Regretful Alpha 26
"Maafkan aku, Usher. Ternyata aku tidak bisa menjaga janji yang telah kubuat denganmu. Aku tidak bisa mempertahankan ikatan ini ketika kau sendiri yang meminta untuk mengakhirinya."
Usher memejamkan mata sembari mengerang demi menahan lara yang amat menyiksa. Sebabnya, ucapan Vione berputar-putar di dalam kepalanya. Terus saja menggema sehingga membuat dadanya sesak, persis seperti seluruh dunia menghimpitnya dari segala arah.
Tubuh bergetar kuat. Usher terguncang dalam syok yang menghantam. Jadilah dia mengepalkan jemarinya dengan erat demi mengendalikan diri.
Tidak. Usher menggeleng. Tidak, Vione. Tidak, kumohon.
Namun, harapan Usher tak terkabul. Sebaliknya, suara Vione malah terus menggema. Jadilah setiap kata seakan memantul di dinding pikirannya, tak ingin pergi.
Usher mencoba untuk mengatur napas. Ditariknya udara dalam-dalam, tetapi dia malah makin tersiksa. Dia persis seperti menghirup gas beracun. Alhasil setiap tarikan napas hanya menambah luka di dalam dadanya, meninggalkan sensasi terbakar yang amat menyakitkan.
Pikiran Usher kacau, terombang-ambing di antara kenyataan dan masa lalu yang kembali terjadi. Jadilah keringat dingin memercik, lalu membasahi pelipisnya, membuat rambutnya basah dan menempel di kulit.
Degup jantung Usher meningkat, tidak beraturan, seakan ingin meledak saat itu. Persis isyarat bahwa tubuhnya, jiwanya, dirinya, sudah tak sanggup lagi untuk bertahan. Dunianya hancur berantakan, semua berderai menjadi keping-keping tak berarti.
Pada akhirnya, Usher tak lagi mampu bertahan. Dia pun terjatuh di lantai dengan keadaan yang menyedihkan. Air mata membasahi pipi dan ditatapnya langit-langit dengan sorot nanar.
Wajah Vione membayang di pelupuk mata Usher. Vione tampak tersenyum, dia bahagia, dan lalu berkata. "Aku mencintaimu, Usher."
Ringisan Usher semakin tak tertahankan lagi. Perih di hati, nyeri di jantung, semua luka yang dirasakannya bagai disiram air cuka. Jadilah dia meronta dalam penderitaan itu, dia terpasung dan tak bisa beranjak sama sekali.
"Takdir adalah misteri. Ada yang bisa kita ubah, tetapi ada pula yang tak bisa kita hindari. Maafkan aku, Alpha, tetapi kemungkinan bahwa yang kau lakukan akan menjadi hal yang sia-sia tetap ada."
Di waktu yang paling tidak tepat, ucapan Rowena justru turut menggema di benak Usher dan memperparah semua rasa sakitnya. Dia semakin nelangsa dengan perasaan sedih yang semakin menjadi-jadi. Lalu dia pun tertelan dalam pusaran emosi yang tak berujung.
Agaknya Usher menemukan kebenaran dari ucapan Rowena. Dia telah menemukan salah satu buktinya bahwa memang ada takdir yang tak akan bisa diubah dan itu adalah perpisahan mereka. Nyatanya, sekuat apa dia mencoba maka takdir tetap memisahkan dirinya dan Vione.
Semua sia-sia. Usher merasa seperti terjebak di dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai. Parahnya, semua detik yang telah diusahakannya justru menyiksanya dengan itensitas yang tak tertahankan. Dia telah mengupayakan semua, tetapi ternyata takdir tidak berubah.
Sekarang, tak lagi Usher mampu menahan diri. Jadilah dikutuknya takdir yang telah mempermainkannya. Sebabnya, dia sempat berpikir bahwa masih ada waktu tersisa. Semestinya demikian karena dia ingat betul ada jarak waktu antara pertengkaran, berita kehamilan Mireya, dan perpisahannya dengan Vione. Jarak waktulah itu yang ingin dimanfaatkannya dan pada dasarnya, rencana itu sempat berhasil karena dia bisa mendapatkan obat penawar dari Rowena.
Sesuatu melintas di benak Usher. Dirinya tersadar akan sesuatu yang paling penting, yaitu tindakannya telah membuat masa lalu berubah.
