Regretful Alpha 27
Suara itu terhalang oleh masker. Addy tak bisa menebaknya dengan pasti. Namun, tato yang terukir di leher itu memberikan jawaban pasti untuknya.
Addy sontak membeku. Pergerakannya terhenti seketika. Tubuhnya seperti kehilangan tenaga secara tiba-tiba. Parahnya, wajahnya berubah pucar dengan mata yang menatap bingung—serupa kosong—pada pria itu. Lalu dia berkata. "Alpha."
Mata pria itu memejam dramatis. Mulutnya terkatup rapat dengan ekspresi kekesalan yang tak bisa disembunyikannya sama sekali. Sebabnya, disadari olehnya bahwa sedikit respons refleks yang diberikannya telah memberikan jawaban tak langsung untuk rasa keingintahuan Addy akan identitasnya. Dia terlambat mengendalikan diri. Jadilah sekarang yang bisa dilakukannya adalah merutuki diri sendiri sembari berusaha pergi. Dia tak akan membiarkan Addy mendapatkan bukti lain bahwa dirinya memang adalah Usher—tepatnya, Usher dari masa depan.
Beruntung bagi Usher, agaknya Addy benar-benar syok sehingga antisipasinya melemah. Hal itu pun dimanfaatkan olehnya dengan sebaik mungkin. Dilepaskannya tangan Addy dari hoodie jaketnya. Lalu dia balik menahan Addy. Ditatapnya Addy dengan lekat dan menghunjam, kemudian berkata. "Terserah padamu. Kau bisa menganggapku sebagai alpha dan kalau memang demikian maka tak ada yang bisa kau lakukan selain melakukan perintahku bukan?"
Arogansi itu membuat Addy mengernyit. Keragu-raguan menyusup, lalu tatapannya pada Usher berubah. "Sebenarnya, siapa kau?"
"Sudah kubilang, itu tak penting. Terpenting adalah kau harus melindungi keluargamu. Pergilah dari sini. Semua ini demi kebaikanmu."
Setelahnya, Usher pun pergi dan tinggallah Addy seorang diri yang tetap bergeming di tempatnya berdiri. Dia mematung, sama sekali tak bergerak walaupun sebenarnya kemungkinan untuknya mencegah kepergian Usher tetap ada. Dia bisa terus mendesak sehingga dapat memastikan bahwa dugaannya benar.
Namun, Addy tak bisa melakukannya. Dia ingin, tetapi tak bisa. Seperti tubuhnya menolak untuk bergerak. Parahnya, dia malah gemetaran sehingga nyaris jatuh tersungkur di tanah andai tak buru-buru berpegang pada pohon.
Addy terengah. Napasnya kacau, demikian pula dengan pikirannya. Semua bergumul menciptakan kebingungan yang tak kira-kira.
Pada satu sisi, Addy yakin seratus persen bahwa itu adalah Usher. Bukan hanya karena tato tanda alpha itu yang memberatkan dugaannya, melainkan sorot tajam mata Usher. Baginya yang telah mengenal Usher secara pribadi maka tak ada keraguan lagi untuk dugaan tersebut.
Namun, keyakinan itu justru menimbulkan tanda tanya besar untuk Addy di sisi lain. Dipertanyakannya di dalam benak alasan untuk tindakan Usher. Baginya, semua terasa membingungkan ketika dia menyadari bahwa Usher tak lagi memiliki hubungan apa-apa dengan dirinya selain hubungan alpha dan anggota kawanan. Lebih lanjut, untuk skandal yang terjadi antara Usher, Vione, dan Mireya maka jadilah semua terasa semakin rumit.
Pikiran Addy terus berputar, tetapi tak ada satu petunjuk pun yang didapatkannya. Pada akhirnya, dia pun hanya bisa bertanya pada diri sendiri sembari terus melihat pada titik di mana Usher menghilang dari pandangannya. "Sebenarnya, apa yang tengah terjadi?"
*
Usher mencoba untuk mengendalikan diri ketika kepanikan mulai menerpa dan merambati sekujur tubuh. Diupayakannya untuk tetap tenang karena disadarinya dengan baik bahwa kekalutan tidak akan memberikan solusi. Pikirannya harus tetap jernih untuk bisa menemukan jalan keluar lainnya.
Napas yang semula menderu mulai teratur kembali. Denyut jantung yang berpacu pun menjadi lebih tenang secara perlahan. Usher lebih terkendali dengan pikiran yang kembali terang. Dia memutar otak, mencoba untuk berpikir, tetapi nahasnya tak ada rencana lain yang bisa didapatkannya.
Usher memejamkan mata dengan rapat. Dicobanya untuk terus berpikir, tetapi justru disadari olehnya bahwa satu-satunya jalan keluar memang hanyalah Addy.
