Regretful Alpha 1
◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌
Sebelumnya aku minta maaf karena untuk bulan April ini aku cuma update 2 cerita saja, soalnya aku keteteran selama bulan puasa. Jadi, harap dimaklumi ya.
Sebagai informasi, cerita ini murni fiksi. Semua karakter, nama tempat, dan yang lainnya adalah murni berasal dari imajinasi. Jadi semoga kalian menikmati :*
Note: Bacalah selagi on going, karena cerita bisa di-unpublish kapan pun setelah tamat nanti.
◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌
Sunyi menyelimuti. Hening menutupi semua sisi. Waktu seolah terhenti dalam kepekatan malam yang mulai berangsur pergi.
Di atas sana, pada sisa waktu yang tak seberapa, bulan purnama masih menyinari bumi dengan cahaya gemerlapnya. Ia seolah tengah menuntaskan janji untuk tetap ada hingga pagi benar-benar menyapa.
Angin malam yang sejuk berangsur mereda. Gemerisik dedauan yang timbul karenanya pun perlahan mulai tiada. Sunyi dan hening semakin terasa di mana-mana, seiring dengan menguarnya aroma hampa nan penuh kekosongan, isyarat untuk akhir semuanya.
Dalam kegelapan yang mulai memudar, Usher terbaring tanpa daya di atas tanah yang dingin. Diratapinya keadaan sembari terus melihat bulan purnama dengan tatapan yang kian sayu. Dia sekarat dengan rasa sakit yang tak lagi bisa diungkapkan dengan kata-kata. Lukanya tak terhitung dan darahnya terus mengalir, lalu menyatu dengan darah para serigala yang telah dahulu mati.
Wajah Usher pucat. Napasnya mulai memberat, tersengal, dan pendek-pendek, bukti nyata untuk kesakitan yang dalam. Bersamaan dengan itu maka timbullah kehangatan di kelopak matanya. Dia menangis, air mata mengalir di sudut mata dan lalu terjatuh, menyatu dengan darah.
Ini bukan karena luka. Nyatanya tak akan pernah ada luka yang mampu memberi sakit dengan amat menyiksa seperti ini. Rasanya seperti ada lubang hitam yang terus berusaha mengisap dan jadilah Usher nelangsa dalam hunjaman ribuan penyesalan.
Detik yang terus berganti membawa Usher ke dalam penghakiman diri sendiri. Semua kesalahan dan dosa yang telah dilakukannya berputar-putar di dalam kepala. Terciptalah rasa mual dan benci yang pada akhirnya membuat dia pasrah. Dia siap mati walau tahu dengan pasti bahwa kematiannya tak akan bisa memperbaiki semua.
Sorot mata Usher mulai meredup. Cahaya kehidupannya pelan-pelan memudar. Detak jantungnya pun semakin melemah dan disadari olehnya bahwa waktunya untuk pergi dari dunia telah tiba.
Usher memejamkan mata dan kesedihan semakin merebak di dada. Semua ingatan muncul, lalu menyadarkannya bahwa kematian bukanlah hal yang patut untuk ditakuti. Sebabnya, itu adalah satu-satunya cara yang bisa mempertemukannya kembali dengan orang-orang yang selama ini telah berjuang di sisinya.
Garth. Cora. Storm. Berg. Juga, Jemma.
Usher tak akan menggugat takdir. Dia siap untuk mati. Namun, disadari olehnya ada satu penyesalan yang pasti akan dibawanya sampai kapan pun, yaitu dia tak bisa meminta maaf kepada Vione.
Mata terpejam. Di dalam hati, Usher berbisik. Maafkan aku, Vione.
Bulan purnama telah pergi. Dingin malam tergantikan oleh hangat pagi. Matahari datang menyingsing dan disinarinya tubuh Usher yang tak lagi bergerak.
Usher bersiap untuk menyambut kematian. Dia telah bersiap untuk membawa semua penyesalan dan tiba-tiba saja terdengar pekik histeris yang menyebutkan namanya.
"Usher!"
Sepasang tangan merengkuh Usher. Lalu dirasakan olehnya kehangatan yang telah lama dirindukannya. Dia membuka mata dan bersyukur bahwa ada mimpi indah yang menemaninya di ujung hidupnya.
"Vione."
Vione menangis. Air matanya jatuh di wajah Usher. Jadilah Usher membeku.
"Vione?"
