Regretful Alpha 16

Pada akhirnya, air mata tak mampu ditahan. Jadilah sebulir air mata jatuh dan menetes di pipi Vione. Dia menyerah dalam ketakutan yang membuatnya lemah secara jiwa dan raga.

"Katakan pada kami, Rowena," lirih Vione sembari melihat pada Rowena dengan penuh harap. "Sebenarnya, seberapa besar risiko melintasi portal waktu? Karena aku bersumpah!" Kali ini adalah Rowena yang ditatapnya dengan lekat. "Aku tak pernah melihat Usher selemah itu."

Usher beringsut dari duduknya. "Vione," lirihnya sembari mengulurkan tangan, berusaha untuk meraih tangan Vione. "Kau—"

Vione menghindar. Diciptakan olehnya jarak yang membuat Usher tertegun. "Aku tak ingin mempertaruhkan keselamatanmu demi mengubah masa lalu, Usher." Dia menggeleng berulang kali dan kembali beralih pada Rowena. "Jadi, katakan pada kami, Rowena."

Mata Rowena terpejam dramatis. Tak sanggup dirinya menatap Vione ketika harus mengungkapkan satu kenyataan yang ditutupinya sedari awal. "Portal waktu menyerap energi. Manusia biasa tak akan bisa melewatinya. Bahkan manusia serigala, vampir, atau penyihir pun akan kehilangan energi sebagai konsekuensinya. Jika energi yang hilang terlalu besar maka kemungkinan terbesar yang akan terjadi adalah kematian."

Vione terhenyak. "Mengapa kau tak mengatakannya sedari awal, Rowena?" tanyanya penuh penuntutan. "Seharusnya kau tak menawarkan cara itu."

"Maafkan aku, Luna. A-aku ...." Rowena tak mampu meneruskan ucapannya. Jadilah dia hanya bisa menundukkan wajah. "Maafkan aku."

"Aku tak percaya kau melakukan ini pada kami. Tak seharusnya kau menawarkan cara berbahaya seperti itu," tuntut Vione tak terima. Lalu dia pun beralih pada Usher. "Sampai kapan pun aku tak akan merelakanmu untuk melewati portal waktu lagi, Usher. Aku tak ingin kehilanganmu."

Usher berusaha untuk turun dari tempat tidur walau dengan susah payah. "Vione, kumohon, tenanglah. Lagi pula bukankah kau bisa melihat keadaanku sekarang?" Dicobanya untuk meyakinkan Vione dengan penuh kehati-hatian. "Aku baik-baik saja."

Vione menggeleng sembari mundur. Terus dihindarinya Usher. "Tidak, Usher. Kali ini biarkan aku yang memohon padamu," balasnya sembari meringis tertahan. "Aku tak ingin kau mati. Aku tak ingin kehilanganmu dan setelah ini, setelah kau pulih seutuhnya maka kita akan pergi dari sini. Aku tak ingin kita tinggal di sini lagi."

Sontak saja wajah Rowena terangkat. Di waktu bersamaan, Ayla menghampirinya, mencoba untuk menenangkannya.

"Rowena."

Rowena tertegun dengan mata yang menatap kosong pada Vione. "Luna, aku bersalah dan aku memohon maafmu, tetapi aku tak berniat untuk menyembunyikan hal itu darimu. Lagi pula aku tak mungkin mempertaruhkan nyawamu. Kematian Alpha jelas adalah kematian pula untukmu."

Ucapan Rowena benar adanya. Nyawa Usher dan Vione telah terikat. Maka kematian salah satu di antara mereka akan menyebabkan kematian untuk yang lain.

Sekelumit akal sehat membuat kemarahan Vione terjeda. Walau begitu bukan berarti dia akan mengubah keputusannya.

"Aku hanya berniat untuk membantu, Luna. Hanya itu satu-satunya cara untuk membantu Alpha mengubah semuanya. Aku hanya ingin membantu agar Alpha bisa mengubah masa sekarang sehingga semua kemalangan yang terjadi bisa dihindari," lanjut Rowena dengan penuh kesungguhan. Kali ini diambilnya risiko dan terus ditatapnya Vione. "Juga, agar kau tak perlu menderita. Karena kuyakin, Alpha akan mengusahakan apa pun untuk membuatmu bahagia di masa sekarang."

Vione diam. Kata-kata Rowena berputar di dalam kepalanya sehingga menimbulkan pening. Keteguhannya sedikit terusik. Jadilah dia tak ingin mengambil risiko.

"Kau bisa mengatakan apa pun, Rowena, tetapi itu tak akan membuatku goyah."