Mata Usher membuka nyalang sesaat kemudian. Jemarinya terkepal erat dan dia menggeleng berulang kali. "Aku tidak bisa menyerah begitu saja. Aku harus meyakinkannya untuk segera pergi dari sini."
Usher hanya bisa berpegang pada satu-satunya jalan keluar yang dimiliki. Dia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan terakhir yang ada dan maka dari itu dia pun memutuskan untuk kembali menemui Addy.
Tak hanya dua atau tiga kali, Usher menemui Addy hingga berkali-kali. Terus dicobanya untuk meyakinkan Addy untuk segera pergi dari sana hingga dia nyaris putus asa.
"Kumohon, pergilah dari sini sebelum semua terlambat."
Ironisnya, persis seperti Usher yang bersikeras mendesak maka begitu pula Addy bersikukuh untuk menolak. Addy pun berpegang teguh pada pendiriannya.
"Aku tak akan pergi dari sini dan apa kau tahu alasannya?" Addy menatap mata Usher tanpa keraguan sedikit pun. "Sebabnya adalah aku terlahir sebagai bagian dari Kawanan Frostholm. Jadi, aku akan tetap menjadi bagian dari Kawanan Frostholm hingga mati. Aku tak akan pernah pergi dari sini."
Geraman menggetarkan dada Usher. Di dalam hati, dia berkata. Kalau kau tak pergi dari sini maka kau benar-benar akan mati.
"Untuk itu kuharap kau berhenti melakukan hal percuma. Aku tak tahu alasanmu sehingga menyuruhku melakukan hal paling tidak masuk akal, tetapi kukatakan padamu, hentikan semua ini sebelum aku lepas kendali. Aku bisa saja mengadukan ini pada pihak Istana dan kau akan menanggung akibatnya."
Usher menyipitkan mata. "Mengapa kau tidak melaporkan ini pada pihak Istana?"
Addy terdiam.
"Aku sudah menemuimu berulang kali dan kau tidak melaporkan ini pada pihak Istana. Mengapa? Bukankah itu karena ada sedikit keraguan yang kau rasakan? Bukankah ada sedikit kebimbangan yang membuatmu terus mempertanyakan tindakanku?"
Addy tak bisa menjawab. Tepatnya, dia tak bisa membantah.
"Aku tahu, kau pantas curiga, tetapi kumohon, aku sama sekali tidak berniat jahat padamu, pada keluargamu. Sebaliknya, aku hanya ingin menyelamatkan kalian sebelum semua terlambat."
Satu makna tersirat di kalimat itu membuat Addy mengerutkan dahi. "Apa maksudmu? Sebelum semua terlambat?"
Kali ini Usher yang terdiam. Walau demikian sepercik emosi yang berpendar di sepasang matanya memberikan jawaban tak langsung untuk Addy.
"Katakan padaku," ujar Addy sembari balik mendesak Usher. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Usher mengatupkan mulut serapat mungkin dengan ekspresi tersiksa. Pergolakan terjadi sehingga membuatnya menggeram dan hal itu membuat Addy semakin mendesak.
"Katakan padaku! Apa yang sebenarnya terjadi?!"
Usher terpojok. Keputusasaan sudah membayang di pelupuk mata. Dia terhimpit di antara kemungkinan menyedihkan yang akan terjadi pada keluarga Munest dan waktu yang terus berputar. Pada akhirnya, dia pun menyerah.
"Aku tak bisa menjelasnnya padamu, tetapi yang perlu kau ketahui adalah Istana sedang dalam keadaan tidak baik. Ada sesuatu yang terjadi dan itu akan membahayakan keselamatan keluargamu."
Addy tak langsung bereaksi untuk jawaban tersebut. Sebaliknya, ditatapnya Usher dengan lekat. "Apakah itu alasan sehingga Vione harus meninggalkan Istana? Apakah itu alasan sehingga kau ..." Dia menahan napas sejenak di dada seolah tengah meredam gejolak emosi yang dirasakan. "... memutuskan hubunganmu dengannya?"
Lidah Usher kelu. Dia tak bisa menjawab. Jadilah dia hanya bisa menatap sepasang mata Addy yang tampak berlinang.
"Aku tahu," lirih Addy sembari tersenyum perih. Dia mengangguk berulang kali dalam hantaman emosi yang tak kira-kira. "Aku tahu, kau mencintai Vione, Alpha. Aku tahu, kau tak akan mungkin menyakitinya. Aku tahu itu."
Mata Usher terpejam. Dia tak bisa mengatakan apa-apa untuk membantah kesimpulan yang diambil Addy. Parahnya, dia pun tak bisa berbuat apa-apa ketika Addy menjatuhkan diri di hadapannya. Addy berlutut sembari terus memegang tangannya.
