Regretful Alpha 13

"Omega. Dia adalah seorang omega."

Ada begitu banyak bisik-bisik yang mengisi udara. Suaranya tak ubah dengung ribuan lebah yang memekakkan telinga. Semua terdengar sangat bising, menghadirkan denyut yang memeningkan kepala, lalu diikuti oleh mual yang terasa mengobok-obok perut.

"Oh, Tuhan. Kasihan sekali dia."

"Aku sama sekali tidak terkejut. Maksudku, kita semua mengetahui fisiknya yang lemah selama ini. Jadi, memang sangat masuk akal jika dia adalah seorang omega."

Vione muda menggeram dalam serangan panik yang tak mampu diredam. Seketika saja instingnya menyalakan antisipasi untuk semua yang bisa saja terjadi. Dia bersiaga, memandangi sekitar dengan sorot tajam. Namun, tak ada yang terjadi. Semua orang tetap berdiri di tempatnya masing-masing dan hanya melihat padanya, menatap padanya dengan sorot iba.

Geraman Vione muda memudar. Dirasakan olehnya tatapan-tatapan menyedihkan itu lebih menyakitkan ketimbang kekerasan fisik yang pernah didapatkannya ketika dirundung. Jadilah ada nyeri yang timbul di dalam hati, kepedihan yang tak mampu untuk dia hindari.

Vione muda melangkah mundur. Dia menjauh perlahan dengan beragam emosi yang memenuhi benak. Semua bergumul, kepalanya terasa penuh. Jadilah dadanya sesak sehingga sempat dia mempertanyakan diri sendiri, apa yang terjadi?

Butuh waktu sesaat untuk Vione muda memutar sekilas ingatannya ke belakang. Dia yakin, semua bermula dari kedatangannya dan orang tuanya, serta para Kawanan Frostholm ke hutan Amerotha yang merupakan tempat legendaris dalam sejarah kawanan.

Menurut kepercayaan yang beredar, hutan Amerotha adalah sumber kekuatan dan kebijaksanaan. Kawanan meyakini bahwa energi mistis yang selama ini menaungi mereka berasal dari sana. Alhasil itulah alasan mutlak sehingga kawanan menjadikan hutan Amerotha sebagai hutan suci, satu-satunya zona paling sakral yang pantas untuk menjadi tempat penyelenggaraan semua acara dan ritual.

Satu di antara acara dan ritual yang dilakukan, adalah upacara kedewasaan yang menjadi agenda rutin, sekaligus momen yang paling dinantikan dengan penuh antusias selain upacara pemberkatan alpha dan luna baru. Sebabnya, upacara kedewasaan merupakan ritual magi yang membebaskan jiwa serigala para manusia serigala muda. Pada saat itulah mereka akan berubah menjadi serigala untuk pertama kali.

Upacara kedewasaan akan mengubah para manusia serigala muda secara fisik dan jiwa. Mereka akan menyadari potensi dan kekuatan sejati yang terpendam di diri masing-masing. Lebih lanjut mereka diharapkan bisa lebih memahami peran dan tanggung jawab dalam kawanan. Sebabnya, masa depan kawanan berada di tangan mereka.

Kenyataan itu menyadarkan Vione muda untuk alasan kehadirannya di sana. Dia datang bukan karena ingin menjadi penonton upacara kedewasaan seperti tahun-tahun sebelumnya, melainkan sebaliknya. Kali ini dia adalah salah satu manusia serigala muda yang akan menjalani upacara kedewasaan.

Tanah Suci menjadi saksi bisu. Vione muda dan para manusia serigala muda lainnya berdiri membentuk lingkaran, mengelilingi altar. Wajah mereka tampak kaku, menyiratkan ketegangan yang menggelayuti hati masing-masing. Agaknya mereka sama menyadari bahwa masa depan dan takdir mereka ditentukan oleh malam itu.

Vione muda menarik napas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan diri ketika Ayla datang, menyeruak dari kerumunan kawanan yang mengelilingi mereka. Ayla langsung menuju pada tengah-tengah altar, lalu mengangkat wajah dan menatap bulan purnama.

Sedikit riuh yang sempat ada menjadi sirna seketika. Semua diam dengan mulut terkatup rapat. Tatapan lurus tertuju pada altar, menunggu dengan jantung berdebar.

Ayla mengangkat kedua tangan. Mulut berkomat-kamit, dibacanya doa dan mantera yang serupa lagu kuno. Suaranya melantun dalam irama yang beriringan, lalu merayap ke langit, memanggil kehadiran roh alam untuk mengelilingi mereka.