Sontak saja Usher bangkit. Kedua tangannya bertahan di meja dan fokusnya tertuju layar monitor yang besar. Dilihatnya tayangan dari kamera pengawas, lalu wajahnya semakin memucat.
Tak ada Vione masa lalu. Agaknya dia sudah pergi dari ruang makan. Jadilah Usher segera mencari keberadaannya di semua layar monitor kecil.
Bola mata Usher membesar ketika melihat Vione masa lalu yang bersiap di kamarnya. Dia tertegun, teringat jelas bahwa Vione segera pulang ke rumah orang tuanya setelah perpisahan mereka.
Rasa dingin menyergap Usher. Agaknya tindakannya benar-benar membuat masa lalu berubah, tepatnya berjalan lebih cepat, dan kalau semua seperti yang diduganya maka setelah ini akan ada tragedi lainnya.
Usher mengangkat wajah. Dilihatnya kepergian Vione masa lalu dengan ketakutan yang tak bisa dicegah.
"Orang tua Vione," lirih Usher dengan suara bergetar. Dia menggeleng berulang kali. "Tidak. Aku harus menyelamatkan orang tua Vione."
*
Mireya benar-benar tak mampu menahan luapan kegembiraannya. Jadilah dia segera menghubungi Torin setibanya di rumah.
Seruan senang Torin menggema di telinga Mireya. Lalu disusul oleh sebuah pertanyaan demi memastikan. "Kau serius bukan, Mireya? Kau tidak sedang bercanda bukan?"
"Aku serius, Torin." Mireya tertawa hingga merasa sedikit pusing. Jadilah dia buru-buru duduk di sofa. "Aku tidak sedang bercanda. Tadi, Vione dan Usher telah berpisah. Mereka benar-benar telah berpisah dan itu terjadi tepat di depan mataku."
Torin tak mampu menahan kesiap takjubnya. "Kau benar-benar luar biasa, Mireya! Kau benar-benar berhasil menaklukkan Usher."
Mireya kembali tertawa. "Tentu saja. Lagi pula persis seperti yang kukatakan padamu sebelumnya, tidak akan ada wanita yang sanggup bertahan melihat pria yang dicintainya berbahagia dengan wanita lain dan terbukti. Vione tak bisa bertahan ketika aku memperlihatkan foto hasil ultrasonografi itu." Dijedanya tawa untuk sejenak demi bisa menghirup udara dan pada saat itu, terbayang di benaknya wajah pucat Vione masa lalu. "Vione benar-benar memucat seperti mayat."
Rasanya sungguh menyenangkan dan Mireya tak pernah mengira sebelumnya bahwa melihat Vione masa lalu terdepak dari Istana Kawanan Frostholm akan memberinya kebahagiaan seperti ini. Mungkin itu ada hubungannya dengan kemajuan rencana mereka. Dengan perginya Vione masa lalu dari Istana maka peluang Mireya untuk menguasai Usher dan Istana secara sepenuhnya semakin terbuka lebar.
Persisnya, itulah yang kemudian dibahas oleh Torin. "Walau demikian aku belum benar-benar tenang dengan perginya Vione dari Istana. Sebabnya, kita sama tahu besarnya kesetiaan kawanan pada alpha dan luna mereka."
"Kau benar. Vione mungkin memang bukan luna lagi, tetapi aku yakin masih ada orang-orang yang menaruh hormat kepadanya. Hal ini tidak bisa kita biarkan begitu saja," ujar Mireya sependapat dengan pemikiran Torin. "Jadi, apakah kau ada rencana lain?"
"Sepertinya, ya. Pada intinya, aku benar-benar ingin menyingkirkan Vione agar posisimu di sana benar-benar mantap dan tak tergoyahkan."
Mireya manggut-manggut. "Lalu apakah yang rencanamu itu?"
"Sejujurnya, aku belum memikirkan apa pun, tetapi aku akan mengutus beberapa orang untuk memata-matai Vione. Karena menurut hemat pengamatanku, kalau Vione benar-benar terluka maka bisa jadi dia pun menyusun rencana untuk membalas dendan padamu dan juga Usher."
Bola mata Mireya membesar. Agaknya dia melewatkan kemungkinan tersebut. "Aku memang bisa merasakan kebencian Vione, tetapi aku tak terpikir sama sekali kalau dia berniat untuk membalas dendam padaku."
"Bukankah kau seorang wanita, Mireya? Lalu, apakah kau akan tinggal diam bila ada wanita yang merayuku?"
