Clawless Luna 4
Vione abaikan beberapa pasang mata yang menatapnya iba. Bukan yang pertama kali, sejak dulu ia sudah sering mendapatkan tatapan demikian. Ia memang rendah dan pantas saja orang-orang mengasihaninya.
Namun, ini berbeda. Sepertinya tak pernah ada dalam sejarah Kawanan Frostholm seorang luna mendapatkan nasib mengenaskan. Biasanya mereka hidup dengan penuh kebahagiaan karena disayangi dan dicintai. Bukan hanya oleh semua orang, melainkan juga oleh alpha.
Sayangnya Vione tak mendapatkan itu. Harapan dan khayalan yang sempat mengisi hari-harinya selepas ramalan Ayla datang sirna sudah. Tanpa cinta dan kasih sayang alpha, ia benar-benar menjadi luna yang menyedihkan.
Vione menumpahkan semua kesedihannya setelah tiba di kamar. Diluapkannya semua jerit dan air mata yang selama ini ia pendam. Dada terasa nyeri dan ia pikir ia sudah tak sanggup lagi untuk bertahan.
Mungkin inilah batas akhirnya. Mungkin inilah waktu untuk menyerah.
Vione sudah tak sanggup lagi. Ia tahu batas kemampuan dirinya dan ia sudah melewatinya.
Ini bukan hanya tentang pandangan kasihan yang orang-orang berikan. Tidak. Vione sudah terlatih untuk menabahkan hati terhadap semua bentuk rasa kasihan orang-orang. Ia sudah kebal untuk itu dan tak lagi peduli. Namun, ini semua tentang Usher.
Mengapa kau tega melakukan ini padaku, Usher?
Di ingatan Vione, Usher adalah pria paling sempurna di dunia. Ia tak hanya cakap dan bertanggungjawab, melainkan juga sangat perhatian dan penuh kasih.
Usher tak akan segan-segan mengulurkan tangan untuk semua yang membutuhkan pertolongan. Ia tak pernah membeda-bedakan orang dan menghargai semua tanpa ada batasan sama sekali.
Walau demikian jangan ragukan ketegasan Usher. Tanggung jawab besar yang bertengger di pundaknya membuat ia bijak dan juga profesional. Bukan hanya untuk urusan Kawanan, melainkan juga menyangkut pekerjaan.
Jadi rasa-rasanya tak aneh bila banyak wanita yang jatuh hati pada Usher, termasuk Vione. Terlebih karena mereka telah mengenal satu sama lain sejak usia muda dan jadilah Vione jatuh cinta dengan sejatuh-jatuhnya.
Namun, Vione tak berani serakah. Dipendamnya cinta itu selama bertahun-tahun. Ia cukupkan diri dengan hanya melihat Usher dari kejauhan. Tak apa, ia mencari alasan untuk membantu orang tuanya bekerja di Istana, asalkan ia bisa melihat Usher. Setidaknya rindu yang dirasakannya bisa sedikit terbayarkan.
Demikianlah Vione melewati hari demi hari hingga Ayla mengumumkan ramalannya. Semua orang gempar, tetapi tak ada yang berani menentang. Jadilah ia dan Usher sepasang kekasih yang direstui Dewi Bulan dan seluruh alam.
Kala itu Vione mengira hidupnya akan berubah. Ia pikir akhirnya ia akan mendapatkan kebahagiaan sejati, tetapi ternyata tidak. Perselingkuhan Usher dan Mireya yang dilakukan tepat di depan matanya membuat semua mimpi-mimpi indah itu hancur lebur tak tersisa.
Vione memejamkan mata. Dienyahkannya semua bayang-bayang menyakitkan itu, tetapi sulit sekali. Semua seakan berputar-putar di dalam kepala dan membuat air matanya mengalir semakin deras.
Perih. Getir. Semua hadir menemani kesendirian Vione. Tanpa ada yang menemani, kesunyian menyelimuti.
