Regretful Alpha 12

"Buddy! Buddy! Jangan berlari terlalu jauh!"

Buddy menggonggong, lalu kembali berlarian ke mana-mana seolah memang sengaja untuk tidak menuruti perintah Vione muda. Ia masuk ke semak-semak dan mengejutkan Vione muda sesaat kemudian. Jadilah Vione muda yang fokusnya teralihkan untuk beberapa detik menjadi terlonjak.

"Buddy," lirih Vione muda dengan wajah gemas. Dihampirinya Buddy dengan kedua tangan terangkat, seakan-akan ingin menangkap. "Sepertinya sekarang adalah waktumu untuk kembali ke paviliun belakang. Waktu bermainmu sudah selesai."

Buddy kembali menggonggong, lalu melompat-lompat dengan riang. Agaknya ia paham bahwa Vione muda hanya bercanda. Jadilah mereka saling mengejar hingga satu pemandangan menarik perhatian Vione muda.

Ada Usher muda dan Graham berjalan di lorong luar Istana. Mereka tampak berbincang-bincang dan Vione muda memandanginya dari kejauhan hingga tanpa sadar seuntai senyum merekah di wajahnya.

"Apakah kau melihat pria tampan itu, Buddy?" tanya Vione muda sembari berjongkok dan meraih Buddy ke dalam pelukannya. "Bukan yang tua, tetapi yang masih muda. Ehm dialah yang memberi nama Buddy untukmu."

Buddy mungkin tak mengerti bahasa manusia, termasuk perkataan Vione muda, tetapi ia menyalak dengan sorot yang penuh dengan keceriaan, tak ubah tengah memberi isyarat bahwa ia menyukai nama yang diberikan untuknya. Selain itu keempat kakinya bergerak lincah seperti ingin melepaskan diri dari pelukan Vione muda agar bisa menghampiri Usher muda.

Vione muda mempererat pelukannya pada Buddy. "Jangan. Sepertinya dia sedang sibuk sekarang. Kita tak boleh mengganggunya."

Agaknya ada kemungkinan Buddy mengerti bahasa manusia, setidaknya perkataan Vione muda. Sebabnya, keceriaan Buddy menjadi redup sesaat kemudian. Buddy tampak murung dan dia menyadari hal tersebut dengan rasa heran—mungkinkah Buddy memang ingin bertemu dengan Usher?

"Kau tak perlu bersedih, Buddy," lanjut Vione muda sembari membelai kepala Buddy dengan lembut. Diembuskannya napas panjang sembari tersenyum dengan tatapan yang kembali tertuju pada Usher muda. "Aku berjanji padamu, kita akan menemuinya nanti setelah dia memiliki waktu luang. Bagaimana?"

Gonggongan Buddy menjadi jawaban yang membuat Vione muda tertawa. Jadilah dia melepaskan pelukannya pada Buddy. Dibiarkannya Buddy untuk kembali berlarian di taman yang luas itu.

Vione muda terus memperhatikan Buddy sambil sesekali melihat pada Usher muda. Tak mampu ditahannya keinginan hati yang mendorong untuk memanfaatkan kesempatan yang ada. Dia tahu, belakangan ini Usher muda memang sangat sibuk sehingga mereka pun jarang bertemu.

Paling tidak, melihat Usher muda dari kejauhan adalah hal yang patut untuk disyukuri oleh Vione muda. Lagi pula dia sadar diri, siapakah dirinya sehingga berharap agar bisa bertemu dengan Usher muda. Dia bukan siapa-siapa sementara Usher muda adalah calon alpha di masa yang akan datang.

Sayangnya rasa rendah diri Vione muda terbantahkan oleh sekelebat ingatan yang melintas dengan serta merta di benak. Terbayanglah olehnya semua perhatian yang diberikan oleh Usher muda padanya selama ini.

Vione muda buru-buru memejamkan mata. Ditepisnya sekelumit perasaan berbunga-bunga yang tumbuh di hati. Dia tak ingin jatuh ke dalam fatamorgana yang tak berdasar.

"Vione."