Vione menutup luka di leher Usher. "Kumohon, Usher. Bertahanlah. Kumohon. Bertahanlah untukku."
Pikir Usher, pastilah dia akan menyakiti Vione lagi untuk kesekian kali. Dia tak mampu memenuhi permintaan Vione. Dia tahu keadaan tubuhnya sekarang, dia telah sekarat, dan hanya keajaiban yang bisa menyembuhkannya.
Usher berusaha untuk mengumpulkan tenaga terakhir. Dicobanya menggapai wajah Vione, tetapi tak sampai. Jadilah tangannya jatuh kembali.
"Usher."
Usher merasakan sesak di dada. Waktunya benar-benar telah berada di ambang batas. Jadi, dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan terakhir itu. "Maafkan aku, Vione."
Vione menggeleng dalam deraian air mata yang semakin menderas. "Kau akan sembuh, Usher. Kau akan baik-baik saja," lirihnya sembari menguatkan diri. Dia harus segera membawa Usher pergi dari sana. "Kau akan ba—"
Ucapan Vione terpotong ketika dilihatnya mata Usher telah kosong. Usher tak lagi bergerak walau hanya sedikit pun. Usher pun tak lagi berusaha untuk menyentuh pipinya.
Vione mengusap pipi Usher. Lalu ditepuknya pelan. "Usher?" tanyanya dengan suara bergetar. Ketakutan telah hadir dan mulai menjalari sekujut tubuh. "Usher." Kembali ditepuknya pipi Usher, tetapi tak ada reaksi yang diperolehnya. "Usher. Tidak. Kau tak boleh meninggalkanku. Kumohon, Usher."
Namun, Usher benar-benar tak merespon panggilan Vione sama sekali. Dia membeku. Dia telah terbujur kaku. Jadilah kenyataan itu membuat Vione mendekap tubuhnya dengan amat erat.
"Usher!"
*
Kegelisahan itu membelenggu Ayla sehingga membuatnya nyaris tak bisa bernapas. Jantungnya berdetak dengan tak nyaman dan jadilah waktu berlalu dengan amat menyiksa.
Ayla melihat ke pintu goa, entah untuk yang keberapa kali, sembari berharap agar firasat buruknya salah. Dia terus berdoa, semoga saja penglihatannya salah, semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi pada Kawanan Frostholm.
Sebabnya adalah sekitar tengah malam tadi, Ayla mendapatkan penglihatan yang membuatnya gemetar seluruh tubuh. Jadilah dia terjatuh, lalu terduduk di lantai. Dicobanya untuk menenangkan diri, tetapi kematian Usher terlihat amat nyata di dalam penglihatannya.
Ayla tak tinggal diam. Dia pun segera menghubungi Cora dan terlepas apa pun yang telah terjadi, keselamatan Alpha adalah harga mati Kawanan.
Cora dan yang lainnya bergegas. Mereka pergi dan satu hal yang terlambat disadari oleh Ayla adalah Vione turut pergi pula ketika dia lengah.
Ayla merutuki diri sendiri yang teledor menjaga Vione. Harusnya dia tak lalai karena jelas diketahuinya sebesar apa Vione mencintai Usher. Tentu saja Vione akan melakukan semua cara untuk bisa menemui Usher tanpa peduli bahaya yang mungkin mengancam nyawanya.
"Kumohon, Dewi Bulan," pinta Ayla sembari memejamkan mata. Diucapkannya doa itu dengan penuh hikmat. "Selamatkan Alpha Usher. Selamatkan Kawanan Frostholm."
Ayla terus berdoa dengan anggapan bahwa itulah satu-satunya cara yang bisa sedikit menenangkan gelisahnya. Lalu disadari olehnya, ini adalah pertama kalinya dia berharap agar penglihatannya salah. Namun, semakin lama waktu berlalu maka semakin luntur pula harapannya. Sebabnya adalah penglihatannya tak pernah keliru.
Kegelisahan berganti ketakutan. Angin yang bertiup seolah tengah membawa pesan alam kepada Ayla. Jadilah wajahnya memucat dan jantungnya seakan tak berdetak lagi.
Ayla berpaling. Dilihatnya hutan yang hening untuk dengan perasaan yang semakin tak menentu. Lalu terdengar olehnya gemerisik dedaunan. Dia menunggu dan Vione muncul sembari memapah tubuh Usher.
"Alpha."
