Clawless Luna 32

Kehadiran pria itu menjeda semua kekacauan dan perkelahian. Tak lagi dipedulikan oleh mereka pertarungan yang sempat berlangsung. Satu hal yang segera menangkap perhatian mereka dengan serta merta adalah fakta bahwa pria itu memang ada.

Pada dasarnya, sebagian dari kawanan sempat meragukan keberadaan pria itu. Pikir mereka, bisa saja pria itu adalah tokoh tak nyata yang diciptakan untuk menimbulkan kegaduhan di kalangan kawanan selama ini. Lebih jauh lagi mereka menduga bahwa ada pihak jahat yang dengan sengaja menciptakannya untuk menjadi kambing hitam dari semua permasalahan yang ada. Jadilah tak sedikit dari mereka menganggap bahwa pria itu hanyalah kaki tangan saja, persis seperti bidak catur, dan pemain yang sesungguhnya adalah Mireya.

Namun, dugaan itu terpatahkan. Kemunculan pria itu yang tak terduga sama sekali telah mengenyahkan kemungkinan tersebut. Bisa dilihat oleh mereka bahwa pria itu dan Mireya berada di sisi yang berlawanan. Wajah Mireya berubah, tampak pucat. Reaksi Mireya dengan jelas menyatakan bahwa kemunculan pria itu adalah hal yang tak diharapkannya. Lalu jadilah mereka semua membisu.

Di sisi lain, kehadiran pria itu juga memberikan dampak untuk Berg. Masih segar sekali di ingatannya bahwa pria itu adalah satu-satunya orang yang mampu mengecoh penjagaannya selama ini di Istana. Pria itu bisa masuk dan keluar dengan begitu gampang tanpa ketahuan sama sekali oleh para penjaga. Bahkan peralatan canggih yang menjadi fasilitas utama Istana menjadi tak berguna sama sekali.

Rasa geram hadir, tetapi rasa penasaran lebih mendominasi. Sebabnya, Berg ingat betul bahwa pria itu pernah mengambil risiko untuk menyelamatkan Vione. Lantas satu pertanyaan pun melintas di benaknya. Apakah yang akan dia lakukan sekarang? Mungkinkah?

Rasa penasaran Berg mendapatkan jawaban sedetik kemudian. Tepatnya adalah ketika pria itu bergerak dan sontak saja beberapa serigala terpelanting ke mana-mana. Dihajarnya serigala itu dengan serangan yang begitu tepat dan efektif. Setelahnya dia segera menghampiri Ayla.

Ayla tertegun. Tatap mata mereka bertemu dan sekelumit niat untuk menghindari pria itu sirna seketika. Aura yang menguar dari pria itu menjanjikan keamanan, satu-satunya hal yang hanya bisa didapatkan manusia serigala dari alphanya.

Ketakutan Ayla lenyap tanpa tersisa sama sekali. Matanya berkaca-kaca. Satu keinginan timbul. Ingin dia memanggil pria itu, tetapi lidahnya kelu. Jadilah dia hanya memanggil di dalam benak. Alpha.

Pria itu berdiri persis di depan Ayla. Dipasangnya badan dan hal itu mengisyaratkan perlindungan kokoh.

Persis dugaan Berg. Pria itu datang dan mengambil risiko tertangkap Kawanan demi menyelamatkan Ayla. Jadilah semua keraguan menguap, lalu diambilnya keputusan besar. Dia melolong dan sontak saja beberapa serigala yang lain mengambil formasi.

Berg memerintahkan timnya untuk melindungi pria itu. Lalu dia berpaling, niatnya untuk memberikan isyarat pada pria itu untuk segera pergi dari sana bersama dengan Ayla. Namun, tatapan mereka bertemu dan sontak saja dia membeku jiwa raga.

Tatapan pria itu menghunjam hingga ke lubuk sanubari Berg yang terdalam. Sekelebat pijar emas di mata pria itu membuat jiwa serigalanya yang semula gelisah dan penuh dengan amarah seketika saja merasakan kedamaian. Sekelumit ketenangan mulai menjalari dirinya, menciptakan tekad dan juga kekuatan yang entah dari mana datangnya.

Pria itu memberikan satu anggukan pada Berg. Setelahnya, dia meraih tangan Ayla dan mengajaknya pergi dari sana. Diabaikan olehnya perkelahian yang kembali terjadi. Prioritasnya jelas adalah menyelamatkan Ayla.