Satu suara menyentak Vione muda. Jadilah matanya membuka dan dia berpaling. "Lewis."

Lewis menghampiri Vione muda sembari tersenyum. Sempat dilihatnya Buddy yang berlompatan di antara tanaman sebelum kembali beralih pada Vione muda. "Sepertinya kalian sedang bersenang-senang."

Vione muda mendeham dan balas tersenyum. Di dalam hati, dia bersyukur. Kedatangan Lewis bisa mengalihkan pikirannya dari Usher muda. "Begitulah. Lagi pula kami tak punya banyak waktu untuk bermain sebentar lagi."

"Upacara kedewasaan," ucap Lewis yang langsung disambut anggukan Vione muda. "Jadi, sebenarnya aku bertanya-tanya. Belakangan ini, aku tak melihatmu dan Zeus. Apakah kau membawa Zeus ke rumahmu?"

Senyum di wajah Vione muda terjeda seketika. Dia tampak salah tingkah sehingga mengusap tengkuk secara tanpa sadar. "Sebenarnya, ia sempat keracunan makanan sekitar seminggu yang lalu."

"Keracunan?" Bola mata Lewis membesar. Ekspresinya menunjukkan syok. "Zeus?"

Vione muda mengangguk. "Ya, ia keracunan makanan, tetapi sekarang ia sudah sembuh total. Dokter sudah mengobatinya dan seperti yang kau lihat, ia sudah ceria lagi."

Lewis bisa melihat hal tersebut. "Syukurlah kalau begitu. Aku lega mendengarnya."

Di lain pihak, ada sesuatu yang membuat Vione muda justru merasa tidak lega. Jadilah dia meremas kedua tangannya satu sama lain. "Sebenarnya, aku mengganti namanya."

"Nama?"

"Ya," angguk Vione muda dengan perasaan tak enak. "Kuperhatikan, ia tidak menoleh ketika kupanggil Zeus."

Lewis mengerutkan dahi. "Benarkah?"

Vione muda tak menjawab pertanyaan itu secara langsung, melainkan dipanggilnya Buddy. "Zeus!"

Buddy terus berlarian. Dicobanya untuk mengejar kupu-kupu yang beterbangan di sela-sela tanaman bunga. Ia seperti tak mendengar apa-apa ketika Vione muda terus memanggilnya dengan nama 'Zeus'.

"Sekarang, aku akan memanggilnya dengan nama Buddy," ujar Vione muda sesaat kemudian. Kedua tangannya naik dan membingkai di depan mulut. "Buddy."

Langkah Buddy terhenti. Tak jadi ditangkapnya kupu-kupu, melainkan ia menggonggong dan segera berlari ke arah Vione muda. Jadilah Lewis terkesiap dan Vione muda tertawa.

"Benar bukan yang kubilang?"

Lewis tak mampu berkata-kata. "Sepertinya ia punya selera sendiri," ujarnya sambil geleng-geleng dengan sorot takjub. "Ia pasti sangat menyukai nama itu."

Tawa Vione muda semakin meledak. Disambutnya kedatangan Buddy dengan satu pemikiran di benak. Tentu saja ia menyukainya. Itu adalah nama yang Usher berikan.

Satu seruan yang tiba-tiba pecah di udara membuat tawa Vione muda dan Lewis terhenti seketika. Mereka menoleh dan mendapati Usher muda yang baru saja menyerukan nama Vione.

Selang waktu berlalu dan di sinilah Vione muda berada sekarang, di paviliun tua Istana bersama dengan Usher. Hanya ada mereka di sana dan Usher muda pun meminta sesuatu yang membuat pikiran Vione muda menjadi tak menentu.

Vione mencoba untuk menenangkan diri dalam gempuran detak jantung yang bertalu-talu. "Apa maksudmu, Usher?"

Disadari oleh Vione muda bahwa yang dibutuhkannya sekarang adalah penjelasan untuk permintaan Usher muda barusan. Namun, anehnya penjelasan yang didapatkannya justru menimbulkan kebingungan yang lain. Jadilah dia kembali tertegun dengan wajah yang menyiratkan ketidakpahaman untuk yang Usher muda katakan. Walau demikian ada satu hal yang dengan serta merta langsung didengungkannya di dalam benak, yaitu jangan berkhayal.

