.

Keadaan menjadi tak terkendali. Vione masa lalu yang sedari awal berusaha untuk menahan diri tak lagi bisa berpikir jernih. Kematian Addy membuat jantungnya seolah tak berdetak lagi sementara kematian Hilary berhasil membuat nyawanya seperti lepas dari tubuh saat itu juga.

"Mireya!"

Vione masa lalu berlari. Ekspresi dan sorot matanya menyiratkan kemarahan tak terkira. Akal sehatnya menghilang, pikirannya tak lagi jernih. Satu-satunya hal yang ada di dalam kepalanya adalah keinginan untuk membalas Mireya.

Serigala emas tak akan membiarkan hal tersebut terjadi. Tak akan dibiarkannya Mireya mendapatkan alasan untuk bertindak serupa pada Vione. Maka dari itu dia melompat dan menerjang Mireya. Digigitnya tangan Mireya sehingga pistol terlepas ke sembarang arah!

*

Rasa mual yang amat memuakkan datang menghantam, mengguncang dengan penyiksaan yang tak pernah terbayangkan. Usher tampak amat menderita, nyaris tersungkur berulang kali sebelum akhirnya berhasil mencapai ruang rahasia Istana.

Dingin lantai menyambut tubuh Usher yang terkulai lemah tak berdaya. Dia benar-benar ambruk dengan keadaan menyedihkan. Dia berusaha bangkit, tetapi tubuhnya terasa berat. Persis seperti semua kekuatannya telah disedot habis, tergantikan oleh rasa frustrasi dan putus asa yang mencabik-cabik.

Usher merasakan dadanya sesak oleh penyesalan dan kesedihan. Lantas jadilah semua emosi negatif itu menyeruak dalam bentuk tangis histeris yang menyayat hati.

"Maafkan aku, Vione," rintih Usher dengan amat memilukan. Dipejamkannya mata rapat-rapat dan jadilah semua bayang tragedi tadi kembali berputar-putar di dalam kepala. "Maafkan aku."

Semua ingatan akan kegagalan menghajar Usher seperti gelombang tak berujung. Ingatan di masa ketika dia tak mampu melindungi orang-orang terpenting di dalam hidupnya muncul persis puting beliung yang memorak-porandakan kewarasannya. Pada akhirnya, dia menyadari bahwa semua keputusan, tindakan, dan usaha yang diupayakannya tak mampu mengubah masa lalu, semua tragedi tetap terjadi.

"Aku akan selalu menunggumu. Tak peduli di masa sekarang atau di masa lalu, aku akan selalu menunggumu. Jadi, kembalilah padaku."

Keputusasaan Usher terdobrak oleh ingatan lainnya, serupa seberkas cahaya samar. Suara Vione menggema di benaknya, tak ubah tengah berusaha mengusir semua emosi negatif yang menguasainya. Wajah Vione, senyum dan tawanya, memenuhi benaknya, seolah ingin mengingatkannya bahwa semua belum benar-benar berakhir.

Usher mengendalikan diri sebisa mungkin. Dikuatkannya diri dengan sebuah keyakinan bahwa ada banyak janji yang harus dia tepati, ada banyak harapan yang harus mereka wujudkan. Untuk itulah dia lantas bangkit dan segera melihat pada layar monitor. Ditampilkannya tayangan dari kamera pengawas penjara, tempat di mana Vione masa lalu berada sekarang.

*

Di mata Vione masa lalu, semuanya gelap. Persis seperti gelapnya malam itu, saat semua terjadi dengan begitu cepat dan tiba-tiba saja dia telah kehilangan segalanya. Dia telah kehilangan Addy dan Hilary, dia telah kehilangan dunianya.

Rasanya seperti tak nyata. Vione masa lalu sempat mengira bahwa itu adalah mimpi buruk. Sayangnya ketika dia membuka mata maka ada nyeri yang meremas jantungnya.

Napas Vione masa lalu sesak. Udara berubah menjadi ribuan jarum yang menusuk paru-paru. Sakit itu kembali hadir dan dia tak mampu membendung kepedihan yang menyentak sekujur tubuhnya.