*
Tak ada yang bicara. Baik Ayla maupun Vione sama-sama membisu dalam kesedihan yang teramat dalam. Mereka menangis dalam nelangsa tak bertepi sembari terus memandangi tubuh Usher yang dibaringkan di lantai goa.
Vione mengusap wajah Usher yang penuh dengan darah dan debu. Dibersihkannya semua kotoran dengan penuh kehati-hatian sehingga dia bisa melihat wajah Usher yang selama ini selalu dirindukannya. "Kau tidak boleh meninggalkanku, Usher. Kau tidak boleh pergi dengan cara seperti ini."
Mata Ayla terpejam seiring dengan hatinya yang terasa makin pilu berkat ucapan Vione. Bisa dirasakan olehnya, betapa besar rasa kehilangan Vione. Sempat terbersit niat di benaknya untuk sekadar menenangkan Vione, tetapi akhirnya dia sadar bahwa tak akan ada kata-kata yang mampu untuk meredam kesedihan Vione.
"Ayla," lirih Vione sembari berpaling kepada Ayla tanpa melepaskan tangan Usher dari genggamannya. "Apakah kau tak bisa melakukan sesuatu untuk Usher? Kumohon, Ayla. Sembuhkan Usher."
Ayla menatap Vione dengan sorot ketidakberdayaan. "Kematian bukanlah hal yang bisa aku hadapi, Vione. Maafkan aku."
"Kumohon, Ayla." Vione melepaskan tangan Usher, lalu diraihnya tangan Ayla. Ditatapnya Ayla dengan sorot penuh permohonan. "Aku bisa merasakannya, Ayla. U-Usher belum benar-benar mati. Dia masih ada bersama dengan kita."
Ayla mengerutkan dahi. "Apa maksudmu, Vione?" tanyanya sembari melihat sekilas pada mayat Usher sebelum kembali beralih pada Vione. "Alpha sudah mati."
"Usher memang sudah tak lagi bernapas. Jantungnya memang tak lagi berdetak. Namun, aku bisa merasakannya," jawab Vione dengan tangan yang naik, lalu dia memukul dada sendiri. "Jiwa serigala Usher masih ada. Dia masih ada."
Wajah Ayla berubah, lalu dia melirih dengan ketidakpercayaan. "Tidak mungkin, Vione. Pastilah kau—"
"Aku bisa merasakannya, Ayla. Aku berani bersumpah, aku bisa merasakannya."
Vione tak bisa menjelaskan bagaimana mungkin itu bisa terjadi, nyatanya mereka tak lagi memiliki ikatan berpasangan. Sewajarnya, dia tak akan bisa merasakan apa pun berkenaan dengan Usher. Namun, dia tak akan salah merasakan sinyal lemah tersebut.
Jiwa serigala Usher meronta. Dia berusaha untuk melepaskan diri dari kungkungan yang selama ini telah membelenggu. Jadilah dia meringik dan Vione merasakannya.
"Kumohon, Ayla."
Ayla tak berdaya. Secara logika, tak ada yang bisa mereka lakukan sekarang. Tak ada jaminan Usher bisa kembali sadar walau jiwa serigalanya masih ada.
Namun, ini adalah Usher. Ini adalah alpha mereka. Bahkan bila peluang itu hanya sekecil butiran debu pun mereka akan tetap berusaha.
"Aku tahu seseorang yang mungkin bisa menyelamatkan Alpha, Vione."
Secercah harapan itu bersinar di mata Vione. "Siapa, Ayla?"
Tatapan Ayla memaku Vione dengan penuh kesungguhan. Hanya ada satu nama yang diyakininya bisa membuat harapan itu menjadi kenyataan. "Rowena."
*
Rowena tahu ada sesuatu yang tak beres sedari matahari terbenam. Hatinya diliputi oleh kegelisahan yang tak mampu diselidikinya, entah dari mana asalnya. Satu yang pasti adalah semalaman itu dia tak bisa memejamkan mata walau hanya sedetik pun.
Akhirnya pagi datang dan Rowena sempat mengira bahwa gelisah itu telah pergi, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Kegelisahannya semakin menjadi-jadi dan hutan menyiratkan kegaduhan yang tak terucapkan.
Angin bertiup kencang. Dedaunan bergemerisik. Binatang-binatang menyuarakan kecemasan tanpa putus. Jadilah Rowena mempersiapkan diri untuk semua hal buruk yang bisa saja terjadi.