Sebabnya, perasaan berbunga-bunga itu mulai menunjukkan diri kembali. Mereka isi hati Vione muda dengan beragam emosi yang tak pernah ada sebelumnya.

Vione muda menahan napas di dada. Dicegahnya imajinasi yang mulai berulah, berniat untuk menampilkan angan-angan khas para gadis yang tengah dimabuk perasaan. "Usher," lirihnya kemudian dengan suara yang amat lirih, nyaris hanya serupa angin yang bertiup pelan. "Apakah ada sesuatu jika aku aku akrab dengan Lewis? Lalu, mengapa kau tak suka melihat kami akrab?"

"Aku ...."

Vione muda menunggu jawaban, tetapi Usher muda tak mampu melanjutkan ucapannya. Tampak olehnya, Usher muda tengah bergulat dengan diri sendiri. Dia bisa menangkap hal tersebut dari sorot yang terpancar dari sepasang mata gelap Usher muda. Jadilah dia membuang napas panjang, seolah ingin mengempaskan secuil impian yang sempat menumbuhkan diri tanpa permisi.

Rasa menyerah membuat Vione muda memulas seuntai senyum sayu. Dia berkata. "Sudahlah, Usher. Sebaiknya kau tak memikirkan hal tak penting."

"Vione." Usher muda bergerak dengan refleks ketika dilihat olehnya Vione muda menunjukkan tanda-tanda akan beranjak dari sana. Diraihnya tangan Vione muda. "Aku—"

"Kau pasti sangat sibuk, jadi aku lebih baik pergi sekarang. Lagi pula masih ada yang harus kukerjakan juga."

Kali ini Usher muda tak bisa berbuat apa-apa. Vione muda memotong ucapannya dan melepaskan tangan dari genggamannya. Setelah itu Vione muda pergi seolah tak terjadi apa-apa.

Usher muda memejamkan mata dengan dramatis. Mulut terkatup rapat dan geraman membuat dadanya bergetar dalam terpaan kesal tak terkira. Ironisnya, objek dari kekesalan yang tengah dirasakannya adalah diri sendiri.

*

Waktu berlalu dengan melelahkan bagi Vione muda. Akhir-akhir ini ada banyak tugas yang harus diselesaikannya. Namun, terpenting adalah dia harus mempersiapkan diri untuk upacara kedewasaan yang akan diselenggarakan nanti malam.

Sebagai seorang manusia serigala, upacara kedewasaan adalah hal terpenting, bisa diibaratkan sebagai tonggak vital dalam hidup. Sebabnya, upacara kedewasaan merupakan tradisi yang telah dijalankan sejak berabad-abad dulu dan bertujuan untuk menandai peralihan dari masa remaja ke dewasa. Di malam itu, mereka akan didoakan oleh Tetua Suci dan setelahnya, mereka akan berubah menjadi serigala untuk pertama kali.

Pemikiran mengenai upacara kedewasaan menimbulkan ketegangan yang sontak menjalari sekujur tubuh. Jadilah Vione muda menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tenang dengan mengingatkan diri bahwa itu adalah sebuah kemutlakan yang harus dilalui semua manusia serigala tanpa terkecuali. Dia tak seharusnya tegang secara berlebihan.

Sayangnya ada sesuatu yang menyebabkan ketegangan itu tak kunjung pergi. Keresahan terus menggelayuti benak Vione muda sejak matahari menyingsing di ufuk timur dan semua itu bersumber dari perkataan Ned tempo hari.

"Kita akan membuktikannya nanti, Vione. Karena kalau kulihat dari lemahnya tubuhmu selama ini maka sepertinya tebakanku tak akan keliru. Kau adalah omega."