Vione masa lalu mengerang. Kedua tangannya mencakar tanah penjara bawah tanah. Dicobanya untuk menciptakan rasa sakit yang lain demi melawan kepedihan yang tengah menggerogotinya dari dalam. Namun, nyatanya tak ada rasa sakit yang bisa mengalahkan sakitnya kehilangan orang tua.

"Usher."

Suara Vione masa lalu terdengar begitu rendah, tetapi menyiratkan beragam emosi mendalam, penuh dengan kebencian dan kemarahan. Begitu pula dengan sorot matanya yang tampak bengis.

"Bagaimana mungkin kau bisa setega ini padaku? Mengapa kau melakukan itu semua pada kedua orang tuaku?" Vione masa lalu meraung dalam kesedihan tak terkira. Jadilah dia mencakar tanah semakin kuat sehingga kulitnya terkelupas, lalu darah pun merembes. "Kudeta?" Dia tertawa perih di sela-sela air mata yang terus membasahi pipi. "Kau benar-benar kejam, Usher!"

Ada banyak kecaman yang ingin Vione masa lalu lontarkan pada Usher masa lalu secara langsung, semua rasa tak terima untuk ketidakadilan yang menimpa kedua orang tuanya. Namun, dia sama sekali tak memiliki kesempatan untuk menyuarakannya. Jangankan untuk bisa bicara secara langsung dengan Usher masa lalu, bahkan untuk sekadar bertemu pun dia tak bisa. Usher masa lalu sama sekali tak menerima permintaannya untuk bertemu.

Vione masa lalu menggeram dalam terjangan rasa putus asa. "Lalu, untuk apa kau mengurungku di sini, Usher? Mengapa tidak kau bunuh aku saja sekalian? Suruh Mireya untuk membunuhku pula!"

Masih begitu segar di ingatan Vione masa lalu ketika Mireya menembak Addy dan Hilary tanpa belas kasih sedikit pun. Bahkan bisa dipastikannya bahwa Mireya tak berkedip sama sekali, Mireya tak merasa kasihan sama sekali. Lantas menjadi hal paling menyedihkan adalah ketika dia tak mampu melakukan apa pun demi melindungi mereka. Dia hanya bisa histeris, berlari, dan tiba-tiba saja Alvin sudah menahannya dengan sigap.

Vione masa lalu benar-benar tak berdaya. Sekalipun dia berusaha untuk melepaskan diri agar bisa melawan Mireya, pada akhirnya Alvin tak memberinya kesempatan sama sekali. Tangannya diborgol dan jadilah perak itu membuatnya kesakitan. Dia pun menjadi lemah dan hal terakhir yang sempat dilihatnya adalah Mireya membentak garang, memberi perintah pada para warrior, dan serigala emas pergi dari sana.

Ketika Vione masa lalu tersadar dari pingsan maka yang didapatinya adalah luka di sepasang pergelangan tangannya sudah diobati. Selain itu, ada pula obat-obatan dan makanan di sudut penjara. Sayangnya hal itu tak bisa menyembuhkan semua luka yang dia derita—di hatinya.

Vione masa lalu benar-benar terpuruk dalam kesedihan. Tak ada yang bisa meredakan nyeri yang tengah dirasakannya. Namun, tiba-tiba saja terdengar olehnya derap halus langkah seseorang yang membuat tangisnya terjeda.

Tubuh Vione masa lalu menegang dengan sendirinya. Antisipasinya mencuat dalam keheningan penjara. Dia menajamkan indra, baik itu pendengaran ataupun penglihatan, berharap bisa mengenali siapa yang datang.

Langkah itu semakin mendekat. Suaranya benar-benar halus, mengirimkan isyarat pada Vione masa lalu bahwa si empunya mencoba untuk menyembunyikan kehadirannya. Maka dari itu dia pun bersiaga. Dia menunggu dan di waktu yang tepat, dia pun berhasil menangkap pergelangan tangan si pengunjung. Lalu satu keanehan pun dirasakan olehnya.

Si pengunjung—seorang pria dengan menggunakan pakaian serba tertutup—tampak tak bereaksi untuk tindakan Vione masa lalu. Dia tak merasa kaget ketika mendapati Vione masa lalu menangkap pergelangan tangannya, juga tak menunjukkan gelagat ingin melepaskan diri.