Kata terakhir yang terucap dari Ayla membuat semua napas menjadi tertahan di dada. Semua orang menunggu dan alam pun bereaksi, seolah memberikan tanggapan untuk panggilan Ayla.

Angin mulai berdesir lembut di antara pepohonan. Aroma bunga dan dedaunan segar menyebar ke mana-mana. Di atas semuanya, ada cahaya bulan purnama yang menyilaukan dan memantulkan sinarnya ke atas altar.

Suasana terasa mencekam. Altar mulai bergoyang dan getarannya merambat pada setiap kaki para manusia serigala muda. Dihantarkannya kekuatan spiritual yang lantas masuk ke tubuh mereka, mengalir di diri mereka.

Panas hadir. Darah mulai menggelagak. Keringat bermunculan dan para manusia serigala muda merasakan dentuman yang menyentak-nyentak jantung.

Mereka terjatuh dalam terjangan kekuatan tak terduga. Lutut tertekuk, kedua tangan bertahan di atas altar. Jemari mencengkeram bebatuan altar sementara rasa sakit menyeruak tanpa ampun, persis penyiksaan yang berjanji untuk meluluhlantakkan mereka tanpa sisa.

Erangan para manusia serigala muda pecah. Suara-suara berat saling bersahut-sahutan dan menyiratkan sakit yang terperikan. Wajah mereka memerah, penuh dengan peluh yang mengucur deras. Pembuluh darah bertonjolan di dahi, ekspresi mereka menampilkan penderitaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Persis seperti mereka tengah diiris hidup-hidup. Kulit mereka ditarik lepas, lalu daging pun dicongkel. Jadilah tercipta perih dan ngilu yang baru kali ini dirasakan oleh mereka.

Penderitaan berlanjut dan semakin menjadi-jadi ketika alam turut ambil bagian. Angin yang semula berembus lembut mulai menunjukkan taringnya. Gemuruh memberontak, menimbulkan kekacauan yang membuat keadaan sekitar menjadi porak-poranda. Dedaunan kering, kerikil, dan debu beterbangan. Alhasil keadaan menjadi tak terkendali dalam waktu singkat.

Mereka mencoba bertahan. Mereka terus berupaya untuk tetap kuat dalam terpaan angin yang kian ribut dan rasa sakit yang makin membelenggu. Namun, semua berada di luar kendali dan pertahanan mereka. Sensasi asing yang tak pernah mereka hadapi sebelumnya menghantam dengan tak kira-kira. Jadilah mereka bergelut dengan gelombang kekuatan magis yang menembus setiap serat tubuh mereka, menerobos hingga ke lapisan sel terdalam untuk membangunkan potensi tersembunyi dalam diri mereka.

Lama semakin lama maka getaran pun kian mengguncang, tak ubah gempa berkekuatan besar. Lalu disusul oleh nyerih yang asalnya adalah dari diri sendiri, seperti ada ribuan jarum tajam yang menusuk-nusuk daging. Kulit terasa ditarik ke semua sisi, disusul oleh suara berderak tulang yang mengerikan.

Perubahan terjadi. Cengkeraman jari pada lantai altar berubah menjadi tancapan cakar-cakar tajam. Erangan menghilang, bertukar dengan geraman menakutkan. Wajah-wajah manusia memudar dan tergantikan oleh wajah-wajah serigala yang gagah.

Ketegangan lenyap tanpa sisa. Kawanan yang menyaksikan perubahan itu membuang napas lega, tanpa sadar juga tersenyum, mereka senang karena upacara kedewasaan berjalan dengan lancar.

Para serigala muda tampil dalam wujud yang mengesankan semua orang. Penampakan mereka berbeda-beda, memiliki ciri masing-masing. Mereka tampak memikat dengan aura unik yang tak dimiliki satu sama lain.

Pandangan kawanan mengitari para serigala muda satu persatu. Sorot bangga terpancar jelas di mata mereka. Lalu semua terpana pada penampilan Vione muda yang sangat memikat.

Rambut putih keperakan, tampak halus dan berkilau di bawah cahaya rembulan. Matanya berbinar-binar seperti permata biru yang memancarkan kekuatan dan keberanian. Gerak-geriknya terkesan ringan, seakan meluncur tanpa meninggalkan jejak apa pun. Aura keanggunan dan kekuatan alami menguar, menjerat hati para kawanan yang tak bisa mengalihkan pandangan darinya.

Tatapan-tatapan yang tertuju pada Vione muda menyiratkan beragam reaksi. Banyak di antara mereka yang berdecak kagum, tetapi tak sedikit yang sebaliknya. Ada beberapa serigala muda yang justru memandangnya dengan sorot iri.