Sementara itu Mireya tentu saja tak akan membiarkan pria itu dan Ayla kabur begitu saja. Jadilah dia mengacungkan tangan, memberikan perintah. "Tangkap pria itu dan Ayla!"

Para serigala yang menuruti perintah Mireya kembali bergerak. Mereka mencoba untuk mengadang pria itu dan Ayla, tetapi Berg dan timnya tak tinggal diam. Maka perkelahian pun kembali terjadi.

Berg kembali melolong. Dia dan timnya bertarung dengan gagah berani sehingga pria itu dan Ayla bisa pergi dengan selamat.

Mireya berang. Dia menggeram dengan kedua tangan mengepal. Ingin rasanya dia turun tangan, tetapi tak dilupakan olehnya bagaimana pria itu dengan mudah mempermalukannya tempo hari. Disadarinya bahwa melawan dan mengalahkan pria itu berada di luar kemampuan dirinya.

"Usher!" murka Mireya sembari berpaling. Kemarahannya menimbulkan niat untuk memanfaatkan keadaan itu sehingga bisa kembali memprovokasi Usher. "Apakah kau melihatnya? Ayla dan—" Ucapannya terputus ketika dia melihat Usher yang mengerang sakit. Tubuh Usher membungkuk dan dia memegang dada. "Usher, ada apa? Apa yang terjadi padamu?"

Usher tak menjawab pertanyaan Mireya. Indra pendengarannya seperti tak berfungsi dan suara yang didengarnya hanyalah dengung yang memekakkan telinga, tak ubah ada ribuan lebah yang sedang mengerumuninya.

Mata Usher memelotot dengan menakutkan seolah ingin melompat keluar. Bola matanya penuh dengan warna merah yang mengerikan. Keringat membanjiri wajah dan urat-urat bertonjolan di dahi. Dia tampak tersiksa sehingga terjatuh di lantai.

Erangan Usher semakin menjadi-jadi. Tangannya terkepal, lalu ditinjunya lantai hingga retak. Dia mencoba untuk melawan rasa sakit yang saat itu menyelimuti sekujur tubuhnya, tetapi tak bisa.

Nyeri dan perih menghentak setiap titik saraf. Terciptalah ngilu yang seakan-akan merontokkan semua tulang dan persendian. Usher meraung dan napasnya berubah menjadi terengah-engah.

Panas timbul. Asap tipis mengepul. Tubuh Usher seolah terbakar sehingga kulitnya memerah. Dia terpanggang dan rasa menyengat menyadarkannya asal dari semua penderitaan tersebut.

Kedua tangan Usher naik, lalu memegang leher. Di sanalah, semua penyiksaan dan rasa sakit itu berasal. Dari tato tanda alphanya yang bercahaya dan menyala-nyala seolah ada api yang tengah membara.

Usher amat tersiksa. Semakin lama maka semakin tak bisa ditahan olehnya rasa sakit tersebut. Pada akhirnya, dia melewati batas kemampuan untuk bertahan. Dia ambruk dan satu-satunya hal yang terus mengisi benaknya selama penderitaan itu adalah tatapan pria itu yang serupa cermin.

Beragam emosi terpantul. Anehnya, semua terefleksi dengan hal berlawanan. Kelemahan yang terpancar di mata Usher dikembalikan oleh kekuatan. Ketakutannya dibalas oleh keberanian. Keterpurukannya dibalas oleh kebangkitan.

Usher merasakan hal ganjil itu tepat ketika pria itu datang. Degup jantungnya berantakan, amat tidak nyaman. Peredaran darahnya terganggu dan puncaknya adalah ketika mereka bertatapan secara tak sengaja. Tato alphanya menyengat dengan serta merta.

Dunia Usher berputar-putar. Semua terombang-ambing tanpa kepastian. Lalu matanya menutup dan semua menjadi gelap.

"Usher!"

Pekik Mireya menyelinap di antara suara-suara riuh perkelahian. Dia menghampiri Usher dan memeriksa keadaannya. Beragam kebingungan mengisi benak, lalu dia bertanya pada diri sendiri. Apa yang terjadi pada Usher?