Vione masa lalu mengerutkan dahi. Sikap si pengunjung membuatnya merasa heran. Dia kebingungan dan lalu tanpa sengaja mereka bertatapan.

"Kau," lirih Vione masa lalu dengan suara bergetar. Sorot redup di sepasang mata si pengunjung membuatnya membeku. "Siapa kau?"

Si pengunjung menatap Vione masa lalu tanpa daya. Dia tampak putus asa. Ada kabut di sepasang matanya, serupa kesedihan yang tak mampu untuk dibendung. "Bagaimana kabarmu? Apakah kau baik-baik saja selama seminggu ini?"

Kebingungan Vione masa lalu semakin menjadi-jadi. Bahkan dia pun tidak mengetahui sudah seberapa lama dirinya berada di dalam penjara bawah tanah itu. Sebabnya, tak ada matahari dan bulan yang bisa dilihatnya sebagai pertanda waktu. Namun, anehnya si pengunjung itu melayangkan pertanyaan dengan makna lain yang tersirat di dalamnya.

Vione masa lalu tertegun sesaat. Sesuatu melintas di benaknya dengan sebuah praduga yang membuat tubuhnya terasa dingin. "Itu kau," ujarnya dengan nada rendah, tetapi sarat dengan tudingan. "Itu kau yang datang malam itu. Itu kau yang membuat nyawa kedua orang tuaku melayang. Itu kau!"

Si pengunjung tak menampik tuduhan Vione masa lalu. Sebaliknya, dia malah memejamkan mata dan berkata. "Maafkan aku, Vione. Maafkan aku."

"Jangan katakan maaf padaku." Vione masa lalu menggeram dan lantas genggamannya pada pergelangan tangan si pengunjung berubah menjadi cengkeraman. Disentaknya si pengunjung itu sekuat tenaga. "Katakan padaku, siapa kau dan mengapa kau melakukan ini pada kami? Mengapa?!"

Si pengunjung tak bisa menjawab. Jadilah ditatapnya Vione masa lalu dengan penuh penyesalan. "Maafkan aku, Vione. Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu, tetapi kumohon, percayalah padaku. Aku hanya berusaha untuk menyelamatkanmu dan keluargamu."

Di mata Vione masa lalu, ucapan si pengunjung dan kenyataan yang telah terjadi adalah dua hal yang bertolakbelakang. "Kau berbohong," lirihnya perih. Air mata yang sempat tertahan pun menjadi tumpah kembali di pipi. "Kau berbohong!"

"Aku tidak berbohong, Vione. Kumohon!" Kali ini si pengunjung yang menyentak Vione masa lalu. Dalam satu gerakan praktis dan gesit, cengkeraman Vione masa lalu di pergelangan tangannya lepas. Sebagai ganti, dialah yang berbalik mencengkeram pergelangan tangan Vione masa lalu. "Aku tidak berbohong dan untuk itu, kumohon, bersabarlah. Aku akan segera mengeluarkanmu dari sini."

Vione masa lalu tak akan pernah mempercayai ucapan orang yang turut berperan dalam tewasnya Addy dan Hilary. Namun, sesuatu membuatnya tertegun ketika dia ingin membantah.

"Aku berjanji padamu, Vione. Aku akan menjagamu. Aku tidak akan membiarkan Mireya mencelakaimu. Jadi, kumohon, kuatkan dirimu. Karena tak peduli apa pun yang terjadi, kau adalah seorang luna. Kau harus bisa bertahan."

Vione tak bergerak sama sekali, bahkan sekadar bernapas pun tidak. Udara seolah berkumpul dan tertahan di dada, bergumul ketika semua kata yang diucapkan oleh si pengunjung berputar-putar di dalam kepalanya. Lantas tatkala dia ingin mencerna semua maka si pengunjung membuat pikirannya kosong seketika. Sebabnya, si pengunjung mengulurkan tangan, mengusap jejak air mata di pipi, dan setelahnya ibu jarinya membelai wajahnya dengan penuh kelembutan.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top