Mireya menggeram. Sontak saja wajahnya berubah. "Tentu saja tidak, Torin. Jangankan merayumu, bahkan ketika dia berniat saja maka aku akan langsung menghabisinya."
Tawa Torin menggema. "Kau benar-benar frontal, Mireya, dan itulah yang membuatku benar-benar mencintaimu."
"Sudahlah, Torin. Jangan mencoba untuk memecah konsentrasiku. Keadaanku sekarang benar-benar melelahkan," ujar Mireya sembari membuang napas panjang. Dia bangkit dan menuju ke dapur untuk mengambil secangkir air hangat. "Hormon kehamilan ini membuatku benar-benar merindukanmu."
Kali ini tawa Torin tergantikan erangan panjang. "Kau pikir hanya kau yang menahan rindu di sini, Mireya? Tentu saja tidak. Aku pun merindukanmu dan satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah menuntaskan rencana ini secepat mungkin. Setelahnya, kita tak akan terpisah lagi."
Itulah harapan Mireya. Jadilah, dia dan Torin melanjutkan pembicaraan malam itu dengan perencanaan langkah selanjutnya.
"Terpenting, Mireya, kau harus memastikan semua aset Kawanan Frostholm jatuh ke tanganmu. Jadi, aku akan mengutus orang untuk memberimu teh sihir Willow dan untuk kali ini, sepertinya kita harus menaikkan dosisnya."
Mireya mengangguk. "Sementara kau harus memata-matai Vione. Kita harus mencari celah agar bisa benar-benar menyingkirkan Vione dari dunia ini."
Pembicaraan berakhir selang lima menit kemudian. Mireya membuang napas lega dan sekarang adalah waktunya untuk beristirahat sejenak. Sebabnya, dia tahu bahwa akan ada hari yang panjang dimulai dari esok.
Mireya memejamkan mata sembari tersenyum lebar. Imajinasi membahagiakan mengisi benaknya dan lalu dia bergumam. "Tak lama lagi, Mireya. Tak lama lagi kau akan menjadi Luna Kawanan Nimbria."
*
Sejujurnya, perasaan Hilary tak pernah tenang sejak kunjungan Vione masa lalu beberapa waktu lalu. Terus saja dia merasa gelisah biarpun Vione masa lalu mengatakan dirinya baik-baik saja dan gosip yang berembus hanyalah gosip belaka.
Persis seperti yang terjadi pagi itu. Hilary merasa hatinya berat seperti digelayuti lara tanpa tahu sebabnya. Jadilah dia bingung dan mencoba untuk mengusirnya, tetapi lantas disadari olehnya bahwa itu bukanlah laranya. Itu bukanlah kesedihannya. Tepatnya, itu adalah firasat, tak ubah sinyal peringatan untuk sebuah kesedihan yang akan terjadi, dan dia membuktikannya.
Tepat di pukul satu dua belas siang. Hilary yang baru saja menunaikan tugasnya sebagai Petugas Kehutanan memutuskan untuk pulang sejenak ke rumah. Dia ingin beristirahat di rumah saja. Pikirnya, itu akan bisa membuat perasaannya menjadi lebih tenang. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Keberadaan Vione masa lalu di rumah membuat Hilary tertegun. Terlebih ketika dilihatnya Vione masa lalu menangis dengan begitu tersedu-sedu di kamarnya. Jadilah dia tahu, bahkan tanpa bertanya pun dia pastilah tahu, ada sesuatu yang buruk telah terjadi pada Vione masa lalu.
Berita mengenai pelengseran Vione masa lalu menyebar dengan cepat di antara para kawanan. Jadilah hal itu menjadi topik pembicaraan selama berhari-hari. Lantas karena itulah sehingga Hilary meminta Vione masa lalu tetap berada di rumah.
Vione masa lalu tersenyum. "Aku baik-baik saja, Ma. Jangan khawatir. Lagi pula semua ini akan berlalu."
Hilary diam saja. Ditatapnya Vione masa lalu dengan sorot tak berdaya. Dia tahu, Vione masa lalu amat terluka. Namun, Vione masa lalu memilih untuk menyembunyikan kesedihan itu demi dirinya dan Addy.
"Maafkan Mama, Vione." Hilary memeluk Vione masa lalu dengan erat. Sekarang, tak mampu ditahannya air mata yang telah memberontak selama berhari-hari. "Mama tak bisa melakukan apa pun untukmu."