Vione muda memejamkan mata dengan jantung yang mulai berdetak tak nyaman. Rasa gelisah yang dirasakan mulai berubah menjadi kekhawatiran. Bagaimana bila yang dikatakan oleh Ned benar? Bagaimana jika aku adalah seorang omega?

Kekhawatiran terus menghantui Vione muda sepanjang hari, menggali keraguan yang semakin dalam pada diri sendiri. Dia terjebak dalam labirin pikiran demi mencari keyakinan yang tak kunjung ditemukan. Jadilah semua emosi negatif bergumul di dada sehingga melahirkan ketakutan yang membuatnya jadi tak berdaya.

Sebabnya, tak bisa dipungkiri bahwa menjadi seorang omega bukanlah takdir yang diinginkan oleh manusia serigala manapun. Telah dilihat oleh Vione muda selama ini, para omega kerap direndahkan karena menjadi sosok terlemah dalam hierarki kawanan. Seringkali mereka diabaikan atau bahkan dihina, dianggap tak berguna.

Vione muda tak bisa membayangkan bila takdir memilihnya untuk menjadi seorang omega. Pikirnya, pastilah hal tersebut akan membuat para perundungnya selama ini merasa semakin senang. Mereka mendapatkan alasan tambahan untuk menertawainya lantaran dia bukan hanya anak angkat yang tak diketahui asal-usulnya, melainkan juga manusia serigala dengan status terendah.

"Vione."

Satu suara lembut membuyarkan lamunan menakutkan itu dari benak Vione muda. Dia berpaling dan mendapati sang ibu—Hilary Russell—masuk ke kamarnya. "Mama."

"Aku boleh masuk bukan?" tanya Hilary tersenyum. Sempat diliriknya pintu kamar Vione muda yang sedikit terbuka. "Kupikir, kau mungkin membutuhkan bantuanku."

Vione muda mengangguk dengan kedamaian yang serta merta timbul di hatinya. Seperti biasa, Hilary selalu bisa menenangkan kegundahannya. "Tentu saja, Ma."

Hilary masuk tanpa lupa menutup pintu. Dihampirinya Vione muda yang duduk di tempat tidur dengan beberapa gaun. Jadilah dia menyipitkan mata. "Kalau aku tak ingat tanggal hari ini maka kupikir kau sedang bersiap untuk berkencan dengan seorang pria, bukannya mengikuti upacara kedewasaan."

"Mama," erang Vione muda dengan wajah memerah. Rasa panas dengan cepat menjalari kedua pipinya. "Jangan mengatakan hal tak masuk akal."

Hilary tertawa sembari turut duduk di tepi tempat tidur. "Apa yang tak masuk akal? Kau sudah dewasa dan manusiawi jika kau berkencan."

"Ehm sayangnya aku tak berkencan dengan siapa pun."

"Benarkah?" Mata Hilary menyipit. Sorotnya tampak berubah, sedikit berbeda, seperti berniat untuk menyelidiki. "Sepertinya bukan itu yang kupikir ketika melihat kau dan Lewis."

Vione muda melongo sedetik, lalu buru-buru menggeleng. "Tidak, Ma. Aku dan Lewis tidak ada hubungan apa pun. Kami hanya berteman. Aku berani bersumpah. Kami memang beberapa kali mengobrol, tetapi kami—" Tawa Hilary membuat ucapannya terhenti seketika. Jadilah dia cemberut. "Jangan menggodaku, Ma."

"Oh, Tuhan," lirih Hilary di sela-sela tawa yang tersisa. Dihirupnya udara dalam-dalam sembari mengusap air mata yang terbit. "Kau tak perlu menampiknya seperti itu, Vione."

"Aku tidak menampiknya, Ma. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Aku dan Lewis ..." Vione muda menarik napas sebelum menuntaskan ucapannya. "... hanya berteman."

Kali ini tawa Hilary benar-benar menghilang. Sebagai ganti, senyum teduh merekah di wajahnya. "Tentu saja, kau dan Lewis hanya berteman. Untuk itu aku jadi bertanya-tanya, apakah ada pria lain yang kau sukai?"