Vione tertidur dalam letih dan sedih. Air mata mengering dan entah berapa lama kesadarannya pergi. Satu yang disadarinya, adalah usapan lembut di pipi yang membuatnya terbangun lagi.
Kelopak mata bergerak-gerak samar. Bulunya yang lentik bergoyang lembut. Vione terbangun dan untuk sesaat, ia mencoba memfokuskan pandangan.
Kebingungan langsung menghantam Vione. Dahi mengerut dan ia buru-buru bangkit.
"Argh."
Kepala Vione terasa berat. Sepertinya karena ia terlalu banyak menangis.
"Vione, kau tak apa-apa?"
Vione memegang kepala, menggeleng. "Tidak. Aku hanya merasa pusing."
"Sebentar. Kuambilkan minum untukmu."
Sesaat kemudian segelas air hangat berada di genggaman Vione. Diteguknya dengan perlahan dan rasa lega seketika menyeruak di dada.
"Bagaimana sekarang?"
Vione membuang napas panjang. "Lebih baik."
"Syukurlah."
Gelas kosong berpindah tangan. Vione bergeming dengan kebingungan yang semakin menjadi-jadi.
"Usher."
Usher berpaling setelah menaruh gelas kosong di nakas. "Ya?"
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Vione tanpa tedeng aling-aling. "Ini kamarku, bukan kamarmu."
Satu kenyataan pahit lainnya, yaitu mereka memiliki kamar terpisah. Terhitung hanya sekali mereka bermalam bersama. Itu adalah ketika malam pengantin mereka. Setelahnya Usher memerintahkan Vione untuk tidur di kamarnya sendiri.
"Oh, itu." Usher menarik napas dalam-dalam. Beringsut, didekatinya Vione yang duduk bersandarkan kepala tempat tidur. "Aku tahu ini kamarmu, Vione."
"Kalau begitu, apa yang kau lakukan di sini?"
"Apakah aku butuh alasan untuk datang ke sini?"
Vione terdiam. Benar yang dikatakan oleh Usher. Ia tak membutuhkan alasan apa pun untuk semua yang dilakukannya.
"Tidak."
Namun, tentunya Vione tak mengira bahwa Usher akan mendatanginya setelah yang terjadi seharian. Ia bertengkar dengan Mireya dan Usher. Mereka ribut.
Jadilah wajar bila Vione tak bisa menahan prasangka liar di benaknya. Ia yakin Usher tak mungkin mendatanginya bila itu tak berhubungan dengan yang terjadi tadi.
"Kau memang tidak butuh alasan, tetapi aku tahu kau tak akan pernah ingin menjejakkan kaki di kamarku tanpa alasan. Jadi apa, Usher? Katakan saja. Jangan kau ulur-ulur."
"Kalau kau memang menginginkan alasan, baiklah. Aku akan mengatakannya."
Vione menahan napas. Pikiran buruk semakin berkecamuk. Mungkinkah ini ada kaitannya dengan pertengkaran mereka sore tadi? Ketika ia menyinggung soal cinta, ramalan, dan hubungan berpasangan?
Apakah Usher akan—
"Aku ingin melihat keadaanmu, Vione."
Pertanyaan dan semua pemikiran buruk itu sirna seketika dari benak Vione. Ia melongo dan ditatapnya Usher tanpa kedip.
"Aku minta maaf untuk semua yang terjadi hari ini," lanjut Usher seraya menangkup satu pipi Vione. Ibu jari bergerak dan ia mengelus dengan lembut, terasa penuh perasaan. "Aku tahu aku menyakitimu, tetapi aku mohon. Maafkan aku."
Vione mengerjap. Ia pasti bermimpi. "Usher."
"Maafkan aku, Vione. Kau tahu bukan hanya kau yang mencintaiku. Aku ..." Usapan ibu jari Usher berhenti. Dibalasnya tatapan Vione dan ia lanjut bicara. "... juga mencintaimu."
Tubuh Vione tak ubah dedaunan kering yang dihantam hempasan angin. Ia rontok dan beterbangan tak tentu arah. Ia berceceran dan hilang arah.