Sayangnya hal buruk yang terpampang di depan matanya adalah sesuatu yang tak sempat diantisipasi oleh Rowena. Jadilah dia membeku ketika Ayla dan Vione datang dengan tubuh kaku Usher.
Sesaat, Rowena tak bisa berkata-kata dengan kedatangan mereka. Hanya ketika Ayla mendekatlah sehingga dia pun bertanya. "Ayla, apa yang terjadi? Ada apa dengan Alpha?"
"Kumohon, Rowena. Tolong selamatkan Alpha."
"Selamatkan Alpha?" tanya Rowena dengan nada tak percaya. Dilihatnya tubuh Usher untuk sesaat dan dirasakan olehnya bahwa tak ada lagi embusan napas Usher. "Ayla, Alpha telah—"
"Usher belum mati. Dia belum mati. Jiwa serigalanya masih ada."
Dengan tiba-tiba dan tak terduga oleh Rowena sama sekali, Vione menghampiri dengan langkah limbung. Vione nyaris terjerembab dan dia buru-buru menangkap kedua tangannya. Ditatapnya Vione lekat. "Kau tak apa-apa?"
Vione tak menjawab, melainkan dia malah balas memegang kedua tangan Rowena dengan amat erat. "Usher belum mati, jadi kumohon padamu, tolong selamatkan dia."
"Maafkan aku. Kematian bukanlah hal yang bisa kuobati."
"Tidak," tampik Vione sembari menggeleng berulang kali. Di balik air mata yang kian menderas, dia kukuh dengan pendiriannya. "Usher belum mati. Kubilang padamu, dia belum mati. Kau penyihir bukan? Jadi, rasakan dengan sebaik mungkin. Jiwa serigalanya masih ada. Jiwa serigalanya masih berjuang untuk tetap bertahan."
Rowena menatap Vione dengan sorot kasihan. "Maafkan aku, tetapi—" Matanya berkedip sekali dan di saat dunianya gelap untuk sedetik itulah maka dirasakan olehnya sesuatu yang asing. Bola matanya membesar dan dilihatnya kembali tubuh Usher. "Tidak mungkin."
Cahaya harapan itu seketika berkobar di sepasang mata Vione. "Kau merasakannya bukan?" tanyanya menggebu. "Kau merasakannya, jadi kumohon, tolong selamatkan Usher."
Rowena tak bisa mengatakan apa-apa, melainkan dilepaskannya diri dari genggaman Vione. Dia menghampiri tubuh Usher, lalu disentuhnya tepat di dada kiri. "Bagaimana mungkin? Ini mustahil terjadi."
Namun, kemustahilan itulah yang memberikan harapan untuk Vione. Jadi, ketika Rowena merasakan hal serupa dengan yang dirasakan olehnya, tak ada hal lain yang dilakukannya selain memohon.
"Kau bisa menyembuhkan Usher bukan?"
Pergolakan terlihat di mata Rowena. "Aku tak bisa menjanjikan apa pun padamu."
Mata Vione memejam dengan dramatis. Air matanya terus mengalir dan lalu dia pun mengangguk. "Tak apa, terpenting adalah kau mencobanya," ujarnya sesaat kemudian. Mata kembali membuka dan dipaksakannya untuk tersenyum. "Lakukan apa pun yang kau bisa untuk menyelamatkannya dan bila kau membutuhkan apa pun, katakan padaku. Akan kuberikan semua yang kumiliki agar Usher bisa sembuh kembali."
Cinta itu tampak nyata di mata Vione. Rowena bila melihatnya dan jadilah dia tertegun untuk sejenak. Udara yang sempat dihirup olehnya pun mendadak tertahan di dada. Sesuatu pada Vione membuatnya bertanya. "Sebesar itukah kau mencintai Alpha?"
"Katakan padaku kalau Usher bisa sembuh dengan jantungku maka akan kuberikan itu padamu," ujar Vione putus asa. Semakin lama dia semakin tak berdaya sehingga dia terduduk dan nyaris bersujud di kaki Rowena. "Bahkan bila kau meminta bayaran dengan nyawaku maka aku tak akan berpikir dua kali untuk memberikannya padamu. Jadi, kumohon." Dia mengangkat wajah dan menatap Rowena dengan sorot pengharapan. "Selamatkan Usher. Hanya dia yang kumiliki di dunia ini."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top