Pertanyaan Hilary tak ubah anak panah yang menancap langsung di jantung Vione muda. Jadilah dia tertegun dan hanya bisa menatap Hilary tanpa bicara sepatah kata pun untuk sesaat. Ketika tersadar maka dia pun mendeham sembari mengalihkan pandangan, lalu menggeleng. "Tidak ada, Ma."

Senyum Hilary berubah. Jawaban dan gelagat Vione muda tak ubah dua hal yang bertentangan. Jadilah tak sulit untuknya menarik kesimpulan. Lagi pula dia adalah seorang ibu dan tak ada ibu di dunia ini yang tak bisa menebak hati putrinya, terlepas dari kenyataan bahwa Vione muda memang bukan anak kandungnya.

"Baiklah. Sepertinya aku harus lebih bersabar untuk bisa berkenalan dengan pria beruntung yang bisa mendapatkan hatimu. Jadi, bagaimana kalau sekarang aku membantumu untuk memilih gaun malam nanti?" Kembali dilihatnya beberapa gaun yang mengisi tempat tidur Vione muda. "Sepertinya kau membutuhkan bantuanku."

Tawaran Hilary melegakan Vione muda. Topik sensitif itu berakhir di waktu tepat. Paling tidak dia mungkin memang membutuhkan bantuan Hilary untuk memilih gaun yang cocok untuk dikenakan nanti. Lagi pula itulah alasan tambahan di balik antusiasnya kawanan menyambut upacara kedewasaan, yaitu adanya perayaan di Istana.

Hilary membantu Vione muda dengan segenap hati. Nyatanya dia bukan hanya membantu Vione muda dalam memilih gaun, tetapi juga mendandaninya. Dipastikannya sentuhan mekap membuat Vione muda tampak lebih segar dan cantik dari biasanya.

Selang waktu berlalu dan Vione muda telah siap dalam penampilan terbaiknya. Dia berdiri di depan cermin dengan Hilary yang berada di belakangnya. Bersama-sama, mereka melihat pantulan dirinya di cermin.

"Kau cantik sekali, Vione," puji Hilary dengan mata berbinar-binar. Sekilas, diremasnya kedua lengan atas Vione muda. "Kuyakin, kau akan menjadi serigala yang paling memikat malam ini."

Vione muda tak mengatakan apa-apa, tetapi dia tersenyum. Di dalam hati, dia mengaminkan harapan Hilary walau sejujurnya dia pun tak berharap banyak. Dia tak bermimpi untuk menjadi pusat perhatian. Sederhana saja, dia hanya berharap agar ketakutannya tidak menjadi kenyataan.

"Vione."

Vione muda mengerjap. Fokus matanya yang sempat menghilang sejenak pun datang kembali. Kala itu dilihat olehnya perubahan ekspresi Hilary melalui pantulan cermin. "Mama."

"Jangan pedulikan perkataan orang-orang, Vione. Apa pun yang terjadi, yakinlah pada dirimu sendiri. Kau berharga dengan semua yang kau miliki dan yang tak kau miliki."

Lidah Vione muda menjadi kelu. Tak dikira olehnya bila Hilary mengetahui kegundahannya. Jadilah dia menggigit bibir bawah demi menahan gejolak di dalam dada.

"Aku mencintaimu, Vione. Aku dan ayahmu akan selalu mencintaimu. Jadi, tak ada yang perlu kau khawatirkan. Kami akan selalu bersamamu."

Vione menyerah. Refleks saja tubuhnya berputar dan dipeluknya Hilary. Kala itu telah diabaikannya semua kekhawatiran dan ketakutan. Semua kalah oleh kasih sayang yang didapatkannya. Dia tahu, tak peduli apa pun yang terjadi padanya, akan selalu ada orang yang menerimanya tanpa syarat.

Hati telah siap. Vione pastikan diri untuk tak gentar menerima semua takdir yang akan datang. Sayangnya dia tetap tak berkutik ketika setetes kesedihan hadir dan membuat tubuhnya mati rasa, tepatnya setelah dia menyadari kebenaran dari dugaan Ned. Dia memang adalah seorang omega.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top