Tuntas mengatakan itu maka Vione pun segera pergi. Tak dipedulikan olehnya Ayla yang memanggil dan turut menyusul dirinya. Dia terus menjauh dengan keyakinan yang akan terus dipertahankannya.

Rowena membuang napas panjang. Kepergian Vione membuat perasaannya berkecamuk.

"Rowena."

Rowena berpaling dan mendapati Usher yang menghampirinya dengan langkah tertatih. "Alpha."

"Maafkan Vione. Dia hanya terlalu mengkhawatirkan keadaanku sehingga bicara di luar kesadaran."

Senyum miris tersungging tipis di wajah Rowena. "Aku tak masalah sama sekali, Alpha. Aku tahu, dia tak ingin hal buruk terjadi padamu. Dia sangat mencintaimu."

Usher diam sejenak dengan perasaan ganjil yang mendadak saja hadir dan mengganjal benaknya. Lantas dia pun jadi teringat kembali akan kekhawatirannya semula yang sempat mempertanyakan kebaikan Rowena. Hal tersebut sempat terlupakan olehnya dan justru hadir lagi di waktu yang tepat.

Namun, sekarang tak ada waktu untuk Usher memikirkan semua kejanggalan dan prasangka tersebut. Terpenting baginya adalah memastikan bahwa Rowena akan tetap membantunya.

"Rowena, kuharap hal ini tak membuatmu berpikir untuk tak lagi membantuku. Bagaimanapun juga aku membutuhkan bantuanmu agar bisa menggunakan portal waktu."

"Apakah kau yakin, Alpha?" tanya Rowena dengan mata yang menyiratkan kebimbangan. "Kau lihat sendiri. Luna tak ingin kau melakukannya lagi, jadi—"

"Aku akan bicara dengan Vione. Aku akan meyakinkannya. Lagi pula ..." Usher menarik napas dan dirasakan olehnya ada sesak yang membelenggu dada. Nyatanya rasa bersalah itu masih bercokol di dalam sana. "... seperti yang kau katakan tadi, inilah satu-satunya cara untukku mengubah semua."

Rowena bisa melihat tekad yang membara di sepasang mata Usher. Harapan Usher untuk bisa mengubah masa sekarang tampak begitu nyata. Sayangnya hal tersebut malah menghadirkan rasa bersalah di benaknya. "Alpha, ada hal lain yang harus kukatakan padamu."

"Katakan, Rowena."

"Aku memang bisa membantumu untuk melewati portal waktu. Selagi kau mau maka aku akan selalu membantumu, tetapi tak ada jaminan bahwa masa lalu bisa diubah. Tak ada jaminan masa sekarang bisa berubah."

Usher diam.

"Takdir adalah misteri. Ada yang bisa kita ubah, tetapi ada pula yang tak bisa kita hindari. Maafkan aku, Alpha, tetapi kemungkinan bahwa yang kau lakukan akan menjadi hal yang sia-sia tetap ada."

Usher mengangguk tanpa menunjukkan keterkejutan sama sekali, seolah dia sudah mengerti akan hal tersebut. "Aku tahu. Aku pun sudah menduganya."

"Lalu?" Rowena mengerutkan dahi dengan reaksi yang diberikan oleh Usher. "Apakah itu artinya kau tetap ingin kembali ke masa lalu, Alpha? Apakah kau tetap ingin mencoba walau ada kemungkinanmu untuk gagal?"

Tanpa ragu sedikit pun, Usher pun kembali mengangguk. "Tentu saja dan karena itulah kuharap kau benar-benar memegang perkataanmu untuk tetap membantuku melewati portal waktu."

Tekad Usher membungkam Rowena. Jadilah sekarang dia yang tak bisa berkata-kata. Sebabnya, dia bisa merasakan kekhawatiran Usher dan dia yakin, di antara semua orang maka adalah Usher yang merasakan kekhawatiran paling mendalam.

Usher khawatir. Dia takut. Dia tak bisa membayangkan bila memperbaiki masa lalu tak mengubah apa pun di masa depan. Sayangnya, itulah satu-satunya harapan yang tersisa.

"Kemungkinanku untuk gagal memang ada, tetapi itu artinya aku pun memiliki kemungkinan untuk berhasil. Untuk kemungkinan itulah aku akan mencobanya, Rowena."

*

Vione memejamkan mata. Bisa dirasakan olehnya kehadiran Usher. Memang tak terdengar derap langkah ataupun suara lainnya, tetapi firasatnya tak akan pernah keliru dalam menangkap keberadaan Usher, persis seperti sekarang.