*

Vione merasakan firasat tak enak tepat ketika matahari menyingsing di ufuk timur. Kesadarannya datang dengan tiba-tiba dan dia bangun dari tidur dengan serta merta. Napas terengah dan keringat membanjiri sekujur tubuh, persis seperti dia baru saja berlari ratusan kilometer.

Sepanjang hari, perasaan tak nyaman itu semakin membuat Vione merasa lelah. Dicobanya untuk menenangkan diri, tetapi tak bisa. Dia pun tak luput untuk mencari tahu asal muasal kegelisahan yang melanda, tetapi tak kunjung ditemukannya.

Udara terasa menyesakkan. Vione semakin resah sehingga diputuskannya untuk sekadar menyusuri hutan. Dia keluar dari goa dan di waktu bersamaan, datanglah pria itu.

Langkah Vione terhenti seketika. Sejenak, dia hanya menatap pria itu tanpa kata. Lalu, fokus matanya berpindah pada seseorang di balik tubuh pria itu.

Bola mata Vione membesar. "Ayla."

Ayla segera menghampiri Vione. Keduanya berpelukan dalam kerinduan dan kelegaan yang tak terungkap kata. Akhirnya mereka bertemu lagi setelah sekian lama walaupun Vione yakin bahwa pertemuan itu disebabkan oleh hal yang tak baik.

"Ayla, apa yang terjadi padamu?" tanya Vione setelah pelukan mereka terurai. Dilihat olehnya keadaan Ayla yang berantakan dan kacau. Seketika saja dia merasa khawatir. "Mengapa kau ke sini?"

Ayla menahan napasnya di dada untuk sejenak. Kelegaan yang dirasakan olehnya pupus seketika berkat pertanyaan Vione. Dia tak bisa memberikan Vione jawaban. Satu-satunya yang bisa dikatakan olehnya adalah. "Semua sudah berakhir, Vione."

Tubuh Vione membeku. Ada getir muncul di pangkal tenggorokannya. "Apa maksudmu, Ayla? Apa yang telah berakhir?"

Ayla ingin menceritakan semua pada Vione, mengenai fitnah dan nasib buruk yang menimpa Garth, serta perkelahian yang terjadi pada kawanan. Namun, pria itu keburu mendahuluinya dan mengatakan hal sebaliknya.

"Tidak, Ayla. Semua belum berakhir."

Ayla dan Vione sama-sama berpaling, melihat pada pria itu yang masih berdiri di tempatnya. Dia bergeming, lalu menatap bergantian pada Ayla dan Vione. Sikap dan suaranya mengisyaratkan keyakinan dan juga keteguhan.

"Semua akan segera membaik. Kalian tak perlu khawatir. Jadi, pastikan kalian menjaga diri dengan baik."

Ayla dan Vione lantas saling menatap. Mereka diam, tetapi agaknya saling mengerti arah pikiran masing-masing.

Reaksi Ayla dan Vione menyadarkan pria itu. Jadilah dia berkata. "Aku pergi."

Pria itu pergi dengan bergegas. Dimasukinya hutan dan dia terus mempercepat langkah. Namun, tiba-tiba didengarnya gemerisik pada semak-semak. Matanya membesar ketika merasakan sebuah firasat.

Sudah terlambat untuk menghindar. Tangan pria itu telah diraih seseorang. Jadilah langkahnya terhenti dan dia refleks menoleh.

"Vione."

Vione menatap sembari mempererat genggamannya pada pergelangan tangan pria itu. Sesaat, dicobanya untuk mengatur kembali laju napasnya yang berantakan karena mengejar pria itu. "Kau."

"Apa yang kau lakukan?" tanya pria itu seraya melihat genggaman Vione. Dia ingin melepaskan tangannya, tetapi tak bisa. "Kumohon padamu, lepaskan aku. Aku harus pergi sekarang."

Vione menggeleng. Tatapannya menajam, sorotnya menyiratkan keteguhan. "Aku tak akan melepaskanmu sebelum aku tahu siapa kau. Kau ingin pergi sekarang juga? Baiklah." Dia mengangguk sekali. "Jawab pertanyaanku maka aku pun akan melepaskanmu. Apa yang sebenarnya tengah kau lakukan? Mengapa kau memfitnahku, tetapi sekarang justru membantu kami?"