"A-apa, Usher? Apa yang baru saja kau katakan?"
"Aku mencintaimu, Vione. Ini bukan karena ramalan atau apa pun. Ini karena kita berdua. Aku mencintaimu. Kumohon. Untuk pertama kalinya, aku mohon padamu. Apa pun yang terjadi, jangan pernah kau meragukan perasaanku."
Vione tak bisa berkata apa-apa. Ucapan Usher adalah sesuatu yang berada di luar jangkauan imajinasinya. Rasanya mustahil dan terkesan tak mungkin.
"Aku tak peduli asal-usulmu. Aku tak peduli kau tak memiliki cakar. Bagiku, kau adalah satu-satunya."
Vione menarik udara, tetapi justru tak bisa bernapas. "Usher."
"Aku mencintaimu, Vione."
Kesekian kali Usher mengungkapkan perasaannya dan Vione dapati jantungnya berdetak dengan dentuman yang tak pernah dirasakan sebelumnya.
"Aku juga mencintaimu, Usher. Aku sangat mencintaimu."
Ungkapan cinta bersambut. Vione tak membutuhkan apa-apa lagi. Semua sudah cukup, tetapi Usher justru kembali membuatnya ternganga.
"Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu. Aku ingin kau menerima dan memakainya sampai kapan pun."
"Apa itu?"
Usher tak menjawab dengan kata-kata, melainkan ia merogoh saku dan mengeluarkan sesuatu. Ditunjukkannya pada Vione sebuah kalung berbuah bulan separuh.
Vione diam dalam kebahagiaan tak terkira. Entah apa yang didoakannya sehingga malam itu memberikan kejutan terduga sedemikian rupa. Ia tak hanya mendapatkan ungkapan cinta yang teramat manis, Usher juga memberinya sebuah kalung.
"Aku ingin kau selalu memakainya," ujar Usher tepat di telinga Vione ketika mengenakan kalung tersebut. "Jangan pernah lepaskan apa pun yang terjadi."
Vione mengangguk seraya menundukkan wajah. Dipandanginya kalung yang sekarang bertengger cantik di lehernya, lalu ia menyadari sesuatu. Ia melihat Usher juga mengenakan kalung serupa.
"Kau benar. Aku juga memakainya."
Rasa penasaran Vione mendapatkan jawaban bahkan sebelum ia bertanya. Ia tersenyum seraya terus memegang buah kalung tersebut.
"Ini kalung yang sangat cantik, Usher. Terima kasih."
Usher tak mengatakan apa-apa. Ia diam, tetapi matanya menyorotkan senyum terindah yang tak pernah Vione lihat selama ini.
Vione terpukau. Disadarinya bahwa untuk kesekian kali, ia telah terjatuh pada pesona Usher.
"Ah."
Tiba-tiba sesuatu melintas di benak Vione. Ditatapnya Usher lekat-lekat seraya berusaha mengingat. Ia tak yakin, tetapi wajah dewasa Usher dan kalung bulan separuh itu terasa familier di matanya.
"Ada apa? Apa ada sesuatu?"
Vione mengerjap, lalu menggeleng. "Tidak. Tiba-tiba saja aku teringat masa kecil kita. Apa kau masih ingat? Dulu, aku pernah hampir tenggelam di danau."
"Aku masih mengingatnya. Lalu?"
"Waktu itu kau panik sekali. Kau ingin menyelamatkanku, tetapi kau juga tak bisa berenang. Jadilah kita nyaris tenggelam bersama."
Usher mengangguk dengan senyum lebar yang terbentuk. "Itu dulu. Sekarang, aku bisa berenang."
"Aku tahu, tetapi aku tak berencana untuk hampir tenggelam lagi."
Namun, bukan itu yang dimaksud oleh Vione. Jadilah ia menarik napas sekali sebelum lanjut bicara.
"Sekarang kalau kuingat-ingat, kau memiliki mata yang mirip dengan pria itu."