Satu sentuhan lembut mendarat di pundak Vione sesaat kemudian. Jadilah napasnya tertahan di dada, tubuhnya pun menegang seketika. Lantas dirasakan olehnya sentuhan itu berubah menjadi usapan pelan bersamaan dengan terdengarnya suara Usher yang menyebut namanya.

"Vione."

Vione beringsut. Dibiarkannya jemari Usher tergelincir dari pundaknya. Dia menghindar. "Jangan katakan apa pun, Usher. Sampai kapan pun aku tak akan membiarkanmu melewati portal waktu lagi."

Namun, Usher tak menyerah. Jadilah diraihnya pergelangan tangan Vione. Digenggamnya Vione dengan erat, tak dibiarkannya untuk pergi.

Vione meronta. "Usher."

"Kumohon, Vione," pinta Usher bersikeras. Ditariknya Vione sehingga tenggelam di dalam pelukannya. "Kumohon, dengarkan perkataanku."

Vione mengabaikan permintaan Usher. Sebaliknya, dia terus mencoba untuk melepaskan diri. Kedua tangannya mendorong dada Usher, tetapi upayanya sia-sia. Usher tak goyah sedikit pun.

"Hanya itu satu-satunya cara yang kumiliki, Vione. Jadi, kumohon. Biarkan aku menuntaskan semua ini."

Rontakan Vione semakin menjadi-jadi. Sikapnya tak lagi terkendali. Jadilah dia memberontak demi bisa membebaskan diri dari pelukan Usher. "Lepaskan aku, Usher," pintanya kasar. Lantas tak butuh waktu lama untuk matanya kemudian memancarkan keputusasaan yang tak terbendung, serupa kemarahan. "Aku tak ingin membahas ini lagi."

Usher tertegun oleh rontaan Vione, tetapi dia tak bisa mundur sekarang. "Kumohon, Vione, dengarkan aku."

"Tidak, Usher! Kau!" Kedua tangan Vione mendorong dada Usher dengan semakin kuat. "Seharusnya kau yang mendengarkanku! Aku tak ingin kehilanganmu, Usher! Aku tak bisa—" Tiba-tiba saja bayang menakutkan itu muncul dan mengisi benaknya—Usher bersikeras melewati portal waktu dan mengalami kematian di sana. Jadilah kata-kata menghilang dari lidahnya, tergantikan oleh isak yang tak bisa dibendung. "Aku tak bisa, Usher."

Pertahanan Vione runtuh. Kekuatannya lenyap. Ketegaran yang menjadi pegangannya sedari tadi sontak hancur. Pada akhirnya dia tak lagi berdaya dalam ketakutan yang melanda dirinya, dia lunglai.

Usher buru-buru mendekap Vione. Direngkuhnya tubuh Vione agar tak jatuh. "Maafkan aku."

Mata Vione terpejam. Kehangatan merembes dari sudut matanya, lalu mengalir dalam bentuk lelehan air mata. Lantas jemari yang tadi terus berusaha untuk mendorong dada Usher malah jadi meremasnya dalam ketidakberdayaan. "Usher."

"Maafkan aku, Vione. Maafkan aku."

Vione tak ingin mendengar maaf Usher. Baginya, itu adalah isyarat nyata yang tak terbantahkan untuk keinginan Usher. Niat Usher tak tergoyahkan.

"Maafkan aku, Vione, tetapi kumohon. Biarkan aku menuntaskan semua yang telah kumulai. Ini adalah satu-satunya kesempatan untukku menebus semua kesalahan dan dosa yang telah kuperbuat. Kumohon."

Vione mengerti. Bahkan di antara semua orang, agaknya adalah dia yang paling memahami penderitaan Usher. Mungkin hanya dia yang bisa memahami dengan tepat seberapa besarnya rasa bersalah dan penyesalan yang ditanggung oleh Usher.

Maka dari itulah gejolak perasaan semakin bergumul di benak Vione. Dia tak ingin mengambil risiko untuk keselamatan Usher sementara di sisi lain dia pun menyadari tugasnya sebagai seorang luna. Sepatutnya, dia selalu mendukung keputusan alphanya. Seharusnya demikian, tetapi dia tak sanggup.

"Apakah kita tak bisa mengakhiri semuanya cukup sampai di sini, Usher?" tanya Vione dengan lirih. Suaranya bergetar, menyiratkan kerapuhan yang terus digerus oleh rasa takut. "Bagaimana kalau kita lupakan semuanya, Usher? Mengapa kita tak menjalani hidup baru kita dimulai dari sekarang? Bisakah kita melakukannya?" Dia sedikit menarik diri, menciptakan jarak seadanya untuk bisa mengangkat wajah dan menatap Usher. "Kumohon."