"Aku akan melakukannya, Alpha. Aku tak akan menanyakan apa-apa lagi. Aku dan keluargaku akan pergi dari sini sesuai dengan perintahmu."
Usher tak bisa menahan rutukan di antara syukur yang dipanjatkannya di dalam hati. Pada akhirnya, dia pun menyisihkan keteledoran yang tak seharusnya dilakukannya. Paling tidak sekarang dia bisa sedikit bernapas lega. Addy dan keluarganya akan pergi dari sana.
"Kami akan pergi, Alpha."
Usher menarik napas dan meraih tubuh Addy. Niatnya ingin mengangkat Addy agar kembali berdiri, tetapi tiba-tiba saja tubuhnya menegang dalam antisipasi. Secuil gemerisik tertangkap oleh indra pendengarannya. Jadilah dia berpaling dengan serta merta dan di waktu bersamaan, dari arah berlawanan, terdengar kesiap seseorang.
"Addy!"
Mata Addy membesar tatkala mendapati kehadiran Hilary. Jadilah dia refleks menarik diri dan menciptakan jarak dengan Usher. "Hilary."
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Hilary sembari mendekat. Ditatapnya Addy untuk sejenak sebelum berpindah pada Usher yang berusaha menyembunyikan wajah darinya. "Siapa dia?"
Addy mengerjap dengan ekspresi bingung. Bisa dilihatnya gelagat Usher yang mencoba untuk menghindari kontak mata dengan Hilary. Selain itu, Usher pun refleks terus menutupi wajahnya walau dia mengenakan masker.
"Hilary." Addy menghampiri Hilary di waktu yang tepat. Dicegahnya Hilary untuk semakin mendekati Usher. "Apa yang kau lakukan di sini? Kupikir kau sedang berpatroli."
Hilary mengabaikan pertanyaan Addy. Terus saja dilihatnya Usher sembari berusaha untuk terus berjalan. "Siapa dia, Addy? Apa yang kalian bicarakan? Mengapa aku merasa ada yang tidak beres?"
Addy menggeleng dalam kebingungan. Di lain pihak, Usher pun tak ingin mengambil risiko. Pikirnya, cukup Addy yang mengetahui identitasnya, tak perlu ditambah dengan Hilary pula.
"Hilary, dengarkan aku. Kau—"
Usher melirik dan tak menyia-nyiakan kesempatan. Ketika Addy menahan Hilary dan perhatian mereka teralihkan maka dia pun bergegas pergi dari sana tanpa mengatakan sepatah kata pun. Langkahnya cepat dan ringan sehingga ketika Addy dan Hilary terlambat menyadari kepergiannya.
Addy mengembuskan napas lega sementara Hilary sebaliknya. Jadilah dia menatap Addy dengan sorot penuh curiga.
"Siapa dia, Addy? Apa yang kalian bicarakan? Aku merasa ada sesuatu yang tengah kau sembunyikan."
Addy meraih tangan Hilary. Dicobanya untuk menenangkan Hilary. "Dia bukan siapa-siapa, Hilary. Percaya padaku. Dia hanya seseorang yang kebetulan lewat dan sepertinya sedang terburu-buru."
Hilary mendengkus. "Apakah kau tidak bisa mencari alasan yang lebih baik lagi, Addy?"
Addy tak bisa membantah. Walau demikian bukan berarti dia akan membenarkan tudingan Hilary. Sebaliknya, digenggamnya jemari Hilary dan berkata. "Sudahlah. Tak perlu kita membicarakan hal penting. Lebih baik kita kembali ke pos jaga."
Tuntas bicara maka Addy pun tak memberikan kesempatan untuk Hilary membantah. Tak dilepaskannya genggaman pada jemari Hilary. Sebaliknya, dia malah menggenggam dengan makin erat dan mengajaknya untuk beranjak dari sana. Pada akhirnya, tak lagi didengarnya bantahan Hilary. Dia pun mengembuskan napas lega.
Di lain pihak, Hilary bukannya tak ingin mendebat Addy, melainkan karena dirasanya tak ada lagi yang perlu dipertanyakan. Sebabnya, sikap Addy justru memberikan indikasi pembenaran untuk kecurigaannya.
Hilary jelas bisa merasakan keanehan yang terjadi pada Addy belakangan ini. Lagi pula mereka sudah bersama lebih dari tiga puluh tahun lamanya sehingga dia telah mengenal Addy dengan baik, termasuk dengan setiap perilakunya yang tak biasa.
Addy tampak gelisah. Dia tampak tak tenang dan ekspresinya menunjukkan keresahan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Hal itu menerbitkan rasa penasaran yang menghantui Hilary. Namun, Addy tak menjawab setiap pertanyaannya. Alhasil keingintahuan mendorongnya untuk mencari tahu sendiri dan pada akhirnya, dia memergoki Addy tengan berbicara dengan Usher.
Di mata Hilary, Usher adalah seorang pria asing yang amat mencurigakan. Penampilannya yang serba tertutup dan sikapnya yang menghindari kontak mata dengannya membuat rasa curiganya semakin menjadi-jadi. Jadilah dia tak ragu sama sekali untuk mencap bahwa Usher-lah penyebab di balik semua keanehan sikap Addy belakangan ini.
Walau demikian Hilary tak ingin bertindak gegabah. Diputuskannya untuk tak mendesak Addy selama beberapa waktu. Pikirnya, dia harus mencari waktu yang tepat untuk membicarakan hal tersebut pada Addy. Dia akan menunggu, tetapi sayangnya takdir bertindak lebih cepat tanpa terduga. Sebabnya pada malam itu, tepatnya di pukul setengah satu dini hari, Addy membangunkannya dengan terburu-buru.
"Addy," lirih Hilary sembari bangkit dari tidur. Kala itu dilihatnya dalam pencahayaan temaram bahwa Addy tengah membuka lemari dan memasukkan beberapa pakaian mereka ke dalam koper. "Ada apa?"
Addy menjawab tanpa menoleh. "Bangunkan Vione. Suruh dia untuk berkemas seadanya. Kita akan pergi dari sini."
Hilary tertegun. "A-apa? Pergi dari sini?"
Addy menahan napas sembari menutup koper. Lantas dia bangkit dan menghampiri Hilary yang diterpa kebingungan. "Aku akan menjelaskannya nanti, Hilary. Terpenting adalah kita harus pergi dari sini sekarang juga."
"Namun, mengapa?" tanya Hilary sembari turun dari tempat tidur. Dihadapinya Addy dengan sorot tak mengerti. "Mengapa kita harus pergi dari sini?"
Addy tampak kesulitan. Dia tak bisa menjawab pertanyaan Hilary ketika dirinya pun tak tahu jawaban tersebut. Nyatanya dia pun tak mengerti alasan di balik perintah Usher. Namun, terpenting baginya adalah perintah alpha mutlak harus dilakukan.
"Aku tak punya waktu untuk menjelaskannya, Hilary, tetapi kumohon." Addy meraih Hilary. Dipegangnya kedua lengan atas Hilary sembari menatap dengan penuh keseriusan. "Percayalah padaku. Kita harus pergi dari sini sekarang juga."
Hilary diam sejenak. Yakinnya, itu pastilah ada hubungannya dengan pembicaraan Addy dan Usher. "Kau tak bisa menjelaskannya padaku, Addy?"
Addy mengerang tak berdaya. "Aku ingin, tetapi aku tak bisa. Jadi, kumohon, percayalah padaku."
Hilary kembali terdiam. Batinnya tengah berperang. Di satu sisi, ketidaktahuan itu membuatnya khawatir. Namun, di sisi lain, disadarinya dengan jelas bahwa Addy tak akan pernah bertindak gegabah, terlebih bila itu menyangkut dirinya dan Vione.
Pada akhirnya, Hilary menyerah dalam perasaannya. Dia abaikan logikanya, lalu memejamkan mata sembari mengangguk. "Baiklah, Addy. Aku percaya padamu. Kalau kau mengatakan bahwa kita harus pergi dari sini maka itulah yang akan aku lakukan, kita akan pergi dari sini."
Kelegaan membuat Addy mengembuskan napas panjang. Dipeluknya Hilary. Dikecupnya dahi Hilary. Setelahnya, dia berkata. "Bangunkan Vione dan suruh dia berkemas secepat mungkin."
Hilary mengangguk, lalu segera pergi ke kamar Vione. Mereka bergegas dan meninggalkan rumah sekitar dua puluh menit kemudian.
Mobil melaju cepat di kegelapan malam. Kepergian keluarga Munest diiringi keheningan yang berpadu dengan ketegangan. Mereka tak ubah tengah berlomba, persis tengah berpacu walau entah dengan siapa. Pastinya adalah Addy tahu bahwa waktu mereka tak banyak. Mereka harus pergi sejauh mungkin, secepat mungkin.
Addy meremas kemudi. Diinjaknya pedal gas semakin dalam. Namun, tiba-tiba saja muncul cahaya menyilaukan yang membuatnya langsung mengerem.
Hilary dan Vione masa lalu terkesiap kaget. Tubuh mereka terlonjak ke depan, membentur bagian dalam mobil. Walau demikian mereka tak memiliki waktu untuk merasakan nyeri yang tercipta. Sebabnya, ketika melihat ke depan maka mereka menyadari bahwa sumber cahaya menyilaukan itu bukanlah sebuah mobil, melainkan banyak mobil yang tak terhitung jumlahnya.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top