Vione muda mengerjap. Pandangannya mengitari sekitar. Ditatapnya kawanan satu persatu dengan kelegaan tak terkira. Tak dipedulikan olehnya ketakjuban orang-orang akan sosok serigalanya yang mengagumkan. Jauh di lubuk hati terdalamnya, dia hanya merasa bersyukur karena berhasil melewati upacara kedewasaan itu dengan lancar. Dia bisa berubah, dia memiliki sosok serigala, dia—

Pandangan Vione muda tertahan pada satu titik di dalam kegelapan malam, tersembunyi di balik bayang-bayang pepohonan besar yang kelam. Matanya menyipit, mencoba untuk menajamkan penglihatan, tetapi kosong! Siluet itu menghilang sedetik kemudian.

Vione muda bergerak dalam dorongan hati. Kaki depannya maju, berniat untuk melangkah. Dia seolah lupa dengan semua hal dan berniat untuk mengecek hal tersebut. Namun, tiba-tiba saja ada kesiap yang pecah dengan begitu dramatis.

"Tak ada cakar!"

Vione muda berhenti melangkah. Dia berpaling ke sumber suara dan mendapati seorang wanita serigala membelalak padanya.

"Vione tak memiliki cakar! Lihat kakinya! Dia tak memiliki cakar!"

Kebingungan melanda Vione muda. Tak dimengerti olehnya maksud ucapan itu untuk sesaat. Dia butuh waktu hingga menyadari bahwa kesiap itu disusul oleh kesiap lainnya.

"Benar! Vione tak memiliki cakar!"

"Oh, Tuhan. Dia adalah omega!"

Vione muda tertegun. Semua ucapan itu bergumul di dalam kepala dan menghadirkan rasa dingin yang menakutkan. Jadilah napas tertahan di dada, lalu diberanikannya diri untuk membuktikan hal tersebut. Dia mengangkat satu kaki depannya, melihatnya dengan kekhawatiran tak terbendung.

Jantung seolah tak berdetak lagi. Napas tak lagi berembus. Dunia seolah runtuh ketika Vione muda mendapati kebenaran itu. Dia memang tak memiliki cakar.

*

Masih begitu segar di ingatan Vione muda mengenai sorot-sorot penuh kekaguman kawanan ketika melihat penampilan serigalanya untuk pertama kali. Mereka tampak takjub, mereka kagum, bahkan tak sedikit yang menyiratkan rasa iri dengan terang-terangan.

Saat itu, masa-masa yang sayangnya tak lama, Vione muda merasakan kebahagiaan menyeruak di dalam dada. Pikirnya, mungkin untuk kali pertama di dalam hidup, dia bisa menjadi sumber kagum dan iri orang-orang.

Sayangnya semua kebahagiaan itu hanya berlangsung dalam waktu singkat. Orang-orang yang mulanya terpukau justru sekarang melihat Vione dengan tatapan beremosi negatif. Di antara mereka, ada yang menatapnya dengan iba, kasihan, syok, dan juga mencemooh.

Vione muda mencoba bertahan sebisa mungkin. Ditahannya desakan air mata yang ingin tumpah. Dikuatkannya hati yang meronta dengan penuh lara. Dia tetap berdiri tegak walau tubuhnya benar-benar terasa lunglai.

Satu yang menjadi penguat Vione muda adalah kenyataan bahwa takdir memang kerap tak berpihak padanya. Jadi, tak sepatutnya dia merasa terguncang. Sebaliknya, sudah sewajarnya dia piawai dalam menghadapi kekejaman takdir yang kembali datang.

Vione muda memutuskan untuk tidak melarikan diri dari sana. Dia tidak kabur dari upacara kedewasaan, melainkan menuntaskan semua ritual sakral itu dengan hati teguh. Setelahnya dia pun tak langsung pulang ke rumah seperti yang dikira oleh kawanan. Dia memenuhi undangan Istana untuk berpesta.

Gaun cantik yang telah dipersiapkan oleh Hilary membalut tubuh Vione muda dengan amat apik. Sepasang sepatu berhak tinggi menunjang penampilannya. Dihadapi olehnya beragam reaksi kawanan untuk keadaannya. Dia menarik udara dalam-dalam, lalu mengangkat wajah, menampilkan rasa percaya diri yang membuat orang-orang kembali terpukau untuk kesekian kali.

"Vione."

Langkah Vione terhenti. Dia berpaling dan mendapati seorang gadis serigala bertubuh mungil dalam balutan gaun selutut menghampirinya. "Halo, Cora. Gaun yang sangat cantik."