Air mata dan permohonan Vione mendesak Usher. Jadilah hatinya terasa terbelah. Kebingungan membuatnya terombang-ambing di antara kewajiban sebagai seorang alpha dan keinginan pribadi untuk hidup bahagia bersama Vione.

Usher pun sama tak berdayanya seperti Vione. "Maafkan aku, Vione," pintanya sembari mengusap lelehan air mata di pipi Vione. "Kau lebih tahu dari siapa pun betapa aku mencintaimu, Vione." Lalu ditangkupnya wajah Vione dengan kedua tangan. Matanya menatap Vione lekat dengan sorot yang menyiratkan beragam emosi, di sana ada kesedihan, ketakutan, dan juga harapan. "Satu keinginanku sedari dulu adalah hidup bersamamu dalam suka dan duka. Jadi, percayalah. Aku sangat ingin menjalani hidup baru bersamamu, tetapi aku tak bisa."

Mata Vione kembali terpejam dan air matanya semakin menderas. Nyatanya, dia sudah menebak, pastilah Usher akan menolak permohonannya.

"Kita bisa melanjutkan hidup, tetapi aku yakin semua kenangan buruk ini tak akan melepaskanku sampai kapan pun."

Vione merintih. "Usher."

"Ini adalah satu-satunya kesempatan untukku, Vione. Aku tak akan bisa melupakan rasa bersalah ini. Dosaku sudah terlalu besar dan tak akan ada pengampunan yang bisa menghapusnya," lanjut Usher perih. Semua bayang masa lalu mengisi benaknya, memperlihatkan penderitaan tak berujung yang telah menimpa orang-orang tersayang di dalam hidupnya. "Aku tak akan bisa menjalani hidup dengan kenyataan bahwa akulah penyebab kematian mereka semua, Vione."

Vione menggeleng. "Tidak, Usher."

"Itu semua terjadi karena aku, Vione." Sebisa mungkin, Usher menahan ringisan tatkala ada nyeri yang meremas jantungnya. "Mama, Garth, Cora, Storm, dan Berg. Aku penyebab kematian mereka."

"Tidak, Usher. Kau melakukannya di luar kesadaranmu. Mireya." Vione berusaha untuk mengusir rasa bersalah Usher dengan satu fakta tak terbantahkan. "Semua ini karena Mireya. Dia yang menyebabkan ini semua. Kau berada di bawah kendalinya, Usher."

Usher mengangguk dengan seuntai senyum perih yang tak bisa disembunyikan. "Aku tahu, itu semua karena aku di bawah kendali Mireya. Namun, itu tetap tak bisa mengenyahkan fakta bahwa aku yang telah membuat mereka semua meninggal. Terparahnya adalah aku pun telah membuat kawanan hancur."

"Usher."

"Jadi, kumohon, Vione. Biarkan aku menebus rasa bersalah ini," ujar Usher sembari meneguk gumpalan getir yang bercokol di pangkal tenggorokannya. Rasa pahit menyebar dan disadari olehnya bahwa itu tak seberapa dengan rasa bersalah yang akan terus menghantuinya sepanjang masa. "Biarkan aku memperbaiki semua yang telah terjadi."

Kepedihan dan keteguhan Usher telah menyatu, lalu menghadirkan keputusan yang tak akan berubah. Vione jelas mengetahui itu, bahkan sejujurnya sudah menyadarinya sedari awal. Hanya saja keegoisan cintanya sempat berharap agar Usher berubah pikiran. Dia mencoba untuk membujuk, tetapi sayangnya tak berhasil.

Sekarang Vione tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia tak bisa menggoyahkan tekad Usher dan satu-satunya hal yang bisa dilakukannya kali ini adalah terus mendampingi Usher. Dia harus membesarkan hati alphanya.

"Aku tahu, kau tak pernah goyah untuk semua keputusan yang telah kau ambil."

Usher nelangsa. "Maafkan aku, Vione. Aku tak bisa memenuhi permohonanmu, tetapi kau harus tahu bahwa di atas segalanya, aku melakukan ini semua untukmu."

"Aku juga tahu itu," angguk Vione berusaha untuk tersenyum. Sayangnya, justru air mata yang terus jatuh di pipinya. "Aku tahu dan untuk itu, ingatlah satu hal, Usher." Lantas ditatapnya Usher dengan penuh perasaan. "Aku akan selalu menunggumu. Tak peduli di masa sekarang atau di masa lalu, aku akan selalu menunggumu. Jadi, kembalilah padaku."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top