Senyum lebar Usher terjeda. "A-apa?"
"Matamu," ulang Vione seraya menangkup wajah Usher dengan kedua tangan. Seolah ingin memastikan, dipandanginya mata Usher tanpa kedip untuk sesaat. "Matamu mirip dengan mata pria yang menyelamatkan kita dulu. Selain itu ..."
Tatapan Vione berpindah. Kali ini yang dilihatnya adalah kalung di leher Usher. Ketidakyakinan terasa kuat, tetapi entah mengapa Vione merasa tak salah.
"... bukankah dia juga mengenakan kalung ini?"
Usher mendeham. Diraihnya dagu Vione agar menatapnya kembali. "Sebenarnya apa yang sedang ingin kau katakan, Vione? Bisa-bisanya kau membahas pria lain di saat kita sedang berdua."
"O-oh." Vione mengerjap salah tingkah, lalu menggeleng. "Tidak. Aku tidak bermaksud begitu."
"Di mataku, kau bermaksud begitu. Ehm. Apa kau tidak bisa hanya memikirkanku saja?"
"Itulah yang kulakukan selama ini, Usher. Aku selalu memikirkanmu. Tak pernah seharipun kulalui tanpa memikirkanmu."
Akhirnya Vione bisa benar-benar mengungkapkan semuanya. Tak hanya soal cinta, melainkan caranya melewati hari selama ini. Usher selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup dan matinya.
"Vione."
Vione pancarkan ketulusan dari sorot dan juga senyumnya. Ekspresinya tampak teduh dan membuat Usher tak bisa bernapas untuk sesaat.
Paru-parunya meronta, tetapi Usher mengabaikannya. Ia seakan tak peduli dengan diri sendiri ketika menyadari bahwa ada yang lebih penting ketimbang bernapas.
Jadilah Usher meraih tengkuk Vione. Dilihatnya sekilas, Vione memejamkan mata dan akhirnya bibir mereka bertemu.
Saling membuka dan saling melumat. Usher sadari paru-parunya tenteram kembali berkat oksigen yang dihirupnya. Menyenangkannya adalah ia menghirup oksigen dengan cara yang paling indah.
"U-Usher."
Lirih suara Vione tak ubah alunan musik surgawi. Nada-nadanya melantun merdu dan menerbitkan candu yang membuat Usher tak jemu-jemu. Jadilah ia mendesak dalam ingin yang menuntut lebih.
Vione terkesiap. Mata membuka walau tak bisa fokus memandang apa pun. Sekilas, dilihatnya tato alpha yang menghiasi leher kokoh Usher, kilau emasnya yang sewaktu-waktu berkelip membuatnya terpana, selanjutnya entahlah ke mana lagi matanya tertuju. Ia gelagapan, merasa gelisah ketika didapatinya ciuman Usher telah berpindah.
Basah. Hangat. Bibir Usher menyusuri leher Vione hingga si empunya merasa panas di sekujur tubuh.
"Apakah aku membutuhkan alasan untuk bermalam di sini?"
Bisikan Usher meluluhlantakkan Vione. Jantungnya berdegup semakin kencang dan ia tak bisa mengatakan sepatah kata pun sebagai jawaban, melainkan hanya menggeleng sekali.
Namun, itu sudah cukup. Usher tak butuh jawaban lebih nyata lagi untuk menyasar pada deretan kancing di kemeja Vione, dilepasnya satu persatu seraya berbisik.
"Berjanjilah padaku, Vione."
Bola mata Vione berputar. Matanya lantas memejam. Semua benar-benar menghilang dari benaknya ketika Usher menyentuhnya.
Tanpa penghalang. Tanpa ada jarak. Usher dan Vione menyatu dengan amat padu.
"Apa pun yang terjadi, Vione. Berjanjilah padaku."
Vione meremas seprai. Desahan menggema di dada dan digigitnya bibir bawah sekuat mungkin, lalu ia mengangguk.
"Aku berjanji, Usher."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top