"Kau juga menganggap gaun ini cantik bukan?" Cora melihat ke bawah, lalu mengusap gaunnya sekilas sembari tersenyum. "Sepertinya pilihanku tepat. Aku merasa begitu percaya diri mengenakan gaun ini."

"Kau sangat cocok dengan gaun itu."

Cora mengangkat wajah, lalu mengamati gaun Vione. "Kau juga memilih gaun yang tepat. Kau terlihat sangat mempesona."

Senyum formalitas merekah di wajah Vione muda. Dikekangnya hati untuk tidak merasa tersanjung dengan pujian Cora. Pikirnya, Cora hanya berbasa-basi. "Terima kasih."

"Aku serius," ujar Cora dengan wajah serius. Ditatapnya Vione muda dengan lekat. "Sejujurnya, aku memperhatikanmu dari tadi."

Vione muda mengerjap. "Oh ya? Mengapa?"

"Aku baru saja tiba ketika merasakan ada sesuatu yang aneh. Jadi, aku melihat sekeliling dan menyadari bahwa di antara banyaknya para manusia serigala muda yang menikmati pesta kedewasaan malam ini, ada seseorang yang menjadi pusat perhatian."

"Ehm," deham Vione muda dengan wajah kaku. Diusapnya tengkuk yang mulai berkeringat. "Aku yakin, orang-orang memperhatikanku karena kasihan."

Cora menggeleng. "Tidak, justru sebaliknya. Aku melihatmu berjalan dengan langkah mantap, punggung tegap, dan wajah terangkat. Kau tampak sangat percaya diri tak peduli dengan apa yang baru saja terjadi." Dia mengulurkan tangan dan meraih jemari Vione muda. "Kau benar-benar keren." Keseriusan di wajahnya tampak semakin menjadi-jadi. "Oh, astaga. Aku memang tahu sejak lama, kau memang sekeren itu, Vione."

Kaku di wajah Vione lenyap dengan serta merta. Tawanya berderai dengan begitu saja. "Kau jangan menyanjungku, Cora. Aku bisa besar kepala."

"Aku tidak menyanjungmu. Lagi pula aku tak pernah bermanis mulut. Aku selalu mengatakan apa yang kurasakan dengan apa adanya."

Cora bergeming dengan ekspresi seriusnya. Matanya tak berkedip dengan tatapan yang lurus tertuju pada Vione muda. Kala itu dia seolah tengah menyelami lubuk hati terdalam Vione muda dan menyadari bahwa sudah bertahun-tahun berlalu dari pertemuan pertama mereka.

Seingat Cora, mereka masih berusia tujuh tahun ketika takdir mempertemukan mereka dalam ketidaksengajaan yang sedikit bernuansa tragedi. Sebabnya, dia yang bertubuh mungil dibandingkan dengan anak-anak manusia serigala pada umumnya tengah dirundung. Dia mencoba melawan, tetapi dia tak bisa berbuat banyak. Pada akhirnya, Vione datang dan menolongnya.

Cora tahu, Vione juga objek perundungan orang-orang. Jadi, sepatutnya Vione akan menghindar dari semua konfrontasi. Namun, Vione malah melakukan hal sebaliknya. Vione tak gentar ketika berdiri di depannya, melindunginya di balik tubuhnya yang lebih tinggi.

Di mata Cora, adalah hal biasa bila orang kuat menjadi pelindung. Sementara hal luar biasanya adalah bila orang lemah menjadi pelindung. Jadilah mulai di hari itu dianggapnya tak ada yang lebih keren dibandingkan Vione.

Sekarang waktu telah berlalu. Cora dan Vione muda telah menjalani upacara kedewasaan. Mereka telah sah menjadi bagian dari Kawanan Frostholm ketika berubah menjadi serigala untuk pertama kali.

Persis seperti yang dialami oleh semua manusia serigala muda saat upacara kedewasaan, Cora turut merasakan beragam emosi. Dia senang dan bahagia, terlebih karena sosok serigalanya sangat berbeda jauh dengan sosok manusianya. Sosok serigalanya besar dan tinggi dengan rambut bewarna kecokelatan yang sangat eksotis. Dia benar-benar gagah dan bagian paling membanggakannya adalah dialah serigala terbesar di upacara kedewasaan itu.

Namun, kebahagiaan Cora tak berlangsung lama. Sebabnya, dia tahu Vione muda justru merasakan sebaliknya.

Cora bisa menebak kesedihan Vione muda. Jadilah dia segera mencari Vione muda ketika tiba di aula pesta Istana. Dia menyeruak di antara kerumunan para manusia serigala muda yang tengah bersenang-senang dan justru tertegun dengan yang dilihat oleh matanya.