Pria itu diam. Di balik masker yang dikenakannya, wajahnya berubah menjadi kaku. "Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu, Vione, tetapi percayalah. Aku sama sekali tidak berniat jahat padamu atau pada siapa pun."

Ada ketulusan yang Vione rasakan sehingga dia pun mengangguk. "Aku tahu, tetapi aku tetap ingin tahu, siapa kau sebenarnya?"

"Maafkan aku."

Vione tahu, sekadar permintaan tak akan berdampak apa-apa. Jadilah dia mengambil keputusan nekat. Tanpa terduga, diulurkannya satu tangan lainnya dengan cepat. Dia menyasar masker yang menutupi wajah pria itu.

Bola mata pria itu membesar. Ujung jari Vione sudah mencapai maskernya. Dia terdesak, tak ada pilihan yang dimiliki olehnya untuk menghindar. Jadilah tangannya yang bebas menarik pinggang Vione.

Ujung jari Vione tergelincir. Masker pria itu luput dari sambarannya. Lebih jauh, dia sekarang malah terperangkap dalam pelukan yang meluluhlantakkannya.

"Kumohon, Vione," lirih pria itu tepat di telinga Vione. Suaranya rendah, nyaris seperti berbisik. "Jangan."

Vione bergeming. Jangankan untuk membalas ucapan pria itu, bahkan sekarang dia tak bisa bergerak sedikit pun. Tubuhnya berubah kaku dengan detak jantung yang mulai meningkat.

Perlahan, mata Vione memejam. Kekuatannya menghilang dan jadilah tangannya terjatuh begitu saja. Genggamannya pada pergelangan tangan pria itu lepas, begitu pula dengan jemarinya yang semula berniat untuk melepas maskernya, tak lagi mampu melakukan tindakan apa pun.

Vione menarik udara sedalam-dalamnya. Dia mengisi paru-parunya dengan aroma khas yang amat familier di indra penciumannya. Lalu ada yang bergejolak di dalam dadanya sehingga dia menggigit bibir kuat-kuat.

Pelukan itu melonggar. Lalu sepasang tangan itu meninggalkan tubuh Vione. Namun, kali ini dia bergeming dan tak melakukan apa-apa ketika dirasakan olehnya kepergian pria itu.

Vione terjatuh di tanah. Sekarang tak lagi mampu dia menahan gejolak tersebut. Kehangatan muncul di pelupuk mata. Air matanya mulai merembes.

Sebabnya, lamanya waktu yang berlalu tak akan pernah cukup untuk membuat Vione melupakan hal terpenting di dalam hidupnya. Dia mungkin telah lama tak bertemu dengan pemilik hati dan cintanya, tetapi jiwa dan raganya masih mengenal sang pemiliknya dengan amat baik. Bahkan tanpa melihat, tiap sisi dari dirinya bisa menangkap setiap sinyal yang terpancar. Sentuhan lembut, tatapan tajam yang menyiratkan rasa aman, dan pelukan hangat itu selalu terpatri di dalam ingatannya, menciptakan ikatan yang tak terputus meski hari terus berganti. Baginya, cinta sejati tidak hanya terbatas pada waktu dan ruang, tetapi juga melekat erat dalam setiap jantung dan napasnya.

Persis dengan yang dirasakan oleh Vione beberapa saat lalu. Paru-parunya mengenal aroma itu. Tubuhnya mengenal pelukan itu. Terpenting adalah jiwa serigalanya mengenal kedamaian itu.

Air mata Vione semakin menderas. Tangisnya benar-benar tak terbendung dan jadilah dia meremas dadanya sekuat mungkin. Ada sesak yang membuatnya tak bisa bernapas. Ada nyeri yang memaksanya untuk mengepalkan tangan, lalu dia memukul dada berulang kali.

"Usher."

Vione tak akan salah menebak. Dia yakin, kecurigaannya tak salah sedikit pun. Aku tahu pelukannya, aku tahu sentuhannya, dan jantungku berdetak hanya untuknya.

*

bersambung ....

note: mohon maaf karena Elodie dan Vika ga tayang. sepertinya aku lanjutkan mereka di bulan depan aja. soalnya Era dan Vione juga bakal tamat bulan ini. aku pikir kemaren aku bisa handle, ternyata memang aktifitas di bulan puasa itu bertambah. harap dimaklumi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top