Vione masa lalu tersenyum sendu. Dielusnya punggung Hilary dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. "Semua sudah lebih dari cukup, Ma. Aku sangat bersyukur. Aku mungkin tak beruntung dengan kehidupan cintaku, tetapi aku sangat beruntung karena memiliki Mama dan Papa di dalam hidupku."
Kepasrahan Vione masa lalu membuat kesedihan Hilary semakin menjadi-jadi dan di lain pihak, Addy pun merasakan deritanya sendiri. Sebabnya, sebagai seorang ayah, emosinya benar-benar membludak. Dia tak terima bahwa Vione masa lalu, putri kesayangannya, dicampakkan begitu saja.
Addy ingin memprotes. Dia ingin menemui Usher masa lalu dan menuntut keadilan untuk Vione masa lalu. Namun, secuil akal sehat berhasil mencegahnya dari tindakan impulsif.
Kenyataan menampar Addy dengan cara yang amat menyakitkan. Dia tak bisa menuntut Usher masa lalu. Dia tak bisa melakukannya karena Usher masa lalu adalah seorang alpha. Dia tak bisa melakukan apa pun karena itu bisa dianggap sebagai tindakan serius yang salah-salah bisa dianggap sebagai bentuk ketidakpatuhan terhadap alpha.
Jadilah Addy hanya bisa termenung seorang diri dalam ketidakberdayaannya. Di dalam hati, dia menghujat diri sendiri. Seandainya, Papa tak merestui hubunganmu dan Alpha, Vione. Maafkan Papa karena telah gagal melindungimu.
Gemerisik semak belukar menjeda kesedihan Addy. Instingnya menyala dan ada degup tak biasa yang memacu jantungnya. Jadilah dia buru-buru mengusap air mata di pipi, lalu diedarkannya pandangan ke sekitar sambil bertanya dengan suara tinggi. "Siapa kau?"
Addy menunggu sembari terus melihat ke sekeliling. Kewaspadaannya terjaga. Dia perhatikan keadaan tanpa melewatkan satu bagian pun. Lalu, tiba-tiba saja dilihatnya ada seorang pria yang keluar dari balik pohon.
Mata Addy menyipit. Diamatinya penampilan pria itu yang serba tertutup. Pastinya, dia mengenakan jaket hoodie dan masker. Jadilah dia tak bisa mengenalinya. "Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?"
Pria itu tak menjawab, melainkan terus saja didekatinya Addy. Matanya menatap, tetapi tidak tajam, melainkan justru menyiratkan sorot yang tak mampu dipahami Addy. Sebabnya, dia bisa merasakan kesedihan, rasa kehilangan, dan juga ketakutan di sana.
Kewaspadaan Addy mengendur. Instingnya mengatakan bahwa pria itu tak berniat jahat. Selama ini instingnya tak pernah salah dan dia selalu mempercayainya.
"Pergilah dari sini. Tinggalkan Kawanan Frostholm."
Addy terhenyak. Mungkin untuk pertama kalinya di dalam hidupnya, dia tak mempercayai instingnya. Baginya, di antara semua orang, jelas inilah orang yang paling berbahaya.
"Bisa-bisanya kau menyuruhku untuk pergi dari sini? Meninggalkan Kawanan Frostholm?" Addy memelototkan mata sembari mencoba untuk mengingat apakah dirinya mengenal suara itu. "Kau pikir, siapa kau?"
Pria itu mengerang putus asa. "Kumohon, pergilah dari sini. Ini demi kebaikanmu dan keluargamu. Ini demi Vione."
Nama Vione membuat tubuh Addy membeku. Jadilah kali ini dia membentak. "Katakan padaku! Siapa kau?!"
Pria itu tak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab pertanyaan Addy. sebaliknya, dia malah berkata. "Kau tak perlu tahu siapa aku, terpenting adalah kau harus segera pergi dari sini sebelum semua terlambat."
Setelahnya Pria itu segera pergi dari sana. Namun, Addy tak akan melepaskannya begitu saja. Jadilah dia melompat ke depan dan menyerang.
Bola mata pria itu membesar. Tubuhnya refleks menghindar. Dia selamat dari terjangan Addy, tetapi tak urung hoodie-nya tersambar.
Addy menarik hoodie pria itu. Niatnya adalah ingin melihat wajah pria itu, tetapi dia justru tertegun ketika melihat kilau emas yang menyala di leher pria itu, tepat ketika cahaya matahari menyinarinya!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top