Vione muda berjalan dalam balutan gaun bewarna ungu muda yang cantik. Ketegaran memancar dari sepasang matanya. Dia abaikan semua mata yang melihat dan terus melangkah dengan keanggunan yang tak terbantahkan.

Pada akhirnya Cora menyadari bahwa tak sepatutnya dia mengkhawatirkan Vione muda. Dia terlalu meremehkan ketegaran dan keteguhan Vione muda. Jadilah sekarang dia yakin akan satu hal, yaitu Vione muda telah memasang standar tinggi untuk rasa sakitnya.

"Cora."

Cora tersadar dari lamunan singkat. Dia mengerjap sekali, lalu meremas jemari Vione muda. "Aku benar-benar bersyukur memiliki teman sepertimu, Vione."

Agaknya Vione sedikit tak mengerti dengan ucapan Cora yang dirasanya sedikit melenceng dari topik. Alhasil dahinya mengerut, tetapi Cora tak memberikannya kesempatan untuk bertanya. Sebaliknya, Cora malah mengajaknya beranjak dari sana.

"Ayo, Vione! Malam ini waktunya untuk kita bersenang-senang."

Cora mengajak Vione muda untuk menari dengan yang lainnya. Mereka bersuka cita dengan beberapa topik pembicaraan yang terus bergulir, sesekali diselingi dengan lelucon-lelucon menggelikan.

Suasana semakin mengalir dengan apa adanya hingga menyadarkan Vione muda bahwa mungkin semua tak semenyedihkan seperti yang sempat dia duga. Dia memang tak memiliki cakar, dia memang adalah seorang omega, tetapi bukan berarti dunianya berakhir.

Vione muda tetaplah seorang gadis serigala yang memiliki masa depan. Dia memiliki teman dan keluarga, juga pekerjaan menyenangkan di Istana. Ah! Jangan lupakan Buddy yang juga telah menjadi bagian dari hari-harinya.

Satu hal melintas di benak sehingga Vione muda menarik diri dari kerumunan pesta. Seharian itu dia terlalu fokus pada upacara kedewasaan sehingga tak sempat melihat Buddy. Sekarang, mumpung dia berada di Istana maka tak ada salahnya untuk menjenguk Buddy di paviliun tua.

Vione muda beranjak. Niatnya ingin segera keluar dari aula pesta, tetapi langkahnya sontak terhenti ketika ada Lewis datang dari arah berlawanan.

Senyum merekah di wajah Vione muda. Mulut membuka, dia bermaksud untuk menyapa, tetapi sorot mata Lewis membuatnya membisu.

Vione muda bisa melihat pergolakan di mata Lewis. Jadilah itu membuat senyumnya memudar. Dia menahan keinginan untuk menyapa, lalu memutuskan untuk menunggu sikap Lewis.

Pada dasarnya, Vione muda tak berharap banyak. Lagi pula dia memaklumi bila ada beberapa orang yang menjauhinya setelah upacara kedewasaan. Jadilah dia tak merasakan kesedihan apa-apa ketika Lewis mengambil sikap, yaitu mengubah arah langkah dan tak menyapanya sama sekali.

Vione muda membuang napas panjang. Anehnya, justru merasa lega. Buktinya adalah dia mendapati tubuhnya amat ringan ketika kembali lanjut melangkah, seolah tak ada beban apa pun yang memberati pundaknya.

Sebabnya, Vione muda tak lagi memiliki pertaruhan apa pun. Dia telah menampilkan diri dengan apa adanya. Jadi, sekarang dia hanya perlu duduk manis, menerima semua orang yang peduli padanya, dan mengabaikan semua orang yang memang tak ingin berhubungan lagi dengannya.

Satu di antara yang peduli, Vione muda yakin bahwa itu adalah Buddy. Kedatangannya disambut dengan gonggongan penuh suka cita. Buddy melompat kegirangan dan jadilah dia tertawa.

Tak ada musik. Tak ada keriuhan. Hanya ada Vione muda dan Buddy. Mereka menikmati waktu dengan penuh kedamaian. Rasanya amat menenangkan hingga nyaris membuat Vione muda tak menyadari kedatangan Usher muda.

Vione muda bangkit dari duduk. Dihadapinya Usher muda dengan sikap persis seperti yang diberikannya pada Lewis. Dia menunggu dan tindakan Usher muda membuat matanya membelalak seketika.

Usher muda maju. Dihampirinya Vione muda dengan tangan terulur. Diraihnya pinggang Vione muda dan lalu bